|
Mbak Nophie dan Mas Black |
Aktivis, umumnya punya segudang kegiatan. Ketika seorang aktivis memutuskan untuk berkeluarga, akan muncul berbagai dinamika baru terkait urusan keluarga dan kegiatan-kegiatannya. Apakah aktivis harus selalu memilih salah satu antara keluarga atau aktivitismenya? Dapatkah pasangan aktivis menjalankan kedua peran sekaligus, mengelola keluarga dan tetap menjadi aktivis?
Kali ini, Pro:aktif Online mengangkat profil keluarga Elisabeth A.S. Dewi "Nophie"dan Antonius Sartono‘Black’, pasangan suami istri dengan dua orang anak, yang berbagi kepada KAIL tentang pengalaman hidup mereka dalam berkeluarga sekaligus menjalankan peran sebagai aktivis . Berikut petikan wawancaranya: Sebelum menikah, Mbak Nophie dan Mas Black sudah memiliki banyak aktivitas. Menyadari hal itu, apakah ada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat sebelum memutuskan untuk menikah?
Nophie (N):Mmm... tidak ada kayaknya ya, sambil jalan saja
Black (B):Sebelum menikah, kami sudah saling tahu, bahwa kami masing-masing sudah beraktivitas di mana-mana. Maka terjadi dialog antara kami, yang merupakan dialog dengan kesadaran, bahwa kami memang tidak bisa meninggalkan aktivitas yang dulu. Sekarang tinggal menyiasatinya saja, sambil prosesnya berjalan. Yang menjadi lebih enak adalah kami beraktivitas di bidang yang hampir sama, jadinya bisa saling melengkapi.
N: Lebih mengalir, kami jalani saja, lalu dilihat ada kebutuhan-kebutuhan apa. Ketika sudah punya anak, ada kebutuhan mengatur jadwal: siapa yang menemani anak, siapa yang mengurus ini dan itu, macam-macam. Pada akhirnya, kami harus bersiasat bikin skala prioritas. Tapi tidak ada yang melarang, mengekang. Ya diatur saja. Kalaupun sampai dua-duanya harus pergi karena ada tugas, seperti sekarang, kebetulan kami berdua panitia Sinode, maka kami bersiasat dengan keluarga besar. Eyang atau bude mana yang mau dititipi atau menemani anak-anak. Melibatkan keluarga besar, mau tidak mau.
B: Saya kira keberuntungan orang Indonesia salah satunya itu, kami masih punya keluarga besar yang “mengerti” aktivitas kami, menerima, walaupun dengan bahasa yang lain, tapi mereka tahu kami beraktivitas seperti apa. Intinya keluarga besar sangat terbuka untuk membantu dalam pola pengasuhan anak-anak.
N: Dan anak-anak, ketika mereka sudah bisa diajak berdiskusi, ya kami ajak diskusi. Mereka tahu apa yang kita lakukan. Kami ada di mana, dengan siapa, itu mereka tahu. Dan kadang-kadang ada waktunya juga kami beri pilihan kepada anak-anak, mau ikut atau tidak. Kalau mau ikut, nanti kondisinya begini, begini, begini. Siap atau tidak. Kalau tidak siap, ya sudah, di rumah saja. Kalau siap, ya ayo ikut. Sebenarnya dari anak-anak masih kecil ya, zaman kami baru punya anak pertama, kalau kami harus pergi berdua, ya anak-anak kami bawa. Digendong ya digendong, sambil pelatihan. Jadi dari kecil anak-anak sudah tahu keadaannya. Dari kecil sudah melihat aktivitas kami, jadi mungkin.. hmm, saya tidak tahu mereka suka atau tidak suka ya, tapi tampaknya, mereka bisa menyesuaikan dirilah dengan irama aktivitas orang tuanya.
Bagaimana menjelaskan kepada anak-anak supaya mereka dapat memutuskan mau ikut pergi atau tidak?
N: Jelaskan kondisinya seperti apa kalau kami tahu keadaannya. Tapi kalau kami tidak tahu ya kami jelaskan seburuk mungkin kemungkinannya. Lalu mereka mikir. Kami tidak pernah memaksa, karena kami tidak mau dipaksa juga.
Usia berapa anak-anak mulai diajak bicara?
N: Mulai dari usia sekolah, karena mau tidak mau urusannya dengan akademik. Ketika sudah sekolah, kami berusaha untuk tidak membuat mereka bolos. Mereka harus tahu bahwa ketika sudah bersekolah prioritas mereka itu sekolah. Kecuali kepepetbanget mesti ikut, mungkin terjadi sekali dua kali lah sepanjang mereka sekolah, karena tidak ada pilihan lain dan jauh. Lalu mereka ikut. Tapi mereka sudah tahu konsekuensinya. Tantangan (istilah untuk PR sekolah) akan menumpuk, review (ulangan) akan lewat, kami beritahu. Tapi waktu anak-anak belum sekolah, terutama ketika mereka masih disusui, mau tidak mau mereka ikut. Ketika sudah lepas ASI, mereka sudah mulai diberi pilihan.
Kalau dalam bayangan Mbak Nophie dan Mas Black, pengaturan dalam keluarga aktivis idealnya seperti apa?
B: Di dalam keluarga ada pembagian peran. Orang tua tetap punya peran orang tua, anak tetap punya peran anak, pada proses perjalanan itu terjadi sebuah dialog, dalam arti, ada kepentingan orang tua dan ada kepentingan anak. Ini yang dijadikan proses diskusi untuk mengambil keputusan. Dalam konsep ideal saya, kepentingan anak maupun kepentingan orang tua ini bisa disepakati bila terjadi dialog. Jadi pertama, perlu adanya dialog. Kedua, tidak ada pemaksaan. Ketiga, pilihan bebas. Saya boleh atau tidak pergi beraktivitas, itu dikembalikan pilihannya kepada masing-masing. Keempat, kesepakatan pada jadwal yang dibuat. Mungkin juga orang lain lihat kami aneh. Keluarga kok diatur dengan jadwal. Tapi ya memang dengan begitu di keluarga kami prosesnya bisa berjalan.
Kalau keluarga lain, pengaturannya mungkin berbeda. Kadang-kadang ada orang tua yang satu aktivis, satu lagi bukan. Saya tidak tahu apakah itu keputusan mereka untuk memilih, satu tetap menjadi aktivis dan satu tidak lagi menjadi aktivis atau bagaimana. Tapi untuk keluarga kami, kalau membuat janji salah satu (beraktivitas) di rumah (saja) kayaknya tidak bisa.
N: Tentang menjadi ibu. Dari hasil ngobrol dan studi saya tentang motherhood, yang paling sering melanda ibu-ibu adalah perasaan bersalah. Ketika mereka harus pergi meninggalkan anak mereka, karena alasan harus bekerja atau apapun, mereka seringkali didera perasaan bersalah. Nah, buat saya itu sangat tidak ideal. Maka saya mencoba tidak punya perasaan begitu. Karena buat saya, saya pergi bukan buat apa-apa kok. Beda kalau saya pergi, misalnya, mabuk mabukan, lupa daratan, lupa lautan, mungkin jadi wajar ada perasaan bersalah itu. Tapi saya pergi karena saya bekerja, saya beraktivitas. Suami dan anak-anak tahu saya ada di mana, saya sedang apa. Kami saling tahu. Jadi buat saya tidak penting ada rasa bersalah. Karena begitu kita merasa bersalah, anak juga akan tahu. Lalu adalah istilahnya, terjadi konflik-konflik batin sebagai orang tua. Buat saya yang ideal adalah, kalau kita sebagai orang tua pergi, tidak perlu merasa bersalah. Karena yang kita lakukan itu baik kok. Mungkin tidak baik untuk anak kita pada saat itu karena merasa ditinggalkan. Tapi kita berbuat baik untuk orang lain. Somehow, saya tidak tahu gimana caranya, saya merasa, ketika saya melakukan kebaikan untuk orang lain, saya juga sedang melakukan kebaikan untuk anak saya, secara tidak langsung. Jadi saya mau menambahkan poin itu.
Ambil contoh, orang lain pernah bertanya, di keluarga kami kok nggak pernah telpon-telponan sih, nggak pernah bertanya lagi apa. Itu tidak penting buat kami. Karena kami sama-sama tahu dia lagi ada di mana, sedang apa. Buat kami itu cukup. Tidak ada telpon artinya aman. Kalau ditelpon, malah jadi deg-degan, ada apa nih. Kenapa demikian, karena kami sudah saling percaya. Anak percaya ibu, ibu percaya bapak, bapak percaya sama anak-anak. Ya sudah, tinggal jalan aja.
Pernahkah ada situasi di mana, meskipun sudah diatur sedemikian rupa, ada pihak-pihak yang perlu mengalah, misalnya pekerjaan ditinggalkan, atau anak mau tidak mau mesti ikut ayah atau ibunya pergi bertugas?
N:Oh ya, jelas, ada. Saat anak sakit, kalau sudah anak sakit, bubar semua rencana. Lepas. Jadwal tidak ada artinya. Kalau pasangan sakit, ya sudahlah ya, sudah besar, yang penting dia beristirahat cukup. Tapi kalau anak sakit, tidak bisa. Atau kalau anak-anak ada acara di sekolah. Kalau orang tua tidak datang, mereka merasa sangat sedih. Mereka bilang, “Ya udah deh, nggak apa-apa nggak ada ibu dan bapak, tapi aku sedih.” Nah kan, ya kita juga harus mengerti. Ya sudah, akhirnya, kegiatannya nanti ditunda atau berubah jadwal atau diatur ulang, tapi kemudian kami datang untuk kepentingan anak. Mau tidak mau ya harus fleksibel juga.
B: Saya kira kata lain dari fleksibel ya “berkorban”. Dalam konteks “keluarga aktivis”, sebetulnya kunci yang harus muncul ya rela berkorban. Seperti tadi, anak sakit, ya mau tidak mau semua kegiatan harus dilepaskan, dijadwalkan ulang lagi. Saya kira salah satu syarat perkawinan ya rela berkorban juga ya, menurut saya. Tidak bisa tidak, gitu. Apalagi ditambah dengan aktivitas yang banyak. Saya rasa ini salah satu hal yang penting juga: rela berkorban.
N: Dan jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Karena kalau kita terlalu berpikir apa kata orang, pusing juga kita ya. Kadang-kadang ukuran orang itu beda dengan ukuran kita. Ukuran kebahagiaan, ukuran kesuksesan, beda-beda ya. Misalnya, kebahagiaan kita adalah bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, ya, beda kan. Ya cuekin aja.Karena kalau mikirapa kata orang, stres juga kita. Padahal, tinggal prioritasnya dikompromikan. Mana yang jadi lebih penting, itu dikompromikan. Hasil dari kompromi itu sendiri yang dijalankan.
Apakah Mbak Nophie dan Mas Black juga berasal dari keluarga yang orang tuanya aktivis?
B: Orang tua saya bukan aktivis, tapi PNS, pekerja. Dalam konteks pergi bertugas, dua-duanya memiliki jam terbang tinggi. Bapak saya di bidang teknik, yang harus pergi pagi pulang malam, ibu saya seorang pendidik, dari pagi sampai sore. Kalau disebut aktivis seperti kami ya bukan, tapi memang dari dulu saya biasa lihat, bapak pulangnya sore atau malam.
N: Kalau bapak ibu saya kalau mau dibilang aktivis, ya aktivis sih, terutama aktivis di gereja ya. Bapak ibu dulu tim dari ME (Marriage Encounter), jadi mereka memberikan retret ME ke mana-mana. Zaman dulu mungkin sebulan sekali, dua bulan sekali, sering banget pergi. Lalu mereka juga aktivis kharismatik, sering juga ke mana-mana. Bapak saya dulu guru, pendidik, ibu saya ibu rumah tangga yang sibuk: berdagang, merias pengantin, menjadi penjahit. Karena saya keluarga besar, sudah biasa diasuh oleh banyak orang. Atau mengasuh diri sendiri. Dan saya merasa menjadi kaya dengan pengalaman, karena saya jadi tahu berbagai jenis orang dan situasi. Makanya anak-anak kami juga sekarang dicobakan dengan model seperti itu. Masuk rumah nenek yang ini, di bude yang ini, yang itu. Bertemu orang mulai dari yang sangat biasa sampai yang sangat luar biasa. Mereka “terkontaminasi”, dengan sifat banyak orang, dalam artian yang mudah-mudahan positif.
Dari pola pengasuhan keluarga yang diterapkan Mbak Nophie dan Mas Black ,apa imbasnya ke anak-anak?
N: Kalau kata orang lain, anak-anak kami mandiri ya. Kalau pakai ukuran yang rata-rata, mereka boleh dikatakan mandiri, karena mereka sudah biasa mengatur diri sendiri. Misalnya, kalau kamu lupa bawa baju ke rumah eyang, ya otomatis kamu tidak punya baju ganti. Mereka harus belajar resiko dan segala macamnya.
B: Kedua dari segi wawasan, mau tidak mau karena mereka berdua ikut ngobrol sama bapak ibunya. Memang lalu menjadi PR lagi bagi bapak ibunya untuk menerangkan istilah-istilah yang sebenarnya kita tahu dia belum tahu artinya apa. Jadi ada tambahan pekerjaan sih sebenarnya untuk kami. Macam-macam, sebab kami tidak menyangka juga kalau dia ikut menangkap pembicaraan kami. Meskipun saat itu dia kelihatannya lagi menggambar, misalnya. Kelihatannya sih baca buku, tapi ternyata kupingnya kebuka ya. Misalnya, pas pulang dia tiba-tiba bertanya, “Human trafficking tehapa?”. Itu yang menjadi resiko untuk kami, karena kami yang sudah memasukkan dia dalam “aktivitas orang dewasa”. Saya kira begitu. Orang sering bilang, nih anak umur berapa, kelas berapa, kok omongannya kayak gini. Mudah-mudahan sih tidak menjurus ke dewasa sebelum waktunya.. hahaha..
Adakah pengalaman paling mengesankan berkaitan dengan pengaturan sebagai keluarga aktivis atau sebagai keluarga aktivis?
N: Saya pernah lagi naik trem di tengah kota Melbourne, lalu ada orang manggil saya, “Mbak Nophie! Eh, mbak, masih ingat nggak, kita pernah ketemu waktu itu di Garut, lalu mbak Nophie ngasihtraining, bawa bayi, pakai ransel gitu. Saya tidak pernah lho, mbak, lihat trainer bawa bayi pakai ransel. ” dan lalu dia cerita segala macam. Lucu ajaya, pengalaman unik. Orang mungkin tidak ingat materi yang saya saya sampaikan. Tapi saya membawakan training, sebagai trainer yang bawa bayi, buat dia menjadi hal yang mengesankan, sampai dia tidak lupa. Lalu bertemu berapa tahun setelahnya, di negara lain, dia masih ingat pengalaman itu. Dan kemudian orang tersebut bilang, “Saya mau lho, mbak, suatu saat seperti Mbak (Nophie).”
Buat saya sebagai seorang ibu, saya diingat. Setidak-tidaknya saya mencoba, mematahkan anggapan bahwa feminis itu tidak punya kepedulian terhadap keluarga, feminis itu terlalu mandiri, feminis itu tidak perlu laki-laki, feminis itu lesbian, feminis itu keluarganya hancur. Saya sebisa mungkin mematahkan lah anggapan negatif tersebut. Bahwa seorang feminis ternyata bisa kokpunya anak, punya suami dan baik-baik aja. Bisa kok tetap heteroseksual.
Buat saya, motheringitu harus menyenangkan, jangan jadi beban.
Saya kemarin baru mengobrolkan hal ini dengan anak saya sebelum melepas dia campingbeberapa hari, “Kalau saya diberi umur panjang, sepanjang hidup ibu, ibu akan jadi ibu. Dan seumur hidup kamu, kamu akan jadi anak. Jadi kalau kita nggak fun, kita nggak enjoy, capek bangetkan. Jadi ya enjoy aja, gitu.”
B: Pengalaman bertemu orang-orang. Kayak Nophie tadi, saya ngomong apa, mereka masih ingat. Buat saya, di balik ketemu orang-orang itu, saya jadi diingatkan oleh banyak orang, untuk menjalani yang saya omongkan. Pengalaman bertemu orang-orang ini jadi semacam “pagar”, untuk umpan balik bagi saya. Kadang-kadang orang mendengar apa yang saya omongkan, “Wah ini bisa jadi inspirasi.”. Padahal sebenarnya kelihatannya waktu itu cuma ngobrol biasa saja. Saya kira itu, berbagi pengalaman hidup, proses, karena kita hanya bisa berbagi pada tataran itu.
Menurut Mbak Nophie dan Mas Black, hal apa yang perlu diingat dan diperhatikan oleh semua keluarga aktivis, atau oleh aktivis yang berniat berkeluarga?
N: Kita itu manusia biasa, dengan segudang aktivitas, dengan segudang rencana, dengan segudang mimpi yang kita punya. Kita tetap manusia dengan keterbatasan. Tetapi keterbatasan itu bukan sesuatu yang menghalangi langkah kita, tapi kita harus pintar-pintar bersiasat, berstrategi dengan keterbatasan kita dan jangan menganggap itu sebagai beban. Kalau beban, ujungnya akan berat ke kita. Having fun saja. Karena kita beraktivitas untuk manusia, bersama manusia. Manusia itu punya banyak dinamika, punya banyak hal yang tidak bisa kita duga, termasuk anak, pasangan dan keluarga besar kita, akan banyak dinamika, up and down-nya. Jangan stres. Bagaimana kita bisa beraktivitas kalau kita stres? Nikmati saja, jalani saja. Jangan pernah merasa kita harus sempurna. Tidak. Jadi kalau ada yang tanya, “saya ibu yang baik tidak ya, saya ibu yang benar tidak ya”. Jawabannya, tidak ada tuh, ibu yang baik, ibu yang benar. Semuanya tergantung, mau pakai definisi mana, tolok ukur siapa. Semua itu kan balik lagi ke kita. Selagi anak senang, pasangan bahagia, semua baik-baik saja, ya sudah. Di tengah segala keterbatasan, kalau kita diskusikan, pasti ada jalannya.
B: Kalau menurut saya, cuma dua. Pertama, kerendahan hati dan kedua, kesediaan untuk berkorban. Kalau dua hal ini tidak dimiliki, pasti akan muncul pertengkaran, terjadi kesalahpahaman, kecurigaan. Ini kan bibit dalam proses berkeluarga ya, kalau kita mengobrolkan bibit, proses dalam berkeluarga ya, kalau tidak diperhatikan pasti amburadul. Kerendahan hati ya, misalnya sekarang saya mesti mengasuh anak, karena dia harus pergi. Lain waktu dia yang harus di rumah, mengurus anak-anak, giliran saya yang pergi. Rela berkorbannya ya tadi, misalnya saya sudah punya rencana, tiba-tiba harus batal karena anak sakit, misalnya. Dalam prosesnya, ya itu tadi, saling menutupi itu bukan saling menutupi kelemahan, tapi saling melengkapi.
N: Dan tidak ada yang lebih hebat, tidak ada yang lebih tidak hebat ya. Bukan berarti yang di rumah lebih tidak hebat, yang pergi lebih hebat. Tidak. Karena yang di rumah juga “sakit kepala” juga, ngurus segala macam, dari A-Z.
B: Satu lagi, yang kita perjuangkan, budaya kesetaraan. Ke mana-mana kita bicara soal kesetaraan, ya harus diaplikasikan, harus dipraktekkan. Ya seperti ini, kesetaraan itu begini. Tidak ada yang satu di atas, satu di bawah. Atau setara, tapi saling menutupi semuanya. Tidak begitu.
N: Dan itu kesetaraannya sampai di anak-anak, bukan hanya di kami saja. Karena generasi kami kan, generasi saya dan Black adalah generasi yang ngomongke mana-mana. Hasilnya kelihatan atau tidak itu di anak-anak kami. Itu juga salah satu tambahan pekerjaan kami ya. Kebetulan anak kami sepasang, laki-laki dan perempuan. Mereka punya tidak kesetaraan? Mereka punya atau tidak kesetaraan, punya tidak kesadaran, bahwa, nggak ada yang lebih hebat atau nggak ada yang lebih nggak hebat? Begitu.
Hmmm.. ini pertanyaan penutup, sekaligus konfirmasi. Jadi dinamika yang paling mewarnai keluarga aktivis itu kebanyakan soal pengaturan waktu, atau ada yang lain?
B: Yang paling mewarnai sebenarnya adalah dialog. Dialog itu kadang-kadang dengan nada tinggi, nada sedang, nada rendah. Biarpun misalnya dengan kesal apa ya, tapi tetap ada semacam pemberitahuan, konfirmasi. Ada berita, meskipun dengan nada tinggi, tapi konsepnya pemberitahuan.
N: Kalau menurut saya, komitmen ya. Seperti saya bilang tadi, kalau yang satu sedang pergi, satu lagi di dalam, ya yang di dalam harus membereskan semuanya kan. Bukan hanya masalah waktu ya. Karena, misalnya, Black yang harus di rumah ya, artinya Black juga kan harus mengatur antara komitmen pekerjaan dia di manapun dengan urusan di rumah. Itu juga butuh komitmen kan, anak-anak butuh di mana, perlu diatur. Karena kami tidak mau menghentikan segala macam aktivitas mereka hanya karena aktivitas kami. Buat kami itu tidak adil sama sekali. Misalnya,“Karena kami harus pergi maka kamu tidak bisa les renang.” Tidak, tidak boleh begitu. Semuanya harus berjalan. Menantangnya di situ. Aktivitas kami dua-duanya jalan, tapi aktivitas anak-anak tidak boleh terabaikan. Nah itu komitmen, pengaturan, melibatkan orang. Siapa yang mau dilibatkan. Kita punya ojek pribadi yang bisa menemani anak-anak berkegiatan, yang kami sudah percaya sekali. Semua harus diatur.