[MEDIA] 71 Tahun Indonesia Merdeka: Narasi dalam Buku

Oleh: Kukuh Samudra 

Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata di tangan. Senjata mereka bukanlah tipe yang sekali tusuk musuh mati seketika, atau sekali tembak puluhan peluru berdesir. Waktu tidak membuat senjata ini berkarat. Senjata tersebut tidak lain adalah buku.

Indonesia Menggugat

Seorang insinyur lulusan anyar yang mendapatkan kemewahan pendidikan tinggi diliputi kegelisahan atas nasib bangsanya. Setelah menamatkan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), dia bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok diskusi yang dinamakan Algamenee Studieklub. Pemuda tersebut tidak lain adalah Sukarno.

Diskusi rutin mereka adakan dengan tema-tema seputar politik dan kebangsaan. Belanda tidak senang, lantas menangkap mereka dengan dalih mengancam ketertiban dan ketentraman.

Sukarno, yang kelak dikenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia bersama tiga orang kawannya yang lain: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929. Dalam rentang dua bulan, Sukarno harus menulis sendiri pembelaannya. Sang istri, Inggit Ganarsih, berperan besar dalam upaya pembuatan pembelaan tersebut dengan menyuplai bahan bacaan dan alat tulis. Buku dan alat tulis disembunyikan oleh Inggit di balik kebayanya. Sukarno paham betul, latar belakang mereka ditangkap adalah alasan politik. Dasar penangkapan mereka adalah UU pasal 169 tentang penyebaran kebencian terhadap penguasa. Pasal yang sering dijuluki sebagai “pasal karet” karena memiliki ruang penafsiran yang begitu luas sehingga sering digunakan penguasa untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sukarno menuliskan dalam pleidoinya : Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; iya, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan jang menjadi nyawanya fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami . Sukarno ditangkap pihak Belanda karena ditengarai hendak merencanakan kudeta bersenjata. Selain Sukarno terdapat 40 aktivis lain yang ditangkap oleh Belanda. Padahal saat terjadi penangkapan, jelas mereka tidak memiliki senjata barang golok maupun pistol.


Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu meriam 

Dalam pembelaannya, Sukarno menyampaikan argumen yang berkaitan dengan politik ekonomi pemerintah Belanda di Indonesia. Pada dasarnya politik ekonomi yang dilakukan oleh Belanda dan negara-negara Eropa lainnya berupa imperialisme. Sukarno secara garis besar membagi imperialisme menjadi dua, yaitu imperialisme kuno dan imperialisme modern. Berdasarkan rentang waktu, imperialisme kuno adalah praktek imperialisme yang berkembang sebelum abad 19, sementara imperialisme modern adalah yang berkembang setelah itu.

Perbedaan antara imperialisme kuno dengan modern tidak lain adalah teknik pemerluasan kapital. Praktek imperialisme tua dicontohkan dengan Kongsi Dagang Belanda, VOC. Mula-mula mereka memperkenalkan diri ingin berdagang, hingga berujung pada pengerukan besar-besaran hasil bumi untuk dijual ke luar negeri. Bumiputera diminta untuk bekerja keras dengan upah serendah-rendahnya, sementara semua keuntungan masuk ke dalam kantong para Meneer.

Praktek imperialisme modern tidak lain adalah anak dari kapitalisme modern. Sementara kapitalisme modern sendiri tidak dapat dilepaskan oleh hadirnya revolusi industri di Eropa.

Revolusi industri telah memungkinkan manusia untuk memproduksi barang secara masal. Dalam rentang waktu tersebut ekonomi Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, masalah timbul ketika pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Eropa membutuhkan 'pasar' baru. Sasarannya adalah negara-negara dengan perekonomian yang lemah. Buruh dibayar dengan biaya murah agar mendapatkan keuntungan maksimal. Kapital pada akhirnya bergerak, menjalar, mencengkeram negara-negara berkembang.

Lantas apa perbedaan dari imperialisme tua dengan imperialisme modern? Bagi Sukarno sendiri keduanya tidak banyak berbeda.

Imperialisme-tua, sebagai yang kita alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke 19, imperialisme tua dalam hakekatnya adalah sama dengan imperialisme modern: nafsu, keinginan, cita-usaha, kecenderungan, sistem untuk menguasai atau memengaruhi rumah tangga negeri lain atau angsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar pagar negeri sendiri. Sifatnya lain. Azas-azasnya lain, penglahirannya lain, tapi hakekatnya sama!

Pembelaan Sukarno lantas dibukukan dan dikenal dengan judul "Indonesia Menggugat". Aksi Massa dan Bebas dari Pembangunan: Ide yang Mengupas Kapitalisme dan Imperialisme dalam Dua Zaman.

Aksi Massa

Empat tahun sebelum Sukarno melayangkan gugatannya di Landraad te Bandung (Pengadilan Negeri Bandung, sekarang dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5), seorang Indonesia lain menulis ihwal yang sama tentang imperialisme. Orang yang dimaksud adalah Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang namanya kerap terlupakan akibat praktek rekayasa sejarah oleh rezim penguasa.

Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Aksi Massa (1926), imperialisme dibedakan menjadi 4 yaitu : a) Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina. b) Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda. c) Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India). d) Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.

Sementara dari segi pemerasan ekonomi, modelnya dibedakan juga menjadi 4 :

a) Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.
b) Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.)
c) Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India
d) Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.

Sosok Tan Malaka barangkali tidak terlalu terkenal. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia sosok ini disebut mirip legenda. Nama Tan Malaka begitu terkenal di kalangan para pejuang kemerdekaan. Dia telah menulis banyak brosur yang berisi ide-ide perjuangan. Namun, sosok fisiknya tidak pernah tampak. Dua puluh tahun dia berkelana, puluhan nama samaran digunakan sampai-sampai dia merasa aneh ketika suatu saat perlu memperkenalkan diri dengan namanya sendiri.

Dalam Aksi Massa, Tan Malaka mengkaji pergerakan di berbagai negara, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, yang kala itu berjuang melawan kekejian struktural para imperialis. Salah satu negara adalah India. Lain Indonesia, India adalah korban dari imperial Inggris. Seperti yang telah dijelaskan, bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris pun berbeda. Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda pada dasarnya adalah pemerasan keringat sekering-keringnya. Inggris pun bukannya tidak memeras kekayaan alam India, tapi mereka menggunakan cara yang lebih halus.

Akibat Revolusi Industri, perekonomian Inggris maju pesat. Namun, pasar mereka lama-kelamaan mengalami keterbatasan. Lantas mereka menjajah India dan memberlakukan sistem monopoli di mana setiap warga India wajib membeli produk-produk Inggris dengan harga yang setinggi-tingginya. Perekonomian yang mandiri dikendalikan, produk dalam negeri India justru diekspor, sedangkan pribumi dilarang untuk membelinya.

Bebas dari Pembangunan (Staying Alive)

Enam puluh tahun setelah Aksi Massa dituliskan dan Indonesia Menggugat dibacakan, seorang intelektual India bernama Vandana Shiva menuliskan buku berjudul Staying Alive (terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia menjadi Bebas dari Pembangunan). Pemikirannya tampak memiliki benang merah baik dengan Sukarno maupun Tan Malaka. Hal ini dapat dipahami mengingat mereka berasal dari negara yang sepanjang usianya berhadapan dengan upaya-upaya imperialisme.

Vandana Shiva dapat dikatakan menjalani era 'yang berbeda'. Konteks dan nuansa yang dialami berbeda. Dia lahir dan besar ketika bangsanya telah lepas dari penjajahan. Namun sisa-sisa imperialisme pun tetap tampak. Dia menjalar semakin luas, namun lebih halus, lebih tidak kentara.

Akar masalah sosial dan ekonomi, bagi Shiva, merupakan akibat dari kapitalisme. Namun dengan menarik lebih jauh ke belakang, Shiva menyatakan bahwa kapitalisme tidak bisa dipisahkan dengan masalah gender. Kapitalisme telah memisahkan perempuan dari bagian kerjanya. Pengelolaan air, hutan, dan sumber daya alam coba dipisahkan dari perempuan. Pada akhirnya, kekayaan alam dipandang sebatas sebagai sumber daya yang dapat dikuasai sepenuhnya. Kapitalisme tidak pernah mengakui sebagai contoh kasih sayang pada alam, penanaman kembali hutan, atau sifat 'pasif' perempuan. Hal-hal semacam itu dianggap tidak penting karena tidak menghasilkan keuntungan kapital. Mentok kapitalisme menganggap itu penting, tapi tidak pernah memberikan penghargaan sepantasnya Sekali lagi jika tidak menguntungkan, mengapa perlu dihargai?

Rentang masa yang panjang, melalui berbagai sumber penulisan kita bisa melihat bahwa setiap masa memiliki bentuk penindasan yang berbeda-beda, tidak dapat lepas dari semangat zaman. Di masa yang berbeda, di tanah yang terpisah beribu-ribu mil, perlawanan terus didengungkan keadilan terus diperjuangkan.

Sebuah Refleksi Terhadap Fiksi

Gugatan Sukarno pada sidang yang berlangsung di Landraad te Bandoeng tahun 1930 pada akhirnya tetap ditolak. Keputusan hakim tetap menyatakan Sukarno bersalah. Berangkat dari fiksi, kita bisa membandingkan kisah Sukarno dengan pembelaan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan terbaik Indonesia yang namanya berulang kali masuk dalam nominasi nobel, menulis sebuah roman legendaris. Roman tersebut sering dikenal sebagai "Tetralogi Buru". Latar belakang julukan roman tidak lepas dari fakta bahwa roman tersebut ditulis di Pulau Buru saat Pramoedya menjadi tahanan politik sejak tahun 1973. Jilid pertama tetralogi tersebut berjudul Bumi Manusia.

Tetralogi buru berlatar belakang abad 20 awal. Tokoh utama roman adalah Minke, seorang anak bangsawan Jawa yang memberontak dengan sistem feodal Jawa yang menurutnya penuh kemunafikan.

Minke yang hidup di Surabaya untuk studi di Hogere Burgerschool (HBS, sekolah menengah jaman penjajahan Belanda) jatuh cinta terhadap Annelies, seorang Indo. Ayah Annelies bernama Herman Mellema adalah orang Belanda totok, sementara ibunya yang dikenal orang sebagai Nyai Ontosoroh adalah pribumi. Ayah Annelies meninggal dengan mewariskan sebuah perusahaan pertanian yang sangat besar.

Perusahaan tersebut dikelola dengan cara-cara modern yang hebatnya dilakukan oleh dua orang perempuan: Nyai Ontosoroh dibantu oleh Annelies sendiri. Sesuatu yang begitu luar biasa, mengingat perempuan waktu itu dianggap hanya pantas untuk mengurusi urusan dapur. Nyai Ontosoroh sendiri diceritakan belajar itu semua secara otodidak.

Diceritakan bahwa Herman Mallema sebetulnya telah memiliki anak di Belanda. Hal yang lumrah pada zaman itu seorang Belanda yang datang ke Indonesia meminang seorang gundik meskipun dia di negeri asalnya telah memiliki istri.

Suatu waktu anak Herman Mallema dari istrinya yang sah datang ke Indonesia atas dasar sebuah tugas kerajaan Belanda. Anak itu bernama Maurist Mellema.

Ketika sampai di Indonesia dia bukan tidak tahu bahwa sang Ayah memilki perusahaan perkebunan di Hindia-Belanda. Maurist Mallema suatu hari datang ke kediaman Nyai Ontosoroh. Menglaim perusahan milik sang ayah, meskipun selama ini perusahaan dibesarkan selayaknya ‘anak sendiri’ oleh Nyai Ontosoroh. Polemik terjadi. Nyai Nyontosoh tidak rela perusahaannya lepas begitu saja. Pertarungan akhirnya mencapai meja hijau..

Berbicara soal hukum, status Maurist sebagai warga Belanda totok menempatkan posisinya sangat kuat dalam perebutan warisan. Apalagi mengingat Nyai Ontosoroh hanya gundik, bukan istri yang sah.

Persidangan berjalan alot. Beritanya tersebar di mana-mana, mengingat perusahaan perkebunan yang dipolemikkan bukan perusahaan kecil. Apalagi isu yang diangkap cukup seksi, menyangkut ras dan kasta sosial. Sebuah pertarungan antara pribumi dengan seorang Belanda totok. Persidangan diikuti dengan taat oleh Nyai Ontosoroh. Dia rela membayar pengacara mahal. Setiap pertanyaan hakim dijawab dengan lantang. Pada akhirnya hakim tetap memutuskan perusahaan jatuh ke tangan Maurist Mellema. Namun, menurut Nyai Ontosoroh, masalah utama bukan sekedar menang-kalah. Hukum di Belanda saat itu tidak bisa disebut adil. Hukum tidak berlaku sama di hadapan manusia. Ia masih memiliki tendensi yang tajam berkaitan dengan ras.

Apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh setelah dia kalah dan perusahaannya dirampok dengan begitu keji? Dalam dialog antara dirinya dengan Minke, dia berujar, "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Kisah perlawanan Nyai Ontosoroh sekiranya mirip dengan kisah Sukarno. Sebuah perlawanan yang dilakukan oleh pribumi atas hak-hak yang dirampas. Perlawanan yang dilakukan atas dasar kehormatan dan harga diri meskipun tidak membuahkan kemenangan di pengadilan.

Tetralogi Buru adalah fiksi, sementara Indonesia Menggugat adalah fakta. Apa relevansi sebuah fiksi dengan fakta? Di mana posisi karya fiksi atau sastra? Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan cum jurnalisme, berujar dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jika jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.”

Kenyataan berkata: peredaran Tetralogi Buru dilarang oleh rezim orde baru karena dianggap menyebarkan paham Marxisme-Leninisme secara tersirat. Novel tersebut dianggap membahayakan stabilitas nasional, meskipun secara garis besar kisah yang disampaikan adalah perjuangan seorang bumiputra dalam melawan penjajah Belanda.

Tetralogi Buru baru beredar lagi setelah orde baru tumbang. Namun, selama pemberedelan terjadi suatu fenomena yang menarik. Buku-buku tersebut kenyataannya masih bisa dibaca meskipun harus sembunyi-sembunyi. Para penjual buku menjual di bawah tangan secara hati-hati, para aktivis penentang orde baru ramai-ramai memfotokopi. Membaca diiringi rasa was-was.

Refleksi 71 Tahun Indonesia melalui Aksara

"Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer

Secara etimologi, aksara dalam bahasa sansekerta terbentuk dari dua kata, yaitu A yang berarti tidak, dan Ksara yang berarti mati. Aksara berarti sesuatu yang tidak mati. Aksara membuat abadi, entah itu ide, atau pribadi.

Ide bisa tumbuh dari mana saja, dari siapa saja. Dia akan bergerak bagaikan udara. Beberapa ide muncul lantas tenggelam. Beberapa yang lain tetap hidup abadi. Aksara yang membuat hidup tetap bertahan. Dia yang menjaga ide padu meski arah angin berubah.

Sebuah buku juga bisa menjadi dokumen. Sebuah arsip yang memperlihatkan perjalanan lahir-tumbuh sebuah bangsa. Atau bisa jadi, buku adalah yang membuat bangsa tetap bertahan. Dia yang membuatnya abadi.

Aksi Massa, Indonesia Menggugat, Tetralogi Buru, dan yang paling anyar Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara adalah segelintir jejak pejalanan bangsa Indonesia. Bangsa yang memiliki sejarah akan perlawanan terhadap ketidakadilan. Bangsa yang lahir, tumbuh, dan berkembang untuk mencapai cita-cita yang didambakan.

Selamat ulang tahun Indonesiaku.


Referensi: 


  1. Hartono, Rudi. 2014. Soekarno Dan ‘Indonesia Menggugat’. [Online]. Tersedia: http://www.berdikarionline.com/soekarno-dan-indonesia-menggugat/ [4 Agustus 2016]
  2. Malaka, Tan. 2014. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi.
  3. Poeze, Harry. 2009. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946. Trans. Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  4. Shiva, Vandana. 1988. Bebas dari Pembangunan. Trans. Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  5. Sukarno. (tanpa tahun). Indonesia Menggugat. Jakarta: Departemen Penerangan RI


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...