Apakah anda kenal dengan gurauan tentang mengapa orang Jawa tidak bisa kaya seperti orang Cina Perantauan ? Katanya, itu karena kalau orang Jawa ke luar rumah dengan maksud mencari penghidupan, mereka bilang, "Mau cari kerja" sedangkan orang Cina Perantauan bilang, "Mau cari uang". Jadilah orang Jawa memang mendapatkan pekerjaan seperti yang diinginkan, bukannya uang, sehingga mereka selalu miskin.
Gurauan ini sebenarnya mencerminkan kontras antara budaya agraris yang bergantung/berorientasi pada alam dan budaya yang bergantung/berorientasi pada uang. Seberapa dalamkah makna perbedaan ini bagi kehidupan kita, bahkan bagi masa depan umat manusia ke depan ?
Di dunia modern sekarang ini, sadar atau tidak sadar, banyak dari kita yang merasakan kontradiksi dari dua model pemaknaan akan uang.
Di sekolah kita diajarkan bahwa uang adalah alat yang membantu kita mempertukarkan barang atau jasa. Jadi uang adalah alat. Kalau alat tentu ia hanya digunakan sesuai dengan kebutuhan. Namun kehidupan sehari-hari justru mengajarkan bahwa uang adalah 'hampir' segalanya bagi hidup kita. Banyak orang menganggap bahwa tanpa uang ia tidak bisa hidup. Di sini uang bukan lagi sekedar alat, tetapi menjadi tujuan hidup kita.
Kita diajarkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan manusia seutuhnya dan berguna bagi nusa dan bangsa. Tapi pada kenyataannya, banyak sarjana merasa bahwa sekolah mereka tidak ada manfaatnya (rugi modal), kalau mereka tidak berhasil memperoleh banyak uang darinya.
Uang telah memasuki relung-relung terdalam hidup kita. Ia telah menjadi sebuah sumberdaya yang mendasar yang menentukan, apakah kita dapat sembuh dari suatu penyakit, apakah anak-anak kita bisa sekolah ataupun rumah seperti apa yang kita tinggali. Bahkan, saat ini perceraian karena masalah ekonomi (uang) ataupun perseteruan orang tua dan anak karena masalah uang jajan, semakin meningkat. Juga, tidak lagi terlalu mengherankan, bila seseorang diketahui bunuh diri atau membunuh orang lain karena urusan uang.
Saya ingin mengajak anda untuk sejenak memandang uang dari perspektif sejarah berikut ini. Semoga dapat memberikan sedikit inspirasi untuk membantu kita menentukan sikap terhadap uang.
Alat tukar yang mempermudah hidup kita
Pada awalnya uang memang benar-benar sebuah alat untuk mempermudah dan mengefisienkan proses tukar menukar. Dan tidak semua proses tukar menukar menggunakan uang, cukup sering juga dilakukan proses barter.
Sistem barter memang memiliki beberapa persoalan praktis. Misalnya, suatu hari Pak Ujang ingin makan Ayam goreng. Ia tahu Bu Ratmi memiliki beberapa ekor Ayam. Untuk itu Pak Ujang mengajak Bu Ratmi menukar anak kambingnya dengan ayam Bu Ratmi.
Untuk melakukan pertukaran, Pak Ujang dan Bu Ratmi harus menyepakati nilai barang masing-masing dibandingkan barang yang lain. Setelah berdiskusi keduanya sebenarnya sepaham bahwa anak kambing Pak Ujang, nilainya lima kali Ayam Bu Ratmi. Masalahnya Bu Ratmi hanya punya tiga ekor ayam. Nah lho … bingunglah keduanya.
Kemudian Pak Ujang mendapat gagasan baru : “Bagaimana kalau ayam Bu Ratmi ditukar dengan Itik saya ?”. Setelah diskusi Bu Ratmi bersikukuh bahwa itik Pak Ujang adalah 2/3 nilai ayammya. Nah lho, bingung lagi mereka. Bagaimana pertukaran dilakukan ?
Ini baru beberapa persoalan. Ada persoalan lagi, misalnya kalau Bu Ratmi tidak menginginkan Itik ataupun Kambing. Kasihan betul Pak Ujang. Mau makan ayam goreng saja susahnya minta ampun…
Nah, hidup Bu Ratmi dan Pak Ujang akan lebih mudah dengan menggunakan alat tukar. Alat tukar itu sendiri tidak perlu memiliki nilai dan bisa berupa apa saja. Bisa saja digunakan batu, potongan kayu, lembaran kertas, kain atau apapun. Yang penting sekelompok orang yang sering bertukar barang satu sama lain menyepakati penggunaannya.
Dengan menggunakan alat tukar, batu misalnya, Pak Ujang bisa dan Bu Ratmi bisa menyepakati bahwa Ayam bernilai 9 batu dan Itik bernilai 6 batu, misalnya. Jadi Pak Ujang bisa mendapatkan seekor Ayam, dengan memberikan seekor itik ke Bu Ratmi ditambah 3 buah batu. Atau kalau Bu Ratmi tidak menginginkan itik, Pak Ujang bisa saja memberikan 9 buah batu untuk mendapatkan Ayam. Bu Ratmi bisa menyimpan batu itu untuk nantinya ditukar dengan baju yang dijual Pak Amir atau Tomat yang ditanam Bu Encih. Tentu selama semua orang itu juga sepakat bahwa batu itu adalah alat tukar yang dapat diterima.
Alat tukar dalam bentuk apapun inilah yang kemudian kita namakan sebagai uang.
Berubahnya Makna Alat Tukar
Berkembangnya pemaknaan terhadap uang dapat kita telusuri dari sejarah kebudayaan di Eropa. Memang, konsep uang seperti yang kita pahami sekarang, mula-mula berkembang di Eropa, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui kolonialisme.
Berkembangnya Perdagangan dan kaum bangsawan
Titik balik krusial pertama dalam pemaknaan akan uang adalah berkembangnya perdagangan dan kaum pedagang, terutama setelah emas dan logam mulia lainnya semakin luas diterima sebagai alat tukar. Kaum pedagang menemukan bahwa mereka dapat menumpuk banyak emas dengan kemampuan mereka mempermainkan nilai tukar barang (bahasa awamnya --> tawar menawar).
Meluasnya penggunaan alat tukar memberikan kebebasan lebih besar bagi para pedagang untuk memainkan nilai tukar. Berbeda dengan barter, transaksi melalui uang tidak melibatkan suatu barang secara fisik. Nilai suatu barang tidak dilihat lagi relatif terhadap benda lain (yang dipertukarkan), tetapi pada dasarnya berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Artinya si pembeli atau penjual dapat memanfaatkan permainan psikologis atau permainan apapun untuk merekayasa nilai suatu barang. Emas telah mulai membuka jalan kebebasan bertransaksi (baca : rekayasa nilai), secara luar biasa.
Selain itu dengan semakin meluasnya penggunaan emas sebagai alat tukar, para pedagang menemukan bahwa, dengan emas/perak mereka dapat memperoleh hampir apa saja yang mereka mau, berdagang dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan kekayaan semakin terbuka. Ini tentu terkait juga dengan kemampuan mereka dalam tawar menawar.
Tahun 1600-1700 adalah puncak kejayaan kaum saudagar di Eropa. Kaum saudagar menemukan bahwa melalui emas-perak mereka dapat menumpuk kekayaan material dan kekuasaan dengan jauh lebih cepat dan efisien daripada para tuan tanah. Ini membuat kelas pedagang mendapatkan posisi politik dan ekonomi yang sangat kuat.
Inilah yang kemudian ini memicu diadopsinya budaya perdagangan oleh para penguasa politik waktu itu (raja-raja). Muncullah ajaran bullionisme, bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah emas dan perak yang dimilikinya. Inilah pandangan sentral dari Merkantilisme, yang didefinisikan sebagai "suatu sistem intervensi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran nasional dan menambah kekuasaan negara ... Untuk mendatangkan lebih banyak uang ke dalam pundi-pundi raja, yang memungkinkannya membangun armada laut, mempersenjatai tentara dan menjadikan pemerintahannya ditakuti dan dihormati di seluruh dunia."
Munculnya kesepakatan yang semakin meluas akan logam-logam mulia sebagai alat tukar, memang sangat memungkinkan penumpukan uang menjadi sarana untuk memperluas kekuasaan. Dengan memiliki banyak emas, anda dapat memperoleh apapun, dari manapun. Tentu saja termasuk untuk membeli senjata.
Sinergi filsafat materialisme hedonis dan uang
Berkembang pesatnya kegiatan perdagangan dan kaum bangsawan, didorong oleh berkembangnya pandangan materialisme, mekanisme dan hedonisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Di mana Hobbes memperoleh argumentasinya dari pandangan materialistik dan mekanistik berdasarkan revolusi ilmu pengetahuan yang terkait dengan nama-nama terkenal seperti Copernicus dan Newton.
Berdasarkan pandangan materlialistik dan mekanistik, Hobbes menyatakan bahwa manusia adalah mesin yang digerakkan rasa suka dan rasa tidak suka individual. Dan itu semua adalah realitas objektif yang netral, tidak baik dan tidak buruk, sebagaimana pergerakan bintang-bintang di langit atau benda yang jatuh ke bawah. Karena itu, adalah sah-sah saja dan alami bila seseorang mengejar kesenangan pribadi. Inilah dasar dari padangan hedonisme Hobbes.
Pandangan Hedonisme Materialistik ini membuka jalan pembenaran bagi usaha penumpukan kekayaan. Menumpuk kekayaan adalah sah karena tujuannya adalah mencari kesenangan pribadi. Tanggung jawab moral menjadi tidak relevan lagi, karena tidak memiliki dasar objektif nyata. Tindakan mencari kesenangan itu sesuai dengan gerak alam, yang tidak baik dan tidak buruk. Rasa bersalah itu tidak nyata dan hanya ilusi.
Selanjutnya, alat tukar, seperti emas dan bentuk uang lainnya, membuka jalan bagi penumpukan kekayaan yang paling efisien. Selain mempermudah proses rekayasa nilai, emas juga membebaskan upaya penumpukan kekayaan dari batas-batas fisik. Kekayaan tidak lagi terlihat sebagai tanah berhektar-hektar, yang semakin luas semakin, sulit pula dikontrol. Tetapi cukup dengan memiliki gudang-gudang yang lebih mudah diawasi karena memakan tempat jauh lebih kecil. Jadi, daripada menumpuk kekayaan yang riil, kenapa kita tidak menumpuk alat tukarnya saja ?
Ini secara revolusioner membuka perspektif baru pada nafsu penumpukan kekayaan yang tidak terhingga. Semakin besar uang yang dimiliki, semakin besar pula kebebasan untuk mendapatkan apapun di dunia ini. Terciptalah jalan yang lebar dan tak berujung bagi pelampiasan nafsu hedonisme materialistik. Sebagian ahli beranggapan bahwa pada prakteknya filsafat Hedonisme Hobbes lah yang berpengaruh paling besar pada ekonomi modern daripada teori Adam Smith atau Marx.
Materalisme, mekanisme dan Hedonisme
Pandangan materialisme adalah salah satu pandangan penting yang mendorong terjadinya jaman pencerahan, di dunia barat. Yaitu jaman yang ditandai dengan bebasnya masyarakat dari dominasi agama dalam kehidupan. Padangan materialisme ini dimulai dengan revolusi di dunia ilmiah, oleh para filsuf terkenal seperti Copernicus dan Newton. Mereka menyusun teori, yang kemudian mendapatkan bukti empiris, bahwa gerakan benda langit dan banyak fenomena lain di bumi dapat diramalkan melalui perhitungan matematis. Ini kemudian memunculkan pandangan bahwa semua fenomena alam di bumi ini diatur oleh hukum-hukum alam dan bukannya oleh ‘kehendak Allah’. Kalaupun ada Allah, dia hanya berperan dalam menghasilkan hukum-hukum alam itu saja. Inilah dasar dari pandangan mekanisme.
Pandangan ini kemudian diambil oleh para filsuf lainnya seperti John Locke, yang salah satunya menyatakan bahwa hanya rasio manusialah sumber kebenaran. Kebenaran harus dapat dilihat langsung secara fisik, yang lain adalah ilusi, tidak nyata. Inilah dasar dari materialisme.
Pandangan ini secara revolusioner melucuti peran wahyu Allah sebagai acuan kebenaran. Ungkapan di kitab suci yang menyatakan bahwa Allah menciptakan bumi ini semua itu baik adanya, diganti menjadi pandangan bahwa alam diatur oleh hukum-hukum abadi yang netral, tidak baik dan tidak buruk.
Lalu, kalau begitu bagaimana dengan manusia ? Manusiapun dianggap sebagai mesin yang diatur oleh hukum-hukum alam, yang terjadi begitu saja serta tidak baik atau tidak buruk.
Lalu di mana posisi kehendak, kesadaran atau moralitas ? Jawabannya adalah semua itu tidak ada lagi. Yang ada adalah gerakan otak yang berjalan secara spontan. Hukum alam yang dianggap mengatur jalannya mesin manusia ini, sebagaimana diungkapkan Thomas Hobbes, adalah rasa senang dan tidak senang pribadi. Tidak ada ukuran tentang baik dan buruk. Yang baik hanyalah apa yang memberikan kesenangan dan yang buruk adalah yang menimbulkan penderitaan. Inilah dasar dari filsafat hedonisme yang mendapatkan pembenaran baru dari materialisme dan mekanisme. Kolonialisme dan Ekspansi Penggunaan Uang
Lepasnya batas-batas fisik terhadap nafsu menumpuk kekayaan yang bertransformasi menjadi nafsu menumpuk uang, mendorong terjadinya kolonialisme. Mula-mula sekali, para pedaganglah yang bertualang ke berbagai penjuru dunia mencari barang yang bisa diperdagangkan. Misalnya, yang datang pertama kali ke Indonesia, bukanlah pemerintah Belanda tetapi VOC.
Mereka tidak terlalu pusing dengan memperluas daerah kekuasaan. Kepentingan utama para pedagang adalah mencari barang dagangan baru, yang dapat diperdagangkan. Atau, tepatnya barang yang dapat dikonversi menjadi uang (emas) untuk terus mengisi pundi-pundinya. Dan, semakin langka atau sukar diperoleh suatu barang semakin mahal harganya.
Namun, kemudian muncul kesulitan teknis. Bagaimana mendapatkan barang-barang di daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh penduduk asli itu ?
Mula-mula, mereka mencoba melakukan barter dengan membawa barang-barang dari Eropa. Namun, tidak banyak barang dari Eropa yang dibutuhkan penduduk asli. Misalnya, mereka tidak membutuhkan perhiasan dan memiliki persepsi nilai yang berbeda pula. Lagipula, karena ekonomi penduduk asli lebih mementingkan nilai kesukuan dan kekerabatan, mereka tidak punya motivasi besar untuk bertransaksi dengan orang asing.
Singkat cerita, setelah menerapkan banyak taktik, termasuk menjual minuman keras, para pedagang mulai bermain ‘kasar’. Mereka berkolaborasi dengan negara untuk memanfaatkan kekuatan militernya. Ini adalah salah satu awal permainan politik para pedagang, yang masih berlaku sampai sekarang.
Sekali lagi, memperluas daerah kekuasaan, bukanlah hal yang penting bagi para pedagang. Tujuan mereka sebenarnya adalah : Dengan membuat suatu daerah sebagai daerah jajahan suatu negara, maka mereka dapat memaksakan penduduk asli untuk menggunakan alat tukar mereka. Caranya, dengan mewajibkan penduduk asli membayar pajak dalam bentuk mata uang yang mereka keluarkan dan kendalikan.
Ini adalah cara yang sangat jitu. Posisi kepala desa menjadi turun tingkatannya dari sebagai pemimpin masyarakat, menjadi sekedar pengumpul pajak rakyat. Orang desa harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Mereka keluar kampung bekerja di perkebunan-perkebunan penjajah. Dengan demikian, hubungan kekerabatan hancur dan perlahan diganti dengan hubungan pasar dan kebergantungan pada pemilik uang.
Inilah kisah yang jarang terungkap tentang kolonialisme. Tetapi sangat penting peranannya bagi berkembangnya penggunaan uang dan kebergantungan pada uang, yang kita rasakan dalam dunia sekarang ini.
Ekonomi uang di jaman modern
Kolonialisme dan meluasnya penggunaan uang telah membentuk dunia yang sekarang kita hidupi. Kebergantungan kita pada uang bukanlah hasil dari proses alami, tetapi hasil dari move politik kaum pedagang yang mengeksploitasi sifat uang demi kepentingan mereka. Dan, sejak jaman kolonialisme negara sudah di dalam genggaman mereka, baik itu negara penjajah maupun negera yang terjajah.
Yang terjadi selanjutnya adalah semakin intensifnya proses integrasi uang dalam berbagai aspek kehidupan. Dan tentu saja, posisi politik para pedagang semakin kuat dan permainan politik mereka semakin intensif dan canggih. Pandangan neoliberal adalah pandangan politik ekonomi yang dikembangkan untuk semakin menginternalisasikan uang dan aktivitas perdagangan dalam kehidupan politik. Yang tentu saja, akan semakin memperkuat posisi para pedagang.
Revolusi Industri dan Munculnya kelas investor : Tuan Uang
Keberhasilan kaum pedagang dalam memanfaatkan meluasnya penggunaan uang dan kemampuan khusus mereka dalam merekayasa nilai barang, memungkinkan mereka mengakumulasi uang dalam jumlah melimpah. Menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana cara yang paling efektif untuk meningkatkan kekayaan dengan memanfaatkan aset uang mereka yang melimpah itu. Adakah cara lain yang lebih ‘menyenangkan’ selain dari menjadi pedagang ?
Berkembangnya revolusi Industri memberikan peluang aktivitas ekonomi baru. Namun sebenarnya para pedagang tidak memiliki minat tinggi untuk membuat dan mengelola suatu pabrik. Kegiatan ini terlalu dikotori oleh oli mesin dan para buruh yang bau dan jorok.
Nah, kalau tuan tanah dulu menyewakan tanah mereka, lalu tinggal ongkang-ongkang kaki hidup mewah dari hasil bumi, kenapa kita tidak bisa menyewakan uang dan selanjutnya tinggal ongkang-ongkang kaki juga?
Mulailah para pemilik uang meminjamkan uang kepada para wirausaha, suatu aktivitas yang kemudian kita sebut dengan investasi. Meminjam dan membungakan uang bukanlah aktivitas yang baru dalam sejarah manusia. Namun, investasi melalui industri menjanjikan keuntungan yang lebih besar tanpa aktivitas berdagang yang melelahkan. Cukup dengan memanfaatkan kekuatan uang yang mereka miliki, mereka dapat menguasai pada pengusaha, yang selanjutnya akan menghasilkan uang banyak bagi mereka, tanpa harus berpeluh dan berkonflik dengan para buruh.
Dengan demikian, muncullah kelas baru dalam masyarakat yaitu para investor, yang bisa saja kita sebut sebagai Tuan Uang karena mereka hidup dari menyewakan uang.
Lembaga-lembaga uang : Money Inc.
Akhir abad 19 dan abad 20, ditandai dengan berkembangnya berbagai bentuk lembaga keuangan.
Pemerintah, perlahan-perlahan bertransformasi menjadi lembaga pengelola uang. Persoalan moneter semakin menjadi pekerjaan yang menghabiskan waktu pemerintah. Sampai-sampai saat ini posisi menteri keuangan dan Bank Sentral bisa menjadi lebih kuat dibandingkan presiden. Apalagi bila dibandingkan dengan menteri-menteri lain seperti menteri kesehatan, lingkungan, pendidikan, kebudayaan. Lihat saja pengaruh Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika.
Aktivitas investasi memunculkan Bank sebagai lembaga yang khusus mengurus peminjaman uang untuk investasi. Lembaga ini membuka jalan petualangan yang baru bagi para pedagang, yaitu menumpuk lebih banyak uang dengan memperjualbelikan uang yang telah mereka miliki.
Di atas semua itu, muncul pula lembaga baru yang membuat ekonomi berbasis uang menjadi semakin dominan dan semakin agresif, yaitu perusahaan terbuka. Perusahaan terbuka dimiliki oleh para investor yang menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Ini adalah perkembangan lebih lanjut dari apa yang sudah terjadi dari masa revolusi industri.
Saat ini semua perusahaan memiliki struktur dasar yang sama, yaitu terdiri dari pemilik dan manajemen. Namun, berbeda dengan perusahaan perorangan maupun keluarga, hubungan antara manajemen dengan dengan investor hanyalah terkait dengan penumpukan modal. Tidak ada keterkaitan personal.
Nihilnya keterkaitan personal antara pemilik dan perusahaan semakin diperkuat dengan berkembangnya pasar modal. Melalui pasar modal, kepemilikan seseorang terhadap perusahaan bersifat sementara. Tepatnya, selama penanam modal masih mendapatkan keuntungan. Bila sebuah perusahaan tidak lagi menguntungkan, modal akan ditarik segera.
Bangkrutnya sebuah perusahaan tidak dipedulikan investor, yang penting uangnya selamat. Investor juga biasanya tidak peduli bagaimana cara perusahaan mencari uang, yang penting untung. Sekali lagi, ini merupakan perwujudan dari filsafat materialisme Hobbes. Don’t take it personally man ! Welcome to the money world !
Terciptalah sebuah lembaga dengan satu tujuan, menghasilkan keuntungan. Manajemen perusahaan selalu menghadapi tekanan untuk tidak saja mencegah kerugian, tetapi meningkatkan keuntungan dari tahun ke tahun. Kalau tidak, mereka akan kehilangan pekerjaan. Begitulah, para pengusaha dan manajer perusahaan, orang-orang yang harus berpeluh mengoperasikan dan mengelola aktivitas produksi, dipaksa semakin tunduk pada kekuatan uang para investor.
Diabaikannya moralitas sekarang bukan saja ditopang oleh filsafat hedonisme materialistik-mekanistik, tetapi juga oleh keterpaksaan struktural. Bila sebuah perusahaan merusak lingkungan atau menyogok birokrat, pengelolanya akan mengatakan, “Harus bagaimana lagi, kita dituntut untuk mencari keuntungan”. Sedangkan, para penanam modal menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan perusahaan. Dan, memang secara hukumpun demikian, para investor tidak memiliki tanggung jawab terhadap kemana modal ditanamkan.
Perusahaan terbuka (Korporasi) bisa dikatakan sebagai the institution of the century. Pengaruhnya lebih besar dari institusi apapun, termasuk negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua tunduk pada hukum korporasi. Kenyataannya, sehari-hari kita semakin terbiasa mendengar bahwa tugas utama pemerintah adalah menarik investor dan mencegah investor melarikan modalnya. Dan untuk itu, buruh, petani dan alam telah dikorbankan.
Konsumerisme : hedonisme kontemporer
Pandangan hedonisme materialistik mekanistik membuka area baru pada cara menumpuk kekayaan. Keterbatasan kegiatan perdagangan adalah kebutuhan seseorang. Bila kebutuhan seseorang terpenuhi aktivitas perdagangan terhenti. Akibatnya, terhambatlah peluang pedagang meningkatkan aset uangnya.
Filsafat hedonisme kembali dimanfaatkan oleh para pedagang. Kesenangan seseorang tidak ada batasnya. Bila semangat mencari kesenangan membara, peluang memperdagangkan barang terbuka lebar. Barang-barang yang tidak terlalu bermanfaat seperti, perhiasan, kosmetik, junk food dan segala bentuk barang mewah, menjadi barang dagangan dengan nilai tinggi. Inilah dasar dari berkembangnya semangat konsumerisme. Konsumerisme sangat dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perdagangan. Terlebih lagi di jaman modern ini, di mana kolonialisme fisik sudah diharamkan. Karena itulah, para pedagang bekerja keras menyebarkan gaya hidup hedonis ke seluruh pelosok dunia. Melalui iklan, model-model cantik dan citra hidup gemerlap, dipromosikan secara gencar. Dengan demikian pedagang telah memperluas kegiatannya dari merekayasa nilai barang kepada merekayasa kebutuhan hidup manusia. Tentu, ini demi memperluas aktivitas perdagangan itu sendiri. Saat ini pengeluaran global untuk iklan semakin mendekati pengeluaran untuk militer.