[Masalah Kita] Benarkah aktivis selalu bermasalah dengan keluarga?

MASALAH-MASALAH AKTIVIS
Gerakan mahasiswa berkembang sangat pesat pada saat bergulirnya isu reformasi. Salah satu titik kulminasi gerakan mahasiwa terjadi pada bulan Mei 1998, yakni pada saat mahasiswa melakukan pendudukan gedung DPR/MPR, menuntut mundurnya Soeharto. Hingga sekarang gerakan mahasiswa masih terus bergulir, dan bahkan demonstrasi menjadi sarana komunikasi yang dirasa cukup efektif oleh sebagian besar orang, terutama ketika mengalami kebuntuan komunikasi.

Berbagai sinyalemen dan komentar dari tokoh pun muncul terhadap gerakan mahasiswa tersebut, seperti Eep Saefulloh Fattah. Dalam sebuah tulisan surat kabar dikatakan oleh beliau bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang sebetulnya masuk akal namun sayang seringkali dilakukan secara tergopoh-gopoh. Hal ini ditegaskan pula oleh seorang pengamat gerakan mahasiswa dari kalangan mahasiswa sendiri, yang mengatakan bahwa seringkali gerakan mahasiswa terjebak dalam kerangka “ketidaksabaran”.

Ketergopoh-gopohan dan ketidaksabaran tersebut bukanlah merupakan fenomena sosial semata. Namun bila diamati lebih jauh, kondisi tersebut dapat menyiratkan adanya ekspresi ketidakmatangan yang secara kolektif melanda para aktivis gerakan mahasiswa.

Berbagai pengalaman perjumpaan secara personal kiranya dapat semakin menguatkan hal tersebut di atas. Seringkali dijumpai seorang aktivis mahasiswa yang di depan podium mampu bersuara dengan lantang, menyuarakan suara rakyat, namun menjadi pribadi yang begitu pemalu, ragu-ragu, pesimis, dan begitu tertutup ketika harus berhadapan seorang diri dengan sekelompok orang-orang baru.

Mantan seorang koordinator gerakan mahasiswa di Surabaya, mengatakan bahwa rata-rata aktivis gerakan mahasiswa kurang memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan aktivitasnya, terutama dengan pihak keluarga. Hal ini disebabkan adanya perbedaan cara pandang akan makna tugas dan kewajiban mahasiswa, perbedaan kepentingan antara orang tua dengan si anak, serta perbedaan orientasi.

Hal-hal tersebut di atas semakin meruncing menjadi sebuah konflik, ketika akhirnya aktivis lebih memilih melakukan dengan pilihannya sendiri daripada mengkomunikasikan namun ujung-ujungnya berkonflik. Aktivis sebagai orang muda tentu memiliki kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi diri, untuk mengaktualisasikan kemampuan dan keinginan pribadi. Pertanyaannya adalah sejalankah kebutuhan aktivis sebagai orang muda ini dengan keluarga?

Terkomunikasikan secara terbukakah keinginan-keinginan aktivis sebagai pribadi yang sedang berkembang ini?

TUNTUTAN KELUARGA
Keluarga, khususnya orang tua merupakan figur yang kiranya paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya. Masa depan seorang anak adalah tidak terlepas dari proses pendidikan yang ditempuhnya serta pola pergaulan yang melingkupinya. Hal ini karena pola pendidikan dan pola pergaulan adalah merupakan faktor yang memberikan kontribusi cukup besar bagi terbentuknya pola pikir seseorang akan masa depan, bahkan lebih jauh akan makna kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, wajar kiranya jika proses pendidikan formal menjadi tolok ukur bagi para orang tua akan keberhasilan seorang anak. Orang tua akan merasa lega, merasa berhasil, dan merasa telah menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya adalah ketika melihat si anak mampu menyelesaikan pendidikan formalnya serta memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan dengan kompensasi yang layak. Ringkasnya paradigma keberhasilan para orang tua adalah ketika si anak mampu hidup seperti orang lain, hidup seperti masyarakat pada umumnya.

Sehingga, untuk mendukung keberhasilan tersebut, seringkali kita jumpai para orang tua yang rela bekerja keras, bahkan mungkin rela untuk berpisah dengan keluarga dalam kurun waktu yang cukup lama, demi mengambil tanggung jawab sebagai orang tua.

Paradigma keberhasilan tersebut semakin dikuatkan pula oleh harapan serta penilaian dari masyarakat. Bagi orang tua keberhasilan dan kegagalan dalam mendidik anak menjadi hal yang sangat penting, karena paradigma keberhasilannya dalam mendidik dan membesarkan anak, akan sangat mempengaruhi bagaimana masyarakat memandang dan memberikan penilaian terhadap suatu keluarga tertentu.

Wajar kiranya, jika kemudian para orang tua menuntut si anak untuk “membalas”segala jerih payah tersebut. Tuntutan yang sebenarnya tidak begitu tinggi. Namun permasalahannya adalah terletak pada paradigma keberhasilan, bahkan lebih jauh adalah paradigma “balasan” atas budi jasa para orang tua.

FAKTA AKTIVIS DI INDONESIA
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Patricia Siswandi terhadap 10 orang responden yang berasal dari berbagai daerah yang tersebar di wilayah Jawa Timur, mengungkapkan bahwa 9 orang responden memiliki masalah dalam hubungannya dengan keluarga. Area konflik yang terungkap dalam penelitian ini jumlah terbesar adalah area konflik dengan keluarga, daripada dengan teman atau dengan pihak atasan atau pimpinan kerja.

Sementara itu penelitian tersebut juga melihat lebih jauh kebutuhan-kebutuhan mendasar yang terpendam dalam diri 10 orang responden tersebut. Ditemukan bahwa sebagian besar responden memiliki kebutuhan yang rendah untuk beprestasi, namun justru kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi diri yang cukup tinggi.

Artinya, aktivis-aktivis mahasiswa di Indonesia adalah merupakan kumpulan orang-orang muda, yang memiliki keinginan yang cukup besar untuk mendapat pengakuan baik dalam lingkungan pergaulan, lingkungan keluarga, maupun lebih jauh lingkungan sosial. Komunikasi yang tidak pernah tuntas dalam lingkup keluarga, menyebabkan aktivis lebih memilih mencari media-media lain di luar lingkungan keluarga, yang lebih mampu memberikan kenyamanan baik secara batin maupun fisik kepada para aktivis.

Hal ini menjadi ironis, manakala kebutuhan eksistensi diri tersebut tidak diimbangi oleh adanya kebutuhan berprestasi. Sehingga, kebutuhan akan pengetahuan bukan menjadi hal yang penting. Ketika yang terjadi demikian, maka semakin kuatlah kesimpulan bahwa kebutuhan eksistensi diri yang sangat tinggi di kalangan para aktivis di Indonesia, adalah dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan eksistensi ini di lingkup terkecil, yakni keluarga, dan bukan berangkat dari pemaham utuh akan kepedulian ataupun keberpihakan pada persoalan masyarakat luas.

Sehingga tidaklah mengherankan, jika sebagian besar aktivis mahasiswa kurang memiliki kesadaran yang tinggi terhadap motivasi yang melatarbelakanginya untuk terjun ke dalam dunia gerakan. Pertanyaan-pertanyaan senada, biasanya lebih sering kita dengar dengan jawaban: karena hobby, karena diajak teman, karena suka, dan sebagainya.

Oleh karena itu, wajar kiranya ketika warna dari gerakan mahasiswa di Indonesia, dinilai oleh beberapa pengamat sebagai gerakan yang tergopoh-gopoh, gerakan yang kurang diikuti oleh sebuah pemikiran jernih, yang berfokus pada kepentingan jangka panjang.

JALAN KELUAR
Suatu ungkapan sederhana yang kiranya perlu direnungkan bersama,”Orang tua pernah menjadi anak-anak di jamannya, namun anak-anak belum pernah menjadi orang tua”. Pokok permasalahan, kesenjangan komunikasi yang terjadi di kalangan keluarga para aktivis, seringkali disebabkan oleh para orang tua memperoleh informasi terbanyak berdasarkan pengamatan-pengamatan yang tampak dari luar, didukung pula oleh pemberitaan-pemberitaan media massa.

Konfirmasi yang dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya yang terjun dalam dunia gerakan mahasiswa, seringkali tidak menemukan jalan keluar, hal ini dikarenakan para aktivis seringkali mengalami hambatan utnuk menjelaskan alasan mengapa dunia gerakan mahasiswa menjadi penting bagi dirinya.

Bagi orang tua yang tampak adalah pendidikan formal yang seharusnya penting, justru ditinggalkan oleh anak-anaknya yang terjun dalam dunia gerakan mahasiswa. Dunia gerakan yang penuh dengan resiko, bahaya, justru menjadi pilihan anak-anaknya. Pertanyaan yang sering tidak terjawab bagi para orang tua adalah mengapa demikian?

Komunikasi yang terputus, menyebabkan orang tua mencari tahu dengan caranya sendiri, akhirnya yang diketahui adalah informasi dari luar diri si anak. Oleh karena itu komunikasi dalam lingkungan keluarga para aktivis dapat jalan manakala seorang anak mampu mengkomunikasikan motivasi dasar yang muncul dalam dirinya, yang menggerakkan dirinya untuk terjun dan berbuat sesuatu yang lebih konkret dalam masyarakat.

Pilihan antara sekolah formal dan dunia gerakan mahasiswa adalah sesuatu yang sulit, satu sama lain saling memberikan kontribusi bagi perkembangan seseorang. Pendidikan formal mampu memberikan pengetahuan secara abstrak, dan dunia gerakan mahasiswa justru merupakan media untuk melakukan pengecekan akan semua data dan teori abstrak yang kita peroleh.

Oleh karena itu, bukanlah melakukan pilihan atas dua hal tersebut yang penting, namun justru bagaimana seorang aktivis mampu menyeimbangkan kedua pilihan tersebut menjadi sebuah pilihan yang saling mendukung. Orang tua kiranya tidak mempersoalkan bagaimana si anak menjalani dan mengisi masa-masa mudanya, tapi yang terpenting adalah anak mampu menuntaskan tuntutan orang tua.
(Patricia Siswandi)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...