Oleh: Yusmadaniar Hanum - Manager Program LSM PERAK-Pidie
Mungkin semua orang pernah mengalami sedih, namun sedih yang kurasa agak berbeda. Pada saat seorang gadis beranjak dewasa banyak cerita yang ingin dia banggakan: cerita manisnya bersama teman juga sang kekasih. Persoalan-persoalan di masyarakat mungkin akan bisa segera terpecahkan (masyarakat pengungsian), ada berbagai jalan keluar yang bisa ditempuh. Namun, berbeda dengan persoalan yang kuhadapi. Pada saat Aceh ini dinyatakan sebagai daerah konflik, aku menjadi salah satu aktivis perempuan yang siap dengan konsekwensi apapun. Ketika itu, aku tidak pernah resah dengan keamananku, makan, pakaian dan penampilan. Aku hanya resah terhadap keadaan masyarakat / orang-orang yang terjebak diantara dua pilihan; dukung GAM mati, tidak dukung GAM juga mati. Lokasi rumah mereka menjadi ajang pertempuran dan akhirnya mereka mengungsi untuk mencari tempat aman bagi anak dan istri mereka ke sebuah jalan, yang juga merupakan jalan pintas tujuan kampusku. Aku kuliah di salah satu kampus swasta yang ada di Aceh.
Pada kondisi seperti itu, kebanyakan perempuan hanya berdiam di rumah, tanpa bisa melakukan apapun. Mereka hanya akan keluar jikalau diperlukan saja. Sebagai seorang anak perempuan, tentulah pada umumnya susah mendapatkan ijin untuk bisa terjun dalam kegiatan sosial, ditambah lagi aku dititipkan di tempat adik ibuku di sini. Selain bekerja sebagai relawan di pos mahasiswa, aku juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) walaupun pada saat itu masih sebagai anggota biasa.
Boleh dikatakan, langkah yang kutapaki berjalan dengan baik dan mulus. Tapi untuk semua itu, aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan orang tua, keluarga dan sekelilingku. Bahwa aku menjadi aktivis bukan berarti menjadi perempuan yang ngak benar. Keluargaku khawatir jika Aku nantinya akan diperkosalah, diculik GAM, atau dibuang mayatnya.
Itu hanya garis besar ketakutan keluarga besar ibuku saja. Namun langkahku tak pernah surut selangkahpun. Karena komunikasi yang terus kubangun dengan ibuku, akhirnya beliau mengizinkan dan mengikhlaskanku untuk membantu rakyat lemah dan melawan penindasan. Ibuku tidak pernah menyangka kalau Aceh seperti yang kuceritakan. Ijinnya di seberang kota yang tak berakses konflik, membuatku yakin terus untuk melangkah, berjuang melawan penindasan.
Terbukti sekarang, aku dikatakan orang sukses dari teman-teman seangkatanku yang dulu menjadi mahasiswa patuh terhadap orang tua. Tentu dibalik semua itu banyak persoalan yang kuhadapi. Disamping dari persoalan-persoalan yang ada di lapangan dan organisasi yaitu masalah hati / perasaan. Kondisi ini lama kelamaan membuatku terbiasa dan sudah kebal.
Ada beberapa kali hubungan yang terjalin, namun akhirnya putus di tengah jalan. Ini disebabkan beberapa hal, yaitu persoalan waktu, pandangan (aliran), penampilan / style dan juga pekerjaan. Namun yang menjadi persoalan utama dari retaknya hubungan itu antara lain dikarenakan pandangan dan pekerjaan. Sebagai seorang aktivis ternyata berbagai persoalan, apakah itu persoalan keluarga, lingkungan juga pribadi, harus siap kuhadapi. Ini sangat berat, karena keluarga calon pasanganku menolak bila berhubungan dengan seorang aktivis. Dari sang pujaan, juga agak berat atau sangat berat merelakan kekasih atau calonnya bekerja sebagai seorang aktivis / pekerja sosial di masyarakat. Hal ini, sempat membuatku hampir putus asa untuk meyakinkan tentang pekerjaanku.
Rasa percaya diriku tak luntur, meskipun Aku harus kehilangan sang pujaan hati, karena prinsipku, hidup hanya sekali dan apa yang bisa kulakukan selama kuhidup? Kalau kita tidak bisa berguna bagi orang sekitar/ lain, maka manusia itu akan rugi. Inilah yang membuatku terus mantap melangkah untuk terus berjuang membela rakyat kecil, lemah tuk melawan ketertinggalan. Aku yakin suatu saat Aku akan menemukan orang yang pantas dan sesuai denganku. Insya Allah.
No comments:
Post a Comment