[Masalah Kita] PENGHARGAAN UNTUK PEKERJA LEMBAGA NIRLABA (AKTIVIS)

Ketika pengasuh buletin ini meminta saya untuk menulis pendapat tentang gaji atau honor yang layak untuk pekerja lembaga nirlaba atau para aktivis, saya kontan teringat beberapa pengalaman. Baik pengalaman saya sendiri maupun teman-teman, terkait dengan tema ini yang kadang-kadang jadi “sensitif”. Berikut saya bagikan pengalaman tersebut yang mungkin dapat menjadi gambaran pendapat saya tentang gaji aktivis atau pekerja lembaga nirlaba.

Bekerja demi idealisme
Beberapa tahun yang silam, saya bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di isu HAM. Buat saya yang masih nebeng orang tua dan kantor yang tidak terlalu jauh dari rumah, gaji yang saya terima cukup untuk memenuhi kebutuhan saya selama sebulan. Saya juga masih dapat mengangsur asuransi jiwa dengan premi yang paling rendah.
Namun untuk teman-teman lain yang sama posisi dan gajinya dengan saya, namun sudah berkeluarga atau hidup mandiri, gaji itu sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Meski yang paling sederhana sekalipun. Mereka harus membayar kontrakan, kost, atau mencicil rumah. Ke-terpepet-an itu akan tambah terasa ketika dirinya atau anggota keluarga sakit. Mudah ditebak, staf bagian keuangan lembaga tidak hanya mengelola keuangan dari donor, namun juga berfungsi sebagai “lembaga kredit” terhadap pekerja yang meminjam uang. Ketika tahun berikutnya para pekerja mengajukan kebijakan kenaikan gaji –mengingat harga-harga juga mulai naik - dan adanya fasilitas seperti asuransi kesehatan. Para pimpinan menjawab bahwa, lembaga tempat kami bekerja merupakan lembaga nirlaba yang bekerja untuk kemanusiaan. Dengan karakter lembaga seperti itu, tidak pantas kami mengajukan permintaan-permintaan tersebut. Para pimpinan selanjutnya berkata, kami terlalu membandingkan situasi kerja kami dengan lembaga profit yang memberikan gaji besar dan fasilitas yang banyak.

Jawaban mereka membuat kami kecewa. Sudah tentu kami tidak meminta kenaikan gaji yang besar, namun setidaknya disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat itu. Perkara fasilitas seperti asuransi kesehatan, kami anggap juga wajar. Jangan sampai kami yang bekerja untuk isu kemanusiaan, akan tetapi kami sendiri mengalami dehumanisasi karena tidak sanggup menjaga kesehatan atau berobat saat sakit. Tidak semua pekerja berasal dari keluarga mampu yang bisa meminta tolong kepada orang tua atau saudaranya saat mereka mengalami kesulitan keuangan. Bukan karena kami tidak dapat atau tidak mampu mencari pekerjaan lain maka kami tetap bertahan di lembaga tersebut, namun justru karena kami memiliki idealisme atau setidak-tidaknya senang dengan pekerjaan itu. Akan tetapi, idealisme dan komitmen itu tidak lantas dijadikan bahan kesewenang-wenangan atau pengabaian hukum tenaga kerja oleh pimpinan untuk mengabaikan hak-hak kami sebagai pekerja yang ingin mensejahterakan dirinya dan keluarganya.

Lembaga tempat dulu saya bekerja tidak sendirian. Di lembaga lain, banyak curhat pekerja yang saya dapati tentang isu gaji ini. Dari gaji yang dibawah UMR (terutama untuk pekerja administratif atau yang di bagian umum), tidak ada kenaikan gaji – padahal beban kerja terus bertambah dan harga-harga pasar terus melambung, sampai kepada curhat minta dicarikan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan.

Kesejahteraan Pekerja
Jika membicarakan cukup tidaknya gaji, maka nyaris semua pekerja akan mengatakan tidak cukup. Standar dan kebutuhan kehidupan setiap orang tentu akan berubah atau meningkat. Namun ketika patokannya untuk kelayakan dan kesejahteraan pekerja, maka beberapa komponen harus diperhatikan. Setidak-tidaknya dengan gaji yang diterimanya pekerja dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan layak. Misalnya, pekerja dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan memenuhi standar asupan gizi yang sesuai. Sehingga pekerja tersebut dapat bekerja dengan optimal atau minimal tidak gampang sakit sehingga dapat menuntaskan pekerjaannya. Bukankah itu suatu keuntungan juga bagi lembaga? Kebutuhan akan tempat tinggal, juga harus diperhatikan. Hal ini bukan berarti lembaga harus menyediakan fasilitas kredit cicilan rumah. Namun perlu diperhatikan gaji dibutuhkan bukan sekedar orang dapat makan untuk hidup. Hidup juga perlu tempat bernaung. Jangan sampai pekerja mondok di kantor dengan alasan menghemat pengeluaran atau lebih parah lagi karena gajinya tidak cukup untuk menyewa kamar atau rumah.

Mengulang pengalaman yang telah saya tuturkan di atas, hendaknya gaji juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga bagi pekerja dan keluarganya, atau minimal ada sisa gaji yang dapat ditabung. Sehingga tidak perlu pekerja membolos atau mengambil cuti untuk mencari tambahan uang di luar kantor karena pusing memikirkan biaya sekolah anak. Bukan suatu tindakan yang bijaksana untuk berasumsi bahwa semua pekerja memiliki pasangan yang juga bekerja dengan pendapatan yang memadai untuk menyokong keluarga atau memiliki latar belakang keluarga dari kondisi ekonomi yang mapan.

Fasilitas asuransi kesehatan atau rumah sakit bagi pekerja mungkin terdengar mewah bagi beberapa lembaga. Namun kenyamanan seperti itu dapat meningkatkan kinerja pekerja yang merasa tenang karena tahu jika dia sakit, biaya itu dapat ditanggung bersama kantor. Tidak lucu juga kan, setiap kali ada pekerja yang dirawat di rumah sakit lantas seluruh staf di kantor itu disodori edaran amplop sumbangan? Daripada repot-repot seperti itu, persiapkan saja fasilitas asuransi.

Semua yang saya tulis di atas mungkin tepat untuk pekerja tetap suatu lembaga. Bagaimana dengan volunteer atau pekerja paruh waktu? Sama saja. Honor mereka hendaknya layak dan sepadan dengan pekerjaan yang mereka lakukan, disesuaikan dengan tingkat kesulitan pekerjaan dan tantangan yang dihadapi. Seorang teman yang menjadi volunteer di suatu organisasi pernah berseloroh: “Kita di sini bekerja sebagai relawan. Artinya, kita bekerja dengan rela. Tapi jika sudah tidak rela, kita melawan!”

Menghargai Pekerja
Di atas itu semua, memberikan gaji yang layak merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap pekerja. Jangan sampai kerelaan pekerja diartikan sebagai diperlakukan semau gue oleh pimpinan. Atau ya itu tadi, bekerja untuk isu kemanusiaan tapi malah di-dehumanisasi.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...