Banyak orang sekarang yang menyatakan bahwa kegilaan pada uang adalah hidup yang realistis. Kita sekarang tidak bisa hidup tanpa uang. Betulkah ? Apakah uang dapat kita makan atau mengobati kita dari penyakit ?
Bila anda terperangkap sendirian di sebuah pulau kosong di tengah lautan luas, dengan segudang uang atau emas, apakah uang dapat membantu anda hidup ? Paling-paling uang kertas hanya menjadi kertas tissue, uang logam untuk mainan anak-anak dan emas tidak lebih dari sebuah batu. Kenyataannya yang benar adalah, kita tidak bisa hidup tanpa makanan, tanpa air dan tanpa udara.
Uang, tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri bagi manusia. Uang hanya bernilai pada saat suatu komunitas menyepakatinya sebagai alat tukar. Ya, nilai uang adalah murni hasil konsensus sosial.
Kegilaan pada penumpukan uang membawa kita pada situasi yang absurd.
Absurditas yang paling kuno adalah perburuan terhadap logam mulia[1], yang merupakan salah satu pendorong utama kolonialisme. Logam mulia menjadi bernilai karena digunakan sebagai sarana pertukaran, bukannya karena bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tentu kita ingat kisah-kisah perburuan emas di Amerika, begitu banyak orang yang telah menjadi korban dalam perburuan logam mulia yang absurd ini.
Kekacauan Penilaian
Di luar absurditas kuno itu, ekonomi berbasis uang saat ini telah menciptakan kekacauan kemampuan kita melakukan penilaian. Kegilaan kita untuk menumpuk lebih banyak uang telah membuat kita menghancurkan jutaan hektar hutan yang kaya akan kehidupan. Pertanyaannya, pada saat semua hutan sudah rusak, uang yang kita kumpulkan akan kita pakai untuk apa ? Ini bukan persoalan ayam atau telur, karena jelas hutan, lahan yang subur, sungai yang sehat jauh lebih bernilai dari setumpuk uang kertas.
Saat ini barang-barang mewah, seperti perhiasan dan kosmetik, dianggap lebih bernilai dibandingkan makanan yang sehat. Sebagian besar dana untuk penelitian farmasi digunakan untuk mengembangkan kosmetik dan bukannya untuk mengembangkan obat bagi penyakit yang mengancam nyawa seseorang seperti malaria atau kanker. Mana yang lebih penting, nyawa seseorang atau wajah putih yang bersih dari jerawat ?
Penilaian kita terhadap suatu barang-barang mewah itu bukanlah nilai yang alami. Itu adalah nilai-nilai yang diciptakan melalui rekayasa persepsi yang canggih, dengan memanfaatkan semangat hedonis. Suatu taktik klasik para pedagang. Tujuannya tentu adalah untuk memompa perdagangan, karena perdaganganlah sarana utama untuk menumpuk uang.
Banyak pendukung ekonomi perdagangan dan uang, yang versi canggihnya bernama Neoliberalisme atau pasar bebas global, menyatakan bahwa ekonomi neoliberalisme akan mendorong alokasi sumberdaya secara rasional. Namun, pada kenyataannya tidak demikian, kita justru mengalokasikan sumberdaya ke hal-hal yang tidak berguna, bukannya kepada hal-hal yang mendasar bagi kehidupan kita.
Memperkaya Diri Dari Kelangkaan
Karena ekonomi uang dikembangkan untuk kepentingan para pedagang, logika pedagang menjadi berperan penting. Salah satu cara pedagang dalam merekayasa nilai barang adalah dengan memanfaatkan kelangkaan. Ini versi yang lebih telanjang dari hukum penawaran-permintaan.
Kolonialisme berkembang salah satunya untuk mencari barang-barang yang langka. Walaupun barang langka itu tidak terlalu bernilai bagi kehidupan, misalnya perhiasan atau bumbu masak, namun para pedagang memaksakan harga mahal untuk barang itu dengan alasan bahwa itu barang langka.
Karena barang yang langka dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, tidak menjadi persoalan atau justru baik bila kita mencemari sungai dan merusak hutan-hutan. Air bersih melimpah tidak ada harganya bagi perdagangan, tetapi bila air bersih semakin langka, muncullah bisnis dagang air. Tidak heran kalau di tengah kerusakan alam sekarang ini, para investor mulai sibuk mengembangkan investasi di sektor air. Air yang langka menjadi bernilai dalam ekonomi uang. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada udara bersih.
Contoh lain, hancurnya lahan hijau kota atau tercemarinya sungai dan pantai di dekat rumah kita, tidak menjadi persoalan bagi para pedagang. Bila alam di sekitar tempat kita rusak, semakin banyak orang yang harus menempuh perjalanan jauh untuk berwisata. Artinya, semakin berkembang pula bisnis wisata (tepatnya, perdagangan objek wisata). Demikian pula, tempat yang alami dan berudara bersih sekarang dijual sebagai lokasi real estate dengan harga mahal.
Dunia ini sudah terkurung oleh logika pedagang. Karena itu, jangan heran kalau kita begitu sulit memperoleh dana untuk kegiatan pelestarian alam. Bila sumberdaya alam kembali berlimpah, habislah peluang berdagang.
Pendarahan Ekonomi Lokal
Konversi suatu barang menjadi uang, dan membelinya kembali, tidak akan pernah efisien. Untuk proses jual beli, kita harus membayar biaya perdagangan dan para pedagangnya, yang biasanya mengambil untung besar. Akibatnya para petani sebenarnya merugi. Jumlah beras yang mampu kita beli tidak akan sama dengan jumlah beras yang telah kita jual.
Bagi petani, atau desa di mana petani tinggal, jelas ini adalah ekonomi yang tidak efisien dan hanya menguntungkan para pedagang. Banyak petani di daerah-daerah lumbung padi yang kelaparan karena tidak mampu membeli makanan. Jelas ini cara yang absurd dalam menjalankan ekonomi.
Ekonomi yang absurd dari sudut pandang lokal ini, sebenarnya terjadi karena pertanian dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi perkotaan. Sekali lagi ini kepentingan kaum pedagang dan industrialis. Petani didorong untuk menjual makanannya ke kota , agar mereka memperoleh makanan tanpa harus menanamnya sendiri. Ini kebiasaan para investor yang ingin memperoleh sesuatu dengan ongkang-ongkang kaki[2].
Lebih jauh lagi, dengan berbagai cara, harga makanan dipaksakan untuk tetap rendah. Dengan demikian, biaya operasional kegiatan perdagangan dan industri dapat ditekan. Sekali lagi, ini proses pengacauan penilaian.
Persoalannya menjadi lebih sulit saat orang-orang desa digoda oleh kemewahan kehidupan perkotaan. Mereka membutuhkan uang untuk membeli barang-barang mewah. Ini semakin mendorong petani atau suatu desa untuk menjual hasil buminya daripada menyimpannya untuk kebutuhan sendiri.
No comments:
Post a Comment