[Profil] Yati (CL UPC): “Kita tidak perlu takut pada pemerintah”

Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat Tegal yang masih kental, serta selalu berusaha membuat suasana gembira. Dialah Yati, perempuan kelahiran Tegal pada 20 Juli 1973. Walaupun cuma jebolan sekolah dasar, tapi Yati tidak berhenti untuk selalu belajar. Umur tiga tahun dibawa orang tuanya ke Jakarta, tapi kembali ke Tegal ketika umurnya tujuh tahun untuk disekolahkan di desa. Dia dititipkan dengan neneknya di desa untuk sekolah, karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah di Jakarta. Tapi pengalaman hidup di desa itu juga yang mengajari dia untuk bekerja keras. Umur tujuh tahun sudah membantu neneknya mengumpulkan padi yang tercecer di sawah dari hasil panenan para petani. Kemudian padi itu ditumbuk dan jadi beras, untuk akhirnya dijual atau digunakan sendiri.

Yati memang berasal dari keluarga miskin. Almarhum bapaknya dulunya pedagang kerupuk keliling, sedangkan emaknya sebelum jualan sayur di pasar adalah kuli penumbuk beras yang dijadikan tepung. Tapi emaknya rajin menabung sehingga dari kerja menumbuk beras uangnya bisa digunakan sebagai modal jualan sayur di pasar dan membeli sepetak kamar di Kebun Jeruk Timur, Jakarta Timur.

Tahun 1984 Yati kembali ke Jakarta dan bekerja membantu emaknya jualan di pasar jalan Kebun Jeruk Timur, Cipinang Besar Utara. Ketika hari-harinya sibuk dengan jualan itu, dia ketemu dengan seorang pemuda yang memikat hatinya. Yati menikah pada usia 15 tahun dengan pemuda dari Brebes bernama Rebon Rio pada tahun 1988. Dengan Rebon Rio, Yati dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama bernama Qori Fitrian, kelas dua SMA. Yang kedua bernama Wawan Rianto, kelas tiga SMP, dan yang bungsu bernama Dewi Nurwinda, kelas 1 SMP.

Karena tidak ingin tergantung dengan orangtuanya, Yati mencoba berdagang sendiri, sedangkan suaminya mencoba jualan bubur ayam. Awalnya dia berdagang buah pisang, tapi usaha dagang pisangnya tidak bertahan lama karena suami sering sakit dan modal dagang dipakai untuk bayar biaya berobat. Untuk membiayai hidup keluarga, dia akhirnya menjadi buruh cuci pakaian sampai sekarang. Pendapatan suaminya waktu jualan bubur sekitar 60 ribu/hari. Tapi dari penghasilan tersebut digunakan untuk modal dagang lagi, dan sisanya baru dipakai untuk makan atau kebutuhan sehari-hari. Jika memang tidak ada sisa, maka keluarga Yati mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari hasil jasa mencuci pakaian. Kalau pun masih kurang, biasanya dia hutang dulu ke tetangga dan membayarnya menunggu hasil jasa cucian berikutnya.

Kehidupan kelurganya memang susah, tapi tidak menyurutkan semangat Yati untuk memperbaiki kehidupan dirinya dan masyarakat sekitar. Dia menjadi tokoh di kampungnya, karena berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat miskin. Apalagi setelah dia ikut dalam aktifitas Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta. Beragam demonstrasi sudah diikuti, dan seringkali dia didaulat untuk berorasi karena cara bicaranya yang menarik dan tuturkatanya yang runtut. Apalagi Yati sendiri merasa senang berorasi karena bisa mengutarkan unek-uneknya yang selama ini cuma terpendam dalam hati.

Kemampuannnya berbicara di depan umum, membuat dia sering ditunjuk untuk menjadi wakil dari Jaringan Rakyat Miskin Kota ketika berhadapan dengan pemerintah atau pihak luar. Misalnya ketika ketemu dengan Komisi VII DPR RI untuk membahas RUU Pelayanan Publik, dia menjelaskan keberadaan rakyat miskin kota yang sering tidak bisa mengakses fasilitas publik. Dan seringkali hal tersebut cuma disebabkan karena tidak punya KTP. Ketiadaan KTP seperti meruntuhkan segala hak yang seharusnya diterima oleh rakyat miskin kota. Pernah pada tahun 2005 lalu dia diwawancarai oleh salah satu stasiun TV-ANTV soal dana kompensasi BBM yang ternyata tidak menyentuh rakyat miskin kota. Menurutnya rakyat miskin kota banyak yang tidak tersentuh kebijakan kompensasi kenaikan BBM karena peroslan mereka tidak punya KTP. “ Kalau pemerintah salah ya harus diprotes. Kita tidak perlu takut pada pemerintah”. Ucapnya suatu kali ketika diwawancarai.

Kegiatan sehari-hari yang dilakukan adalah menjadi kolektor tabungan yang anggotanya mencapai 125 orang. Tabungan ini berbeda dengan tabungan biasanya, karena kolektor tidak hanya mengumpulkan uang tapi juga mengumpulkan informasi. Dengan begitu, seorang kolektor pasti akan banyak mengetahui informasi tentang kampungnya, khusunya persoalan yang sedang dihadapi. Dalam kelompok tabungan di kelompoknya ini, setiap hari Jum’at ada uang kas untuk kesehatan dan pendidikan sebesar Rp.500,-. Peran menjadi kolektor akhirnya membuat Yati dekat dengan warga sekitar, sehingga kerap kali dimintai tolong oleh tetangga yang mengalami kesusahan. Biasanya kesusahan tetangganya berkaitan dengan anggota keluarga yang sakit tapi tidak punya biaya berobat. Kalau menghadapi seperti itu, yang dilakukan Yati adalah mengurus untuk pengobatan tetangganya itu dengan mengundang Tim Kesehatan Alternatif Jaringan Rakyat Miskin Kota, atau jika kesehatan alternatif tidak mampu, dia mengurusi surat-surat tidak mampu agar bisa berobat di Rumah Sakit secara gratis. Pernah pula bersama dengan kelompok tabungan dan warga sekitar, Yati datang ke kantor Kelurahan untuk memprotes lurah yang tidak mengurus administrasi warga miskin dengan baik. Akhirnya lurah tersebut berjanji akan mengurus kebutuhan administrasi warga dengan baik. Dengan semua yang dilakukannya itu, bukan imbalan materi yang diharapkan Yati. Dia sudah merasa bahagia jika bisa menolong orang lain.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...