[MASALAH KITA] Ketika Burnout Melanda Aktivis

Oleh: Navita K. Astuti

Pada masa sekarang, masalah-masalah kesehatan baik pada raga dan jiwa semakin bermunculan dan jumlahnya terus meningkat. Hal ini diduga disebabkan oleh perkembangan zaman yang mengakibatkan perubahan gaya hidup, memicu persaingan yang kian ketat di antara sesama manusia hingga melebarkan kesenjangan sosial di masyarakat. Hidup yang kian kompleks mempengaruhi kesehatan jiwa dan raga manusia.

Jika raga yang terserang penyakit, dapat didiagnosa secara medis, bagaimana dengan jiwa? Permasalahan mental seringkali menjadi lebih pelik, karena sifatnya intangible – tidak terlihat dari luar diri, meskipun dapat dilakukan diagnosa setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan. Karena permasalahan mental tidak terlihat langsung penyebabnya dan lebih kompleks untuk dipahami, umumnya masyarakat yang kurang paham memberi label pada permasalahan mental sebagai sesuatu yang negatif dan memalukan. Padahal, setiap orang tanpa kecuali dapat dihinggapi permasalahan mental. Dari yang kadarnya sangat rendah sampai yang tinggi hingga tak sadarkan diripun, persoalan kesehatan mental sesungguhnya merupakan pertanda bagi seseorang untuk memberi perhatian lebih pada kesejahteraan batin dirinya sendiri.

Sumber: socialgadgetnews.com
Seseorang secara fisik disebut sehat karena ia menjalani gaya hidup sehat dan memberi asupan makanan yang sehat bagi tubuhnya. Ia mudah terserang penyakit ketika tidak memberi kecukupan bagi tubuhnya, di antaranya, asupan makanan sehat maupun olahraga dan istirahat yang cukup. Di sisi lain, seseorang yang sehat secara mental, memberi kecukupan ruang bagi batinnya untuk berpikir positif, penuh syukur dan reflektif terhadap pengalaman hidupnya.

Ketika batin seseorang merasa terlalu ‘penuh’ dengan aktivitas yang dilakukannya, ia bisa mengalami kelelahan. Lelah secara mental terlihat dari sikap maupun gerak-gerik seseorang. Hal itu bisa saja disadari atau tidak disadari. Namun dari gejala yang muncul, biasanya memperlihatkan bahwa orang tersebut mengalami kelelahan secara mental atau istilah klinisnya : burnout. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1974, untuk menggambarkan perasaan kegagalan dan kelesuan akibat beratnya beban atau tuntutan terhadap seseorang. Stamm, B (2005) menyatakan dalam jurnal penelitian ProQuol Manual, bahwa burnout adalah perasaan tanpa harapan dan kesulitan melakukan sebuah pekerjaan. Perasaan negatif tersebut muncul perlahan pada seseorang, yang berujung pada keputusasaan karena apapun yang dilakukan seolah-olah tak memberi hasil. (Sumber : www.wikipedia.com)

Gejala yang umum terjadi pada seseorang yang mengalami burnout antara lain : tidak ada motivasi untuk melakukan apapun, menyendiri, tak ingin berjumpa orang lain, hingga pada kondisi ekstrem, seperti histeris atau hiperaktif. Dengan kadar yang bermacam-macam, ketika dilanda burnout, ada orang yang dapat menanggulangi masalahnya dengan cepat, namun ada yang sampai berlarut-larut hingga menjadi depresi berkepanjangan.

Dunia aktivisme tak luput dari masalah burnout. Setiap aktivis memiliki keberpihakan tertentu yang ia perjuangkan. Perjuangan seorang aktivis, bisa jadi terasa berat, karena kebanyakan hal yang ia perjuangkan justru adalah sesuatu yang melawan arus dari yang umum terlihat di dalam masyarakat. Perjuangan seorang aktivis yang mendobrak kenyamanan banyak orang juga menjadi terasa berat. Dalam hal ini, beratnya beban atau tuntutan lahir bukan dari atasan atau banyaknya pekerjaan, melainkan dari tantangan yang muncul dari perjuangan demi keberpihakan itu sendiri.

Dedy Kristanto dari Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, memiliki kepedulian pada pentingnya hak asasi manusia (HAM) dan identitas seorang manusia, yang di banyak tempat masih terabaikan. Beliau memperjuangkan agar hak asasi manusia lebih dihargai di lebih banyak tempat yang mampu ia jangkau, termasuk di Sorong Selatan, Papua, tempatnya aktif berkegiatan saat ini. Namun, tantangan yang ia miliki adalah pemahaman masyarakat mengenai pentingnya HAM terlihat masih sangat kurang. Terutama ketika ia sendiri masih menyaksikan pihak penguasa melegitimisasi tindakan penyiksaan, pembunuhan, pembantaian massal, dan sebagainya. Ia mengalami kelelahan batin dalam upayanya menyadarkan keadilan HAM, karena harus berhadapan dengan historical block atau rekayasa sejarah yang dibangun demikian kuat oleh rezim pelanggar HAM di masa lalu. Rekayasa sejarah tersebut menimbulkan dampak di masa kini, yaitu suatu kesalahan yang dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat serta menjadi nilai sosial yang tak terbantahkan.

Sumber: vemale.com
Sebut saja Tati (bukan nama sebenarnya), aktivis di wilayah Agats di Papua, memiliki kepedulian option for the poor. Dengan kepeduliannya itu, bersama organisasinya, ia memperjuangkan kesejahteraan secara lebih merata di tanah Papua. Perjuangannya tersebut bentrok oleh tantangan adanya korupsi dari lembaga mitra yang seharusnya menjadi teman seperjuangan dalam mendobrak kepedulian option for the poor, ditambah lagi dengan adanya keruwetan manajemen internal yang semakin memperuncing tantangan yang ia hadapi.

Mita (bukan nama sebenarnya), seorang aktivis sekaligus seorang ibu rumah tangga dengan segudang tanggung jawabnya baik di rumah maupun di organisasi, memiliki kepedulian untuk berbagi hal-hal yang bermanfaat kepada orang banyak. Kepeduliannya itu ternyata harus berhadapan dengan kesulitan mengatur waktu , terutama ketika dihadapkan pada deadline dan pekerjaan yang menumpuk, dan di sisi lain memiliki kewajiban mengurus rumah tangga. Banyaknya tuntutan kegiatan tidak sebanding dengan tenaga yang ingin disumbangkan.

Setiap aktivis memiliki variasi tantangan atas perjuangan terhadap kepeduliannya. Kadang kala tantangan itu terasa seperti sebuah jalan panjang yang membosankan. Kadang kala tantangan itu seperti mengarungi lautan berombak yang mengancam nyawa. Semua tantangan yang dihadapi dapat membawa aktivis pada pengalaman psikis burnout atau lelah secara mental.

Burnout pada aktivis terjadi ketika ia merasa sia-sia pada perjuangan yang telah dilakukan. Ia tidak memiliki motivasi apapun untuk memperjuangkan nilai-nilai yang menjadi keberpihakannya selama ini. Gejala yang timbul atas kelelahan psikis pada para aktivis bervariasi. Dedy Kristanto mengalami perasaan tidak mau bertemu dengan orang lain. Tati, tidak bersemangat untuk melakukan sesuatu terkait pekerjaan. Sementara Mita merasakan tidak bersemangat untuk melakukan apapun.

Gejala burnout yang sangat mungkin dijumpai selain yang dituturkan oleh para aktivis di atas, bisa bervariasi dari skala kecil, hingga paling ekstrem, seperti mulai dari perasaan lelah, lesu, bangun pagi terasa berat, melamun sepanjang hari, hingga histeris dan tak sadar akan dirinya sendiri. Seperti halnya sebuah bangunan yang baru habis terbakar dan meninggalkan kerangka yang masih berdiri tegak, itulah yang terjadi pada seseorang yang mengalami burnout. Ia kehilangan separuh dari dirinya. Ia merasa tidak utuh sebagai seorang manusia. Oleh karena itu, jangan sepelekan gejala-gejala yang dialami.

Sumber: topcareermagazine.com
Namun demikian, setiap manusia dikaruniai akal budi untuk memecahkan setiap permasalahan yang mendera hidupnya. Setiap aktivis memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi kelelahan mental yang dialaminya. Mita menyatakan, ia menjauh sejenak dari persoalan-persoalan yang membuat dirinya lelah secara mental. Ia memberi waktu bagi pribadinya untuk menyegarkan diri dengan suasana berbeda, misalnya dengan memasak, jalan-jalan atau bermain bersama anak-anak Sementara Dedy Kristanto, menyalurkan kelelahannya dengan meditasi, membaca buku dan berolahraga. Tati mengatasi burnout-nya dengan kembali kepada fokus dan tujuan. Ia mencoba memikirkan terobosan baru bagi kebuntuan yang dihadapi serta membicarakan permasalahannya dengan orang-orang yang dipercaya mampu membantunya menguraikan masalah yang sedang ia hadapi.

Jadi, burnout yang dialami sesungguhnya dapat diatasi oleh diri sendiri. Dari penuturan para aktivis di atas, ada beberapa langkah mengatasi gejala burnout perlu digarisbawahi:
  • Pertama, beri waktu untuk mengistirahatkan diri. Beri kesempatan pada diri untuk berefleksi atas capaian-capaian yang telah diraih. Atau, beri waktu untuk menikmati hal-hal lain yang tidak terkait pekerjaan, seperti : mendengarkan musik, berjalan-jalan di taman, atau bermain bersama anak-anak atau orang-orang terdekat. 
  • Kedua, kembali pada tujuan atau visi dan misi keberpihakan. Dengan berpegang pada tujuan, kita dapat mengevaluasi segala hal yang telah dikerjakan. Kadangkala seseorang begitu terpaku mengejar hasil, namun tidak melihat proses yang sudah dijalani, dan bagaimana proses-proses tersebut telah menempa banyak aspek di dalam diri. 
  • Ketiga, berbagi permasalahan dengan orang lain. Ketika seseorang menutupi permasalahan dirinya rapat-rapat, di situlah letak masalahnya. Ia hanya berputar-putar di dalam diri sendiri tanpa solusi. Berdiskusi tentang permasalahan yang dihadapi dengan orang lain, justru akan memudahkan kita untuk mencari jalan keluar. Orang lain dapat melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda, dan memberi inspirasi pada kita. Beban permasalahan menjadi lebih ringan.
Aktivis adalah ujung tombak perubahan dan keberpihakan masyarakat. Kelelahan fisik maupun psikis sangat mungkin menerpa, diakibatkan oleh tantangan yang muncul dari perjuangan yang dilakoni. Namun, dengan memperhatikan setidaknya ketiga langkah di atas, semoga para aktivis akan kuat dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...