Oleh: Any Sulistyowati
Latar Belakang
Untuk menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-71, Proaktif Online melakukan survey online untuk menggali Refleksi mengenai Kemerdekaan Indonesia. Dua puluh lima orang mengisi survey tersebut. Mereka adalah para aktivis dari berbagai bidang dengan komposisi sebagai berikut: Alam dan Lingkungan (13 orang), Pendidikan (sembilan orang), Seni, Sastra dan Budaya (delapan orang), Teknologi (empat orang), Pertanian dan Pangan (tiga orang), Hukum dan HAM (dua orang), Ekonomi (dua orang), dan bidang lainnya (empat orang). Satu orang responden dapat mengisi lebih dari satu bidang garap.
Pertanyaan-pertanyaan refleksi dalam survey ini terdiri atas beberapa bagian utama, yaitu: sejauh mana Indonesia telah merdeka di berbagai bidang, ancaman yang dihadapi serta bagaimana cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Survey ditutup dengan pertanyaan apa yang ingin disampaikan para aktivis seputar kemerdekaan Indonesia.
Rangkuman Persepsi Responden tentang Tingkat Kemerdekaan Indonesia
Menurut para responden, secara umum sampai saat ini Indonesia belum sepenuhnya merdeka di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Ringkasan pendapat mereka dapat dilihat di grafik di bawah ini.
Secara keseluruhan hanya dua orang mengganggap Indonesia telah merdeka 100%, yaitu satu orang untuk bidang Agama dan satu orang untuk bidang seni dan budaya. Sebaliknya selalu ada responden yang menjawab Indonesia sama sekali belum merdeka (0% merdeka) di berbagai bidang, kecuali di bidang Seni dan Budaya tidak ada responden yang memilih Indonesia baru 0% merdeka. Di bidang-bidang lain, yang menjawab Indonesia masih 0% merdeka adalah di bidang Agama (tiga orang), Ekonomi (tiga orang), Kesehatan (dua orang), Lingkungan (dua orang), Pangan (satu orang), Pendidikan (dua orang), Perumahan (dua orang), Politik (satu orang), Sandang (dua orang), Sosial (satu orang) dan Teknologi (dua orang).
Jika di lihat di masing-masing bidang, maka di bidang Agama, hanya satu dari 25 orang yang menganggap Indonesia telah merdeka 100%. Sebaliknya tiga dari 25 orang menganggap belum merdeka sama sekali (0%). Sisanya tersebar dua orang menganggap telah merdeka 80%, delapan orang menganggap telah merdeka 60%, lima orang mengganggap telah merdeka 40% dan enam orang mengganggap telah merdeka 20%.
Di bidang Ekonomi, satu orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sembilan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan tiga orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Kesehatan, satu orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, tujuh orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, delapan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, tujuh orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Lingkungan, tidak ada responden yang menjawab Indonesia telah merdeka lebih dari 60%. Mereka menjawab dengan komposisi sebagai berikut: empat orang menjawab Indonesia telah 60% merdeka di bidang lingkungan, sembilan orang menjawab 40% merdeka, sepuluh orang menjawab 20% merdeka dan dua orang menjawab belum merdeka sama sekali. Seperti pada bidang Lingkungan, di bidang Pangan juga tidak ada responden yang menjawab Indonesia telah merdeka lebih dari 60%. Di bidang ini enam orang menjawab Indonesia telah 60% merdeka di bidang lingkungan, sepuluh orang menjawab 40% merdeka, delapan orang menjawab 20% merdeka dan satu orang menjawab belum merdeka sama sekali.
Di bidang Pendidikan, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Perumahan, tiga orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, tiga belas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Politik, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, satu orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, dua belas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan satu orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Sandang, empat orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, dua orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Seni dan Budaya, satu orang menganggap Indonesia telah sepenuhnya merdeka, lima orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sepuluh orang menganggap Indonesia telah merdeka 40% dan tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20%. Tidak ada yang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka di bidang Seni dan Budaya.
Di bidang Sosial, tiga orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, sembilan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, delapan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, empat orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan satu orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Di bidang Teknologi, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, tujuh orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, delapan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.
Persoalan-persoalan Seputar Kemerdekaan Indonesia
Meskipun sudah secara resmi 71 tahun merdeka, Indonesia belum sepenuhnya dianggap merdeka oleh para responden. Ada banyak persoalan, tantangan dan ancaman yang dihadapi negeri ini untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Anilawati Nurwakhidin dari YPBB menyatakan bahwa sebenarnya secara status Indonesia memang merdeka, tapi ancaman datang dari berbagai sisi dan dari berbagai bidang. Masalahnya ancaman-ancaman ini seringkali tidak disadari. Sementara itu, Huyogo berpendapat bahwa merdeka sepenuhnya memang mungkin tidak ada. Masih banyak pengaruh dari luar. Kukuh Samudra dari Unit Tenis ITB berpendapat bahwa dalam hampir semua bidang, Indonesia masih dikendalikan oleh orang lain. Barangkali secara deklaratif, secara hukum Indonesia telah merdeka. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Melly Amalia dari KAIL dan YPBB bahwa persentase kemerdekaan Indonesia di segala bidang masih di bawah 80%. Indonesia masih banyak disetir atau diarahkan oleh pihak ketiga. Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan masih dibutuhkan banyak waktu untuk merdeka pada berbagai bidang tersebut.
Fransiska Damarratri (Siska) dari ASF ID berpendapat bahwa semua hal tersebut terkait, terutama budaya dan sistem, mempengaruhi kemerdekaan. Merdeka selayaknya dimulai sejak dari pikiran. Namun terkadang sistem yang langgeng membatasi hal tsb dan aksi-aksi manusia.
Pesa Pecong dari Front Api, Bandung, menganggap bahwa merdeka, atau yang disebut menjadi sebuah negara sendiri tidak merubah keadaan dari bentuk negara sebelumnya yaitu Hindia Belanda. Menumpuknya harta pada segelintir orang, institusi pendidikan hanya mencetak calon buruh untuk perusahaan, banyak rakyat yang tidak memiliki tanah, bahkan tanahnya dirampas negara, rakyat dibuat tak berdaya dan banyak terjadi perampasan-perampasan hak kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan aparatnya adalah bukti-bukti bahwa kemerdekaan belum dirasakan oleh rakyat Indonesia. Kukuh juga menekankan bahwa bentuk penjajahan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Indonesia saat ini tidak memiliki kepercayaan-diri (mental negara terjajah). Semua yang baik seolah-olah berasal bukan dari diri sendiri. Mental yang seperti ini pada akhirnya mempengaruhi sistem produksi yang pada akhirnya mempengaruhi kembali ke mental. Mulai dari pangan. Indonesia memiliki bahan pangan pokok beraneka macam. Tapi mengapa harus nasi dan kentang? Toh, keripik singkong pun jika diolah dengan benar tidak kalah rasanya. Sementara sandang, mengapa pakaian dari Bandung atau kota sentra garmen perlu melewati benua biru sekedar untuk mendapatkan label garis-tiga atau centrang?
Seperti Kukuh, Navita K.Astuti dari KAIL juga mengungkapkan salah satu bentuk ketidakmerdekaan dari aspek pangan yaitu tidak merdeka dari jenis pangan sehat dan bergizi. Orang-orang termakan (terjajah) oleh trend masa kini, seperti makanan instan maupun makanan cepat saji. Sementara untuk sandang, tampak pola konsumtif orang saat berbelanja baju. Mereka masih terjajah oleh pandangan, misalnya, harus membeli baju baru saat lebaran.
Menurut Ajat Sutarja (Mang Ayut), pemerintah masih berpihak pada korporasi-korporasi dibanding pada kepentingan hajat hidup rakyat yang sejati, kurang mendukung sektor produksi ekonomi lemah dan menengah terbukti dengan lebih banyaknya import barang-barang jadi.
Abrori dari Turun Tangan, Bandung, juga memberi catatan mengenai produk pangan impor. Sebetulnya bukan kita tidak mampu menghasilkan produk-produk pangan yang baik, hingga pemerintah mengambil langkah impor. Dalam beberapa hal, tentu memang baik impor sesuatu. Tapi apa betul hasil produksi terbaik kita memang mandul sehingga harus impor ataukah hasil produksi terbaik kita belum terjaga dengan baik? Sehingga podusen pangan kita lebih memilih mendistribusikannya ke luar daripada mengutamakannya untuk distribusi dalam negeri? Sejauh apa evalusi yang dilakukan pemerintah? Kita bahkan tidak pernah tahu sejauh apa daya kita dalam memberi makan bangsa sendiri. Kita tidak bisa merdeka sepenuhnya sebelum upaya dalam memproduksi pangan untuk bangsa sendiri dilakukan dengan semaksimal mungkin. Melakukan riset-riset dan menciptakan kualitas-kualitas unggulan untuk diutamakan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Selain pangan dan sandang, ketidak merdekaan juga terjadi dalam pelayanan kesehatan dan berbagai bidang sosial. Abrori menyatakan bahwa semua sangat terpengaruh oleh politik. 'Parapelaku' politik kepentingan selalu berbicara mengatasnamakan rakyat. Korupsi ketika mengurusi berbagai 'proyek untuk rakyat', dampaknya ialah pandangan sini masyarakat terhadap segala perbaikan yg dilakukan oleh pemerintah. Baik infrastruktur, atau apa pun. Masyarakat seolah diutamakan, padahal nyatanya 'sinisitas' mereka semakin beranggapan bahwa mereka semakin ditinggalkan oleh keputusan-keputusan yang mengutamakan rakyat.
Wisnu dari Bandung menyatakan bahwa masalah terbesar adalah masalah pendidikan. Abrori menyoroti layanan pendidikan yang semakin komersil. Sektor pendidikan yang semula menjadi andalan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan ternyata menjadi sumber kesenjangan sosial. Yang kaya dapat mengakses pendidikan yang bagus dan mahal, sementara si miskin cukup puas dengan pendidikan ala kadarnya. Pendidikan menjadi sumber pengelompokkan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi. Belum lagi pendidikan menjadi ajang adu gengsi antar orang tua atau menjadi tempat bagi para guru untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sekolah menjadi bentuk penjajahan baru, di mana orang tua dan murid terjajah oleh harga pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah. Abrori juga menyoroti soal teknologi. Ia mempertanyakan, sejauh apa pemerintah berani mengambil risiko memberi modal pada developer-developer dalam negeri, memberikan keleluasaan dan memfasilitasi para ahli dengan fasilitas yang tidak setengah-setengah, serta mewadahi paraahli untuk mencurahkan ide dan kreasi mereka. Ia melihat bahwa sejauh ini teknologi kita didominasi oleh produsen asing. Produksi dalam negeri sepertinya sulit sekali menghasilkan sesuatu. Proses birokrasi, tes uji kelayakan, surat izin edar, dan langkah-langkah lain nampaknya dirasa menyusahkan. Apalagi kadang terdengar selintingan yang melibatkan perut-perut profesi lain yang terancam terambil pangsa pasarnya.
Ancaman-ancaman terhadap Kemerdekaan IndonesiaAncaman yang dirasa paling besar saat ini adalah kesenjangan antara yang kaya dan miskin (dipilih oleh 17 orang) dan Perubahan Hutan menjadi Perkebunan Sawit (dipilih oleh 15 orang). Ancaman yang dirasa cukup besar, yaitu dipilih oleh 12 orang adalah Putus Sekolah dan Buta Huruf serta Polusi Udara dan Air. Diikuti dengan rawan Pangan yang dipilih oleh sebelas responden. Sembilan orang memilih Konflik antar Suku, Etnis dan Agama serta Bencana Alam terkait Perubahan Iklim sebagai ancaman utama. Sementara Kekisruhan Politik dalam negeri dipilih oleh delapan orang. Ketergantungan pada Gadget dan Intrusi Budaya barat di kalangan kaum muda dipilih oleh tujuh orang sebagai ancaman utama terhadap kemerdekaan Indonesia.
Lima orang menganggap Menumpuknya Sampah di TPA sebagai ancaman terhadap kemerdekaan, disusul ancaman-ancaman yang dipilih oleh empat orang adalah Penjarahan hasil Laut Indonesia oleh kapal asing, Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah serta Meningkatnya Jumlah rakyat Miskin di Perkotaan. Sisanya beragam ancaman dipilih oleh satu sampai tiga orang dengan total 12 pilihan.
Bagaimana Cara Mengatasi Ancaman-Ancaman terhadap Kemerdekaan? Debby Josephine dari Rumput Kecil menyatakan bahwa mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan bagaikan mencari cara untuk membangunkan orang yang pura-pura tidur. Anilawati dari YPBB berpendapat bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut, kita perlu mempelajari dan menyadari masalah-masalahnya dan mulai memecahkannya sedikit demi sedikit. Sementara Pesa Pecong dari Front API berpendapat bahwa Rakyat harus bergerak untuk melawan; Abrori menambahkan pentingnya gotong-royong untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut.
Navita Kristi Astuti dari KAIL menyatakan bahwa untuk membangun Indonesia diperlukan niat baik dan saling percaya satu sama lain baik dalam komunitas kecil RT/RW maupun dalam lingkup besar kabupaten, provinsi hingga lingkup negara. Bukik Setiawan dari Kampus Guru CIKAL, Serpong menyatakan pengakuan terhadap keragaman dan penghargaan terhadap potensi lokal sangat penting untuk mengatasi ancaman-ancaman di atas.
Menurut Fransiska Damarratri dari ASF-ID, cara mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan perlu dimulai dari pendidikan. Aksi-aksi tersebut perlu digerakkan secara merata, di desa dan di perkotaan. Aksi dan pendidikan harus diorganisasi, dicatat, dikombinasikan. Literasi bangsa sangatlah rendah saat ini. Bangsa yang tidak membaca bisa jadi tidak berpikir - secara merdeka. Senada dengan Siska, Melly Amalia dari KAIL dan YPBB menyatakan perlunya upaya terus menerus untuk melakukan edukasi lewat penyuluhan dan pelatihan. Juga kampanye ke berbagai lini masyarakat dengan perubahan paradigma yang tepat. Ia berharap masyarakat Indonesia bisa mandiri, kreatif, berkarya dan bekerjasama (kolaborasi) lewat komunitas-komunitas terkecil.
Masih di bidang pendidikan, Wisnu menyatakan pentingnya perubahan sistem pendidikan dasar. Dhika Pranastyasih dari Yahintara dan Yayasan Sadagori Indonesia menekankan pentingnya edukasi sejak dini dalam keluarga. Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan bahwa untuk mengatasi ancaman-ancaman di atas pendidikan harus diperbaiki secara mendasar. Ia menyatakan bahwa selama ini pendidikan yang berkembang di Indonesia tidak membebaskan. Krisna berpendapat bahwa pendidikan yang perlu dikembangkan adalah mengedepankan pemakaian nalar. Tien Widyaningrum dari WSDK, Bandung menganggap perlunya pendidikan dan berbagai media untuk menguatkan konsep tentang Indonesia pada diri masing-masing.
Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya investasi dan perombakan besar-besaran di bidang pendidikan dan penegakan hukum. Ia menyatakan bahwa selama ini penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal yang sama ditekankan oleh Abrori dari Turun Tangan Bandung. Ia menyatakan perlunya penegakkan hukum yang sangat tegas untuk mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan. Ajat Sutarja (Mang Ayut) dari Bandung menyatakan vahwa untuk mengatasi lemahnya penegakkan hukum di segala sektor, maka sangat penting kesadaran masyarakat dan pemerintah terutama penegak hukum untuk berbuat yang terbaik dari lingkup terkecil
Selain penegakan hukum, Willy Hanafi menekankan perlunya peningkatan pemahaman masyarakat akan haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan akses keadilan dan kesejahteraan. Mang Ayut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan antara kota dan desa serta Jawa dan luar Jawa masih menjadi masalah yang sangat penting di era kemerdekaan ini. Willy merasa prihatin akan banyaknya investasi modal besar yang datang ke Indonesia yang tidak di imbangi oleh niat baik pemerintah untuk mendapatkan akses keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Raden Rhea dari LISES UNPAD mengatakan bahwa hal yang paling mengancam kemerdekaan Indonesia adalah yang terkait ketersediaan bahan pokok. Ia meyakini bahwa jika masalah sandang pangan papan dan pendidikan sudah terpenuhi, masalah lain bisa teratasi. Seandainya rakyat sudah berpendidikan dan kebutuhan pokok mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak memiliki emosi negatif yang biasanya disalurkan dgn pergaulan bebas, atau mabok-mabokan yang berujung pada bentrok antar kelompok. Untuk menjawab hal tersebut Abrori dari Turun Tangan Bandung menyatakan bahwa Indonesia harus berdikari. Hal ini akan memunculkan kepercayaan diri bangsa. Ia berpendapat bahwa selama ini Indonesia sudah dijajah oleh Neo-kolonialisme. Hanya kita yang tidak sadar dan sudah terlanjur nyaman dengan kondisi yang terlalaikan ini. Untuk keluar dari situasi ini, dibutuhkan peran yang serius dari dua belah pihak; pemerintah dan pergerakan masyarakat. Tidak bisa jalan hanya salah satunya saja. Kita perlu mengembalikan integritas bangsa, barulah bisa merdeka. Indonesia harus berupaya semaksimal mungkin agar bisa berdikari dan berkedaulatan rakyat. Tentunya dengan mengesampingkan perut sendiri dan mengutamakan kemaslahatan umat.
Mendukung hal tersebut, Huyogo dari AJI Bandung menyatakan perlunya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, bukan pemalas agar dapat mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Raden Rhea dari LISES UNPAD, Bandung, menekankan mandiri pangan, jaga lingkungan dan bijak pengelolaan sumberdaya manusia sebagai hal-hal penting untuk mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan.
Selain itu Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya perubahan sistem ekonomi dan pertanian yang lebih berdaya ke dalam. Untuk itu, Daniel Mangoting dari Koperasi Lestari menekankan pentingnya pembangunan gerakan di tingkat komunitas. Ia menyatakan bahwa Indonesia ini masih setengah merdeka karena masih jauh dari maju dan berdaulat.
Dewi Amelia melihat bahwa telah terjadi pelaksanaan kebijakan neoliberal di dalam negeri dan semakin berkembangnya monopoli dan perampasan tanah rakyat. Ia menekankan pentingnya pelaksanaan reforma agraria sejati dan pembangunan industri dasar nasional.
Ismail Agung menekankan pentingnya pemimpin yang baik dan rakyat yang baik di dalam upaya mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Muhammad Habibullah dari ITB menyatakan bahwa salah satu bentuk konkret yang perlu dilakukan adalah menghapus budaya korupsi di pemerintahan. Hal senada disampaikan oleh Abrori dari Turun Tangan Bandung yang menekankan pentingnya Pembasmian hama-hama koruptor dan mafia peradilan. Krisna berpendapat contoh konkretnya adalah penghapusan Departemen Agama.
Dari aspek Bahasa dan Budaya, Ismail Agung menekankan minimnya kesadaran generasi muda terhadap integritas bangsa. Selain itu, Huyogo dan Dhika juga mencatat bahwa kepercayaan diri pada identitas bangsa mulai hilang, khususnya di kalangan generasi muda. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Habibullah bahwa bangsa kita belum punya rasa memiliki bangsanya sendiri. Untuk itu, Abrori menyatakan perlunya mengembalikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan tanpa ada embel-embel Bahasa Inggris karena dinilai lebih modern dan kekinian oleh anak muda. Kontrol dari pemerintah terhadap media pemberitaan dan hiburan terutama televisi juga diperlukan. Selain itu perlu dihidupkan kembali kegiatan-kegiatan pesta rakyat.
Selain bidang-bidang di atas, Kukuh Samudra dari unit Tenis ITB menyatakan bahwa Indonesia juga perlu mengembangkan olah raga. Melalui olah raga, Indonesia dapat mengembangkan kesehatan fisik rakyatnya. Selain untuk mencari sehat atau mencari kesegaran tubuh dan jiwa. lebih jauh lagi, olahraga adalah juga dapat menjadi kebanggaan. Misalnya di masa lalu, konon, Indonesia terkenal karena tiga hal, yaitu: Sukarno, Bali dan Bulutangkis. Indonesia juga pernah begitu perkasa di level Asia Tenggara bahkan tingkat Asia. Sayangnya hal tersebut tidak lagi terjadi di masa kini. Padahal hal-hal tersebut bisa menjadi sumber kebanggaan menjadi orang Indonesia.
Lepas dari berbagai ancaman yang dihadapi kemerdekaan Indonesia, Krisna menekankan bahwa Indonesia masih perlu bersyukur melihat peluang hidup di Indonesia. Potensi Indonesia sangat luar biasa, yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. Untuk itu, marilah kita peringati hari ulang tahun RI ke 71 ini dengan penuh rasa syukur, sambil tak lupa menyiapkan diri untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati !
***