[PIKIR] Kesehatan Mental Dunia

Oleh: David Ardes Setiady
 
Sepotong Realitas Kesehatan Mental Dunia 



Sumber : www.dreamstime.com
Dunia yang kita tinggali saat ini, kian hari kian kompleks, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum berhasil meminimalkan mudarat dengan memaksimalkan manfaat penggunaannya bagi kesejahteraan kemanusiaan. Ditambah kondisi geopolitik, serta sistem perekonomian global yang masih tidak adil karena keberpihakan kepada pemilik modal besar. Variabel-variabel tersebut berinteraksi dalam kehidupan masyarakat dunia dan berdampak kepada kondisi kesehatan mental anggotanya. Bagaimana cara pandang kita terhadap dunia saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi kita terhadap peristiwa yang terjadi saat ini. Perilaku para pemimpin dunia dan keputusan politik yang diambil dalam menyikapi isu global, pada satu sisi berakibat pada benturan identitas pada masyarakat di bawahnya, seperti konflik sosial antara warga pendatang dengan warga asli (native) yang telah lebih dahulu. Isu terorisme yang juga telah berkontribusi terhadap meningkatnya prasangka sosial terhadap identitas Islam dan Arab, terutama karena pemberitaan media mainstream yang tidak berimbang.

Umumnya, ketika krisis ekonomi terjadi, tingkat depresi dan bunuh diri cenderung naik, seperti yang juga terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis ekonomi. Di sisi lain, persepsi masyarakat tentang kebutuhan mengalami peningkatan, di mana kebutuhan primer tidak lagi sebatas pangan-sandang-papan saja, namun merambah pada gadget (produk teknologi) yang sebetulnya berada pada lapis kedua (sekunder) ataupun ketiga (tersier). Kemudian, peristiwa politik dan hukum yang disiarkan melalui media publik (televisi, koran, radio, internet, dll) turut membentuk semacam pesimisme komunal tentang harapan akan peningkatan kesejahteraan. Belum ditambah aspek pendidikan yang masih dalam tahap reformasi (pembenahan) di tingkat masyarakat, bahwa pendidikan yang harusnya lebih diutamakan berbasis pada nilai-nilai kehidupan dan moral, bukan pada teknis kompetensi yang sejauh ini belum terbukti berkontribusi positif bagi perkembangan mental anak-anak masa kini.

Kondisi-kondisi di atas telah meningkatkan potensi terjadinya penyakit mental seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, penggunaan narkoba, anti-sosial, bunuh diri. Secara umum, permasalahan kesehatan mental dunia adalah jumlah tenaga medis untuk menangani penyakit mental tersebut belum mencapai proporsi yang berimbang, di mana hanya ada satu persen tenaga kesehatan global yang menangani penyakit mental. Untuk negara-negara berkembang, hanya ada 1 psikiater per 100.000 orang, sementara pada negara-negara maju, ada 1 psikiater untuk 2.000 orang (bds jurnal Mental Health Atlas WHO 2014).

 WHO sebagai badan dunia yang menangani masalah kesehatan membuat sebuah Action Plan 2013 – 2020 untuk kesehatan mental dunia, di mana organisasi tersebut mencanangkan beberapa goal berskala global untuk memberikan ruang bagi seluruh manusia untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Sehat mental mengartikan seseorang mampu menyadari potensinya, mampu menangani stres dalam hidup, bekerja dengan produktif, dan berkontribusi terhadap komunitas mereka (Margareth Chan, Dirjen WHO). Ada 4 sasaran yang ditetapkan oleh WHO, yakni :
  1. Kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif untuk kesehatan mental, 
  2. Undang-undang untuk kesehatan mental yang terintegrasi, komprehensif dan jaminan pelayanan sosial yang berbasis komunitas, 
  3. Strategi implementasi untuk promosi dan pencegahan, 
  4. Penguatan sistem informasi, penelitian, dan bukti. 
Dari rumusan rencana aksi yang dibuat oleh WHO, dapat kita tarik ke belakang, bahwa identifikasi persoalan kesehatan mental di dunia berkaitan erat dengan kebijakan pemerintahan dalam menangani kesehatan mental. Ada semacam ketimpangan dalam pengambilan keputusan terhadap kesehatan mental, atau dapat dikatakan bahwa belum ada penanganan yang cukup serius dari pemerintahan di seluruh dunia terhadap penyakit mental. Hal ini dapat dilihat dari perundang-undangan yang dibentuk oleh masing-masing negara masih secara parsial menyasar kepada isu kesehatan mental. Jaminan kesehatan bagi gangguan mental sejauh ini belum sepenuhnya diberikan oleh negara, bahkan pada kebanyakan negara berkembang, gangguan mental tidak dianggap sebagai salah satu yang dilindungi oleh jaminan kesehatan.

Sumber : deliveringhappiness.com

Melihat minimnya tenaga kesehatan jiwa yang ada di dunia, apalagi di Indonesia, dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk) berdasarkan data bulan Februari yang dipaparkan oleh Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Selasa (10/2) dalam lokakarya Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog di University Center UGM.

Untuk menanggulangi dan mengantisipasi kesehatan mental masyarakat, usulan kebijakan yang dibuat oleh WHO mungkin sudah mencakup arah yang perlu untuk dilakukan oleh pemerintah, sejalan dengan sasaran yang dicanangkan dalam rencana aksi tersebut. Di antaranya:

a. Penguatan kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif untuk kesehatan mental

Penguatan kepemimpinan mengarah kepada upaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan (?) (stakeholder) dalam menyusun kebijakan sistem pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya merangkul organisasi non pemerintah (non-governmental organization) dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang memiliki gangguan mental.

b. Menyediakan kesehatan mental yang terintegrasi, komprehensif dan jaminan pelayanan sosial yang berbasis komunitas

Akses terhadap pelayanan kesehatan menjadi langkah kebijakan berikutnya, di mana salah satu sarana yang telah diidentifikasi adalah mengembangkan pelayanan kesehatan dan sosial yang berbasis komunitas, serta diintegrasikan dengan rumah sakit umum. Perawatan kesehatan mental juga diharapkan mencakup perawatan kesehatan fisik karena keterkaitan faktor risiko kesehatan yang tidak selalu langsung diketahui.

c. Mengimplementasikan strategi implementasi untuk promosi dan pencegahan

Promosi dilakukan dalam bentuk penyuluhan kesehatan mental kepada seluruh warga masyarakat bertujuan untuk memberikan akses sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Selain itu, penyuluhan memiliki tujuan yang lebih besar, yakni pencegahan. Pencegahan terhadap gangguan mental mungkin perlu berfokus pada kebijakan yang antidiskriminasi dan penyuluhan untuk memperbaiki stigma dan pelanggaran hak asasi yang berkaitan dengan gangguan mental. Selain itu, pencegahan bunuh diri juga harus termasuk ke dalam prioritas, melihat terjadinya peningkatan tren bunuh diri di kebanyakan negara. Kecenderungan bunuh diri dikaitkan dengan lemahnya sistem pengawasan, salah kaprah antara bunuh diri dengan kecelakaan yang mematikan, serta kecenderungan kriminalisasi pada beberapa negara.

d. Penguatan sistem informasi, penelitian, dan bukti untuk kesehatan

Kecenderungan penelitian lebih banyak dilakukan oleh negara-negara yang memiliki pendapatan tinggi dan hal ini dipandang perlu dikoreksi agar negara-negara berkembang dapat menyusun strategi dalam menanggapi kebutuhan dan prioritas kesehatan mental. Dalam kerangka global, negara-negara di dunia harus mengembangkan sistem informasi yang mudah diakses oleh siapa pun, terutama untuk mendistribusikan data ataupun hasil penelitian ke banyak orang. Dengan sistem informasi yang baik, penelitian dapat dilakukan dengan lebih baik karena melibatkan lebih banyak responden. Untuk itu, data-data hasil penelitian perlu dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin dan usia dan juga ke dalam kategori-kategori yang mencerminkan beragam kebutuhan di subpopulasi, termasuk kebutuhan individual.

Dengan 4 usulan kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi WHO, dapat ditarik kontekstualitasnya terhadap situasi masing-masing negara dalam menyikapi persoalan kesehatan mental yang ada.

Referensi literatur :
- The Mental Health Action Plan’s 2013 – 2020, World Health Organization (2013)
- https://ugm.ac.id/id/berita/9715-minim.psikolog.ribuan.penderita.gangguan.jiwa.belum.tertangani

3 comments:

  1. Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

    ReplyDelete
  2. setujuu,, melalui artikel ini setidaknya kita mengurangi angka stigma sosial mengenai kesehatan mental di indonesia

    ReplyDelete

  3. "Artikel ini sangat relevan, terutama mengingat pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental saat ini. Penulis telah berhasil menyampaikan pesan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Terima kasih sudah mengangkat topik yang penting ini!"

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...