Dalam satu masa kehidupan seseorang, ada kalanya seseorang ’terduduk kalah atas hidupnya sendiri’. Ada yang tetap ’duduk’, meratap, menangis meraung tanpa berusaha untuk bangkit melupakan penderitaan dan menatap masa depan. Namun, sosok lembek seperti itu tidak akan kita temui pada profil Proaktif kali ini, Nenek Della, seorang pemimpin kampung (community leader, CL) UPC Jakarta.
Penderitaan dan sedih bertubi-tubi sempat menghampiri Nenek Della yang dilahirkan pada hari terakhir (31 Desember) tahun 1950 di Palembang ini. Ia pernah merasa hidupnya hancur dan sudah tidak ada masa depan lagi buatnya. Beberapa teman, Rasdullah dan istrinya, selalu menyemangati Nenek Della untuk bangkit, untuk tidak selalu bersedih. Caranya yaitu dengan berorganisasi. Harapannya, dengan bertambahnya teman dan kesibukan, tentunya kesedihan lama kelamaan akan hilang. Nenek Della diajak bergabung dalam kegiatan-kegiatan UPC.
Akhirnya Nenek Della mulai ikut di kegiatan-kegiatan UPC. Pada awalnya ia susah menyesuaikan diri. Tapi lama kelamaan ia makin tertarik dengan kegiatan-kegiatan di UPC dan sedikit-sedikit mulai melupakan kesedihannya. Kegiatan pertama yang diikutinya adalah kelompok tabungan. Sekarang ia masuk ke bagian advokasi.
Pekerjaan sehari-hari Nenek Della selain aktif di UPC adalah, mengerik dan mencuci kemasan gelas air mineral. Untuk 2000 kemasan (1000 ngerik ditambah 1000 nyuci) ia dibayar sebesar Rp. 10 000,-. Uang ini tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk menghidupi satu anak, satu menantu dan tujuh orang cucu. (Satu orang menikmati Rp. 1000,-/harinya).
Nenek Della, sangat bangga kepada cucu-cucunya. Cucu-cucunya yang tidak hanya berpangku tangan melihat keadaan hidup mereka. Seperti cucunya yang tertua, Peggi, kelas 2 SMU, dibebaskan dari membayar uang sekolah karena tidak segan membantu pihak sekolah membersihkan kelas-kelas di sore hari. Bukan hanya Peggi yang tidak perlu membayar uang sekolah, seorang adiknya yang bersekolah di sana pun kecipratan.
Cucu Nenek Della yang lain, Angga, kelas 5 SD, tidak segan mencari ikan ke pelelangan di dekat rumah mereka yang berada di Kebon Tebu, Muara Baru, Jakarta Utara. Ikan-ikan tersebut lalu dijual dan biasanya Angga berhasil membawa uang Rp.6 000,- sampai Rp.7 000. Uang tersebut tidak digunakan untuk jajan, tetapi untuk membayar uang sekolah.
Kebanggaan dan sayang yang teramat untuk cucu-cucunya ini yang membuat Nenek Della tetap semangat untuk terus berjuang untuk melawan ketidakadilan ataupun perlakuan semena-mena dari penguasa terhadap rakyat miskin kota.
”Situasi yang membuatku tetap semangat untuk berjuang di UPC... Karena bukan hanya untukku, tetapi juga buat anak cucuku. ”
Meskipun, tanda-tanda tak muda lagi sudah sangat terlihat pada sosoknya. Rambut yang sudah tidak hitam lagi, kulit yang sudah banyak keriput atau pun gigi yang sudah tak lengkap lagi. Usia yang sudah senja dan fisik yang tak kokoh lagi itu, tidak mempengaruhi semangatnya, tidak mengurangi lantang suaranya ketika berorasi mendemo penguasa dan tidak mengurangi kegesitannya mengunjungi rakyat miskin kota lain yang menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa.
Tekad sudah bulat, ”selama masih bernafas, tidak akan berhenti berjuang”.
Nenek Della, sosok aktivis perempuan yang tak tunduk pada usia, pun tak takluk pada hidup. (Lola)
No comments:
Post a Comment