Sepotong Realitas Kesehatan Mental Dunia
Sumber : www.dreamstime.com |
Umumnya, ketika krisis ekonomi terjadi, tingkat depresi dan bunuh diri cenderung naik, seperti yang juga terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis ekonomi. Di sisi lain, persepsi masyarakat tentang kebutuhan mengalami peningkatan, di mana kebutuhan primer tidak lagi sebatas pangan-sandang-papan saja, namun merambah pada gadget (produk teknologi) yang sebetulnya berada pada lapis kedua (sekunder) ataupun ketiga (tersier). Kemudian, peristiwa politik dan hukum yang disiarkan melalui media publik (televisi, koran, radio, internet, dll) turut membentuk semacam pesimisme komunal tentang harapan akan peningkatan kesejahteraan. Belum ditambah aspek pendidikan yang masih dalam tahap reformasi (pembenahan) di tingkat masyarakat, bahwa pendidikan yang harusnya lebih diutamakan berbasis pada nilai-nilai kehidupan dan moral, bukan pada teknis kompetensi yang sejauh ini belum terbukti berkontribusi positif bagi perkembangan mental anak-anak masa kini.
Kondisi-kondisi di atas telah meningkatkan potensi terjadinya penyakit mental seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, penggunaan narkoba, anti-sosial, bunuh diri. Secara umum, permasalahan kesehatan mental dunia adalah jumlah tenaga medis untuk menangani penyakit mental tersebut belum mencapai proporsi yang berimbang, di mana hanya ada satu persen tenaga kesehatan global yang menangani penyakit mental. Untuk negara-negara berkembang, hanya ada 1 psikiater per 100.000 orang, sementara pada negara-negara maju, ada 1 psikiater untuk 2.000 orang (bds jurnal Mental Health Atlas WHO 2014).
WHO sebagai badan dunia yang menangani masalah kesehatan membuat sebuah Action Plan 2013 – 2020 untuk kesehatan mental dunia, di mana organisasi tersebut mencanangkan beberapa goal berskala global untuk memberikan ruang bagi seluruh manusia untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Sehat mental mengartikan seseorang mampu menyadari potensinya, mampu menangani stres dalam hidup, bekerja dengan produktif, dan berkontribusi terhadap komunitas mereka (Margareth Chan, Dirjen WHO). Ada 4 sasaran yang ditetapkan oleh WHO, yakni :
- Kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif untuk kesehatan mental,
- Undang-undang untuk kesehatan mental yang terintegrasi, komprehensif dan jaminan pelayanan sosial yang berbasis komunitas,
- Strategi implementasi untuk promosi dan pencegahan,
- Penguatan sistem informasi, penelitian, dan bukti.
Sumber : deliveringhappiness.com |
Melihat minimnya tenaga kesehatan jiwa yang ada di dunia, apalagi di Indonesia, dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk) berdasarkan data bulan Februari yang dipaparkan oleh Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Selasa (10/2) dalam lokakarya Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog di University Center UGM.
Untuk menanggulangi dan mengantisipasi kesehatan mental masyarakat, usulan kebijakan yang dibuat oleh WHO mungkin sudah mencakup arah yang perlu untuk dilakukan oleh pemerintah, sejalan dengan sasaran yang dicanangkan dalam rencana aksi tersebut. Di antaranya:
a. Penguatan kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif untuk kesehatan mental
Penguatan kepemimpinan mengarah kepada upaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan (?) (stakeholder) dalam menyusun kebijakan sistem pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya merangkul organisasi non pemerintah (non-governmental organization) dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang memiliki gangguan mental.
b. Menyediakan kesehatan mental yang terintegrasi, komprehensif dan jaminan pelayanan sosial yang berbasis komunitas
Akses terhadap pelayanan kesehatan menjadi langkah kebijakan berikutnya, di mana salah satu sarana yang telah diidentifikasi adalah mengembangkan pelayanan kesehatan dan sosial yang berbasis komunitas, serta diintegrasikan dengan rumah sakit umum. Perawatan kesehatan mental juga diharapkan mencakup perawatan kesehatan fisik karena keterkaitan faktor risiko kesehatan yang tidak selalu langsung diketahui.
c. Mengimplementasikan strategi implementasi untuk promosi dan pencegahan
Promosi dilakukan dalam bentuk penyuluhan kesehatan mental kepada seluruh warga masyarakat bertujuan untuk memberikan akses sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Selain itu, penyuluhan memiliki tujuan yang lebih besar, yakni pencegahan. Pencegahan terhadap gangguan mental mungkin perlu berfokus pada kebijakan yang antidiskriminasi dan penyuluhan untuk memperbaiki stigma dan pelanggaran hak asasi yang berkaitan dengan gangguan mental. Selain itu, pencegahan bunuh diri juga harus termasuk ke dalam prioritas, melihat terjadinya peningkatan tren bunuh diri di kebanyakan negara. Kecenderungan bunuh diri dikaitkan dengan lemahnya sistem pengawasan, salah kaprah antara bunuh diri dengan kecelakaan yang mematikan, serta kecenderungan kriminalisasi pada beberapa negara.
d. Penguatan sistem informasi, penelitian, dan bukti untuk kesehatan
Kecenderungan penelitian lebih banyak dilakukan oleh negara-negara yang memiliki pendapatan tinggi dan hal ini dipandang perlu dikoreksi agar negara-negara berkembang dapat menyusun strategi dalam menanggapi kebutuhan dan prioritas kesehatan mental. Dalam kerangka global, negara-negara di dunia harus mengembangkan sistem informasi yang mudah diakses oleh siapa pun, terutama untuk mendistribusikan data ataupun hasil penelitian ke banyak orang. Dengan sistem informasi yang baik, penelitian dapat dilakukan dengan lebih baik karena melibatkan lebih banyak responden. Untuk itu, data-data hasil penelitian perlu dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin dan usia dan juga ke dalam kategori-kategori yang mencerminkan beragam kebutuhan di subpopulasi, termasuk kebutuhan individual.
Dengan 4 usulan kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi WHO, dapat ditarik kontekstualitasnya terhadap situasi masing-masing negara dalam menyikapi persoalan kesehatan mental yang ada.
Referensi literatur :
- The Mental Health Action Plan’s 2013 – 2020, World Health Organization (2013)
- https://ugm.ac.id/id/berita/9715-minim.psikolog.ribuan.penderita.gangguan.jiwa.belum.tertangani
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
ReplyDeletesetujuu,, melalui artikel ini setidaknya kita mengurangi angka stigma sosial mengenai kesehatan mental di indonesia
ReplyDelete
ReplyDelete"Artikel ini sangat relevan, terutama mengingat pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental saat ini. Penulis telah berhasil menyampaikan pesan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Terima kasih sudah mengangkat topik yang penting ini!"