[Masalah Kita] KENANGAN DARI BORNEO

Bagi para petani sendiri, perbedaan etnis itu tidak terlalu menjadi masalah....
Seorang kawan mengisahkan kembali peristiwa pedih yang terjadi di Pulau Borneo beberapa tahun yang silam. Tinggal dan aktif mendampingi para petani dari berbagai etnis di tanah kelahirannya itu, membuat Lorens turut merasakan dan menyaksikan bagaimana kejamnya permainan beberapa kelompok kepentingan tertentu yang ‘memanfaatkan’ keberagaman etnis di wilayah itu. Bagi para petani sendiri, perbedaan etnis itu tidak terlalu menjadi masalah karena toh nasib mereka tetap sama.

Konflik yang diangkat sebagai konflik antar suku itu sesungguhnya merupakan bagian dari rekayasa politik.
Keinginan sejumlah oknum untuk meraih kedudukan tertentu mendorong mereka untuk mencari simpati dari masyarakat. Dalam kondisi yang tenang dan adem, para oknum itu sulit untuk mengumpulkan simpati dan dukungan dari banyak orang. Ketika konflik itu terjadi, maka mereka bisa datang sebagai ‘Dewa Penolong’ sehingga popularitas mereka pun meningkat di mata masyarakat.

Tidak hanya itu saja, kepentingan ekonomi juga menjadi aktor yang mengambil manfaat dari konflik tersebut. Ada persaingan antar pengusaha dalam urusan pengelolaan kayu dan mereka diuntungkan dengan kekisruhan yang terjadi. Saat orang-orang sibuk dan panik karena konflik yang terjadi, mereka bisa leluasa untuk membuat daerah kekuasaan yang baru.

Konflik perebutan sumberdaya alam yang dahulu terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah, menjadi semakin rumit dengan masuknya perusahaan-perusahaan seperti perusahaan kelapa sawit, yang berusaha mengadu domba masyarakat. Masyarakat pun terpecah menjadi kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap kepentingan perusahaan. Saat terjadi konflik, kelompok masyarakat yang pro terhadap perusahaanlah yang dihadapkan kepada kelompok masyarakat yang kontra. Sehingga konflik yang terjadi adalah konflik antar kelompok masyarakat, bukan lagi konflik antara masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah.

Pasca konflik itu terjadi, mulai muncul stigma-stigma yang melekat pada masing-masing kelompok etnis misalkan kelompok A itu orang-orangnya keras, kelompok B itu orang-orangnya tidak mau diajak kompromi, kelompok C itu tidak mau diajak rekonsiliasi setelah konflik. Stigma itu pulalah yang membuat masyarakat menjadi tersekat-sekat dan komunikasi yang tadinya berjalan dengan baik menjadi rusak. Stereotipe tersebut makin berkembang karena tidak adanya pendekatan budaya dan pembauran antar etnis.

Secara sosial, sangat kelihatan bahwa masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kini orang Madura lebih terkonsentrasi di kota-kota. Hal ini juga menimbulkan permasalahan baru dalam hal lapangan kerja di kota. Sebelumnya mereka terbiasa menjadi petani dan sekarang mereka kesulitan karena harus menyesuaikan diri lagi dengan lapangan kerja baru yang tersedia di kota, misalnya menjadi tukang becak. Orang Melayu yang tinggal di Kabupaten Sambas pun masih sulit menerima kedatangan orang Madura di wilayah itu.

Dari sisi ekonomi, konflik tersebut mengakibatkan banyak infrastruktur di wilayah tersebut yang rusak dan banyak harta benda yang hilang. Kegiatan ekonomi juga terhambat karena orang-orang dari masing-masing etnis tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi seperti biasanya.
Rasa takut dan khawatir membuat mereka tidak berani melakukan pekerjaan yang lokasinya berdekatan dengan kelompok etnis lain.

Secara mental, konflik yang juga merenggut banyak nyawa tersebut meninggalkan trauma yang mendalam bagi masyarakat. Mereka hidup dalam ketegangan dan rasa was-was, terlebih lagi bila berhubungan dengan orang atau kelompok dari etnis lain. Anak-anak pun kini tidak bisa leluasa bermain dengan anak dari etnis lain.

Selama terjadi beberapa kali konflik, upaya yang dilakukan untuk mereduksi, manajemen konflik dan lain-lainnya pun tidak mengakomodir persoalan yang mendasar. Upaya yang dilakukan hanya sekedar upaya untuk meredam situasi saja. Sehingga tidak mengherankan bila kondisi yang terbangun adalah rekonsiliasi semu. Ditambah lagi persoalan tidak adanya penegakan hukum dan tidak tertatanya manajemen konflik ditingkat basis, telah menebar peluang dan situasi laten konflik.

Sedemikian kuat dan besarnya dampak yang diakibatkan oleh permainan kepentingan segelintir orang yang mampu merenggut kedamaian dari kehidupan yang plural. Keberagaman yang seharusnya indah dan harmonis itu telah dibalikkan menjadi senjata yang menghancurkan keindahan dan keharmonisan itu sendiri. Luka yang diakibatkan pun, tak kurun sembuh dalam hitungan tahun. Sungguh pelajaran nyata yang berharga bagi kita.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...