Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Pemenuhan kebutuhan ini turut mewarnai sejarah perjuangan umat manusia dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan, baik cara damai maupun perang, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang super kompleks seperti yang kita alami saat ini. Untuk mendapatkan pangan, manusia mengambil sumber-sumber pangan dari alam. Pada awalnya manusia hanya mengambil pangan dari sumber-sumber yang dekat dengan tempat tinggalnya dan dalam jumlah kecil sesuai dengan kebutuhan manusia di wilayah tersebut pada saat itu. Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi telah meningkatkan kebutuhan pangan dalam skala global. Untuk mengatasinya, manusia telah mengembangkan berbagai teknologi pangan yang mampu meningkatkan produksi pangan dunia secara signifikan.
Kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia saat ini memproduksi pangan dalam jumlah besar dalam waktu yang lebih singkat. Sistem pangan tersebut juga memungkinkan manusia untuk mengonsumsi apa saja, di mana saja dan kapan saja. Dengan bantuan teknologi, manusia mampu mengambil sumber sumber pangan di alam secara masif, bahkan dari tempat-tempat yang jauh dari lokasi produksi dan konsumsi pangan tersebut.
Masalahnya, pengambilan sumberdaya tersebut seringkali sampai melampaui batas-batas daya dukungnya. Di berbagai tempat di dunia, terjadilah kerusakan alam yang parah. Jika kecenderungan ini berlanjut, maka ketersediaan sumber-sumber pangan di alam akan menurun. Pemenuhan kebutuhan pangan manusia pun akan terganggu dalam jangka panjang.
Selain kerusakan alam, kemajuan di atas juga membawa konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan transportasi untuk memindahkan pangan dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain. Hal ini berimplikasi pada penggunaan bahan bakar dan emisi karbon yang dihasilkan dari proses pengangkutan tersebut. Kenaikan emisi karbon menyebabkan efek rumah kaca yang menaikkan suhu bumi. Inilah yang dikenal sebagai pemanasan global. Pemanasan global akan menyebabkan perubahan iklim yang mempengaruhi siklus musim secara global. Bencana alam seperti banjir dan kekeringan semakin kerap terjadi. Peningkatan frekuensi bencana akan meningkatkan kemungkinan gagal panen di lokasi-lokasi bencana tersebut.
Perkembangan teknologi juga memungkinkan manusia melakukan penanaman pangan di luar musimnya atau di tempat yang bukan habitatnya. Masalahnya, energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan pangan di luar musim atau di tempat yang bukan habitatnya sangat besar. Meskipun dari sisi ekonomi mungkin masih lebih murah daripada mendatangkan pangan tersebut dari habitatnya atau menyimpan dari panen musim lalu, pola produksi ini lebih boros dari sisi sumberdaya. Semakin banyak sumberdaya dan energi yang digunakan, maka laju pemanasan global akan semakin cepat. Iklim menjadi kian tidak menentu. Banyak petani yang gagal panen akibat perubahan musim dan cuaca ekstrem. Produksi pangan pun terancam menurun.
Sisi lain dari pemindahan pangan dari satu tempat ke tempat lain adalah kebutuhan akan kemasan. Kemasan digunakan untuk memastikan kualitas pangan tetap terjaga pada saat dikonsumsi. Kemasan juga dirancang untuk menarik konsumen. Masalahnya seringkali kemasan-kemasan tersebut mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan. Pada kebanyakan kasus, kemasan tersebut akan dibuang dan menjadi limbah setelah makanan dikonsumsi. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah-limbah ini pada akhirnya akan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Tumpukan sampah di TPA menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara. Sumber gambar: http://www.sanitasi.net/pemrosesan-akhir-sampah.html |
Di samping kemasan, limbah pangan juga bersumber dari dua hal berikut. Pertama adalah bagian pangan yang memang tidak atau belum dapat dikonsumsi. Limbah jenis ini terjadi antara lain karena bagian tersebut mengandung zat beracun dan belum ditemukan cara pengolahannya menjadi bahan yang siap dikonsumsi. Jenis limbah kedua adalah bagian pangan yang semula sebetulnya dapat dikonsumsi, tetapi karena terlambat dikonsumsi maka kemudian menjadi limbah. Jenis limbah ini terjadi antara lain karena (1) hasil panen berlebih dan tidak diolah sehingga rusak sebelum sempat dikonsumsi, (2) hasil panen rusak dalam proses pengangkutan, atau (3) pengambilan pangan berlebihan sehingga tidak dapat dikonsumsi seluruhnya pada waktunya.
Meskipun secara global produksi pangan telah meningkat, peningkatan ini belum dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara merata. Sementara sebagian orang mengalami kelebihan konsumsi pangan, sebagian lainnya justru kekurangan pangan. Apabila ditinjau dari sisi kesehatan, kedua kondisi ini sama-sama tidak baiknya. Mereka yang kelebihan konsumsi pangan potensial menghadapi berbagai persoalan penyakit degeneratif yang membahayakan jiwa. Sementara mereka yang kekurangan makanan dapat menderita kekurangan gizi. Kekurangan gizi akan mengurangi ketahanan manusia dalam menghadapi penyakit. Baik penyakit degeneratif maupun penyakit akibat kurang gizi, keduanya akan mengurangi kualitas hidup manusia.
Di tengah surplus produksi pangan dunia, 805 juta orang berada dalam kondisi kelaparan. Sumber gambar: http://www.eoi.es/blogs/imsd/global-inequality-of-the-food-system/ |
Apabila digali lebih jauh, persoalan pangan di atas tidak lepas dari sistem-sistem yang berjalan saat ini, misalnya sistem politik pangan nasional dan global. Sistem tersebut telah menyebabkan pola konsumsi pangan menjadi hampir seragam di seluruh dunia. Konsumsi pangan terutama hanya berfokus pada komoditas-komoditas tertentu yang dianggap dapat menjadi andalan, seperti beras, gandum, kedelai dan minyak kelapa sawit. Pemilihan komoditas-komoditas unggulan ini menyebabkan sistem produksi pangan dikelola sebagai perkebunan-perkebunan intensif monokultur yang didukung dengan mekanisasi dan penggunaan bahan kimia dan pestisida untuk menjamin keberhasilan produksinya. Pola produksi tersebut membawa beberapa konsekuensi sebagai berikut.
Konsekuensi pertama adalah berkurangnya keanekaragaman pangan di bumi dan mengerucut pada komoditas-komoditas bahan pangan unggulan tadi. Penanaman dengan cara monokultur akan mengganggu keseimbangan unsur makro dan mikro di dalam tanah. Apabila komposisi unsur makro dan mikro di tanah tidak seimbang, maka kesuburan tanah akan berkurang, sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Untuk saat ini, hal ini diatasi dengan penggunaan pupuk kimia. Masalahnya, penggunaan pupuk kimia hanya memberikan tambahan unsur makro atau mikro di dalam tanah tetapi tidak membangun sistem kehidupan di dalam tanah. Tanpa asupan materi organis, rantai kehidupan di dalam tanah akan mati, meskipun tanah berisi banyak unsur makro dan mikro kimiawi. Dalam jangka pendek, sistem produksi ini memang memberikan peningkatan produksi yang signifikan, tetapi dalam jangka panjang, kesuburan tanah akan makin berkurang dan mengurangi produksi pangan dalam jangka panjang.
Konsekuensi kedua dari praktek produksi pangan di atas adalah terganggunya keseimbangan pada rantai makanan di alam. Salah satu contoh yang sering dihadapi adalah ledakan hama yang menyerang komoditas-komoditas unggulan. Penggunaan pestisida akan mematikan hama penyerang tanaman secara masif, termasuk para predator hama tersebut. Selain itu predator hama tersebut juga akan mati karena mengalami kekurangan pangan atau terganggu habitatnya. Populasi predator hama akan berkurang. Sebagian kecil hama yang selamat dari pestisida akan berkembang biak dan membangun kekebalan terhadap pestisida. Dengan berkurangnya jumlah predator, populasi hama tersebut akan meningkat dan akhirnya menyerang tanaman-tanaman pangan yang ada. Manusia kemudian menanggapinya dengan mengembangkan pestisida-pestisida dengan kadar racun yang lebih tinggi untuk menghadapi hama-hama yang kebal tadi. Bila hal ini terus berlanjut, maka lahan-lahan produksi pangan semakin lama akan semakin tergantung pada racun pestisida.
Penggunaan pestisida juga akan menyebabkan akumulasi racun di alam. Racun-racun yang semula ditujukan untuk hama penyerang tanaman, akhirnya ikut menempel pada bahan makanan yang dipanen dan dikonsumsi. Manusia ikut mengonsumsi racun yang disebarkannya di alam. Apabila manusia mengonsumsi makanan beracun, maka racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit.
Implikasi lain dari berfokus pada komoditas-komoditas unggulan adalah konsentrasi produksi pangan di tempat tempat yang strategis secara ekonomi. Sebagai contoh. Karena buruh sangat murah di negara-negara miskin, maka demi mendapatkan devisa, negara-negara tersebut telah mengalihfungsikan lahan, yang semula digunakan untuk memproduksi bahan pangan lokal untuk konsumsi rakyatnya, menjadi tempat produksi komoditas bernilai ekonomi tinggi untuk melayani pasar global. Kedaulatan pangan negara-negara tersebut menjadi terusik karena kemudian mereka menjadi bergantung pada pangan impor yang dianggap lebih murah pada saat itu.
Beralih komoditas juga membawa implikasi secara ekologis dan sosial. Secara ekologis, akan terjadi perubahan kondisi alam dalam bentuk kepunahan komoditas-komoditas pangan lokal yang tidak ditanam lagi, berikut seluruh ekosistem pendukungnya. Berfokus pada komoditas unggulan secara tidak langsung akan mengurangi produksi dan konsumsi komoditas lain yang dianggap tidak unggul. Padahal apabila tidak digunakan, ada kemungkinan komoditas tersebut malah akan menghilang dan bahkan punah. Masalahnya, kepunahan satu bahan pangan tersebut bisa jadi akan menghilangkan seluruh budaya yang terkait dengannya, mulai dari cara menanam, merawat, memanen dan mengolahnya menjadi berbagai produk pangan. Padahal, untuk membangun keterampilan dan pengetahuan tersebut dibutuhkan waktu dari generasi ke generasi, sementara untuk menghilangkannya cukup dengan menghapus prakteknya dalam satu atau dua generasi. Sebagai contoh, apabila hutan sagu hilang dan sagu tidak diproduksi lagi, maka seluruh pengetahuan terkait pengolahan sagu akan hilang. Hal ini tentu akan mengurangi ketahanan pangan wilayah tersebut. Secara sosial, kemandirian pangan mereka akan berkurang dan menjadi tergantung pada pangan impor.
Konsentrasi pengembangan pangan pada komoditas-komoditas unggulan juga telah memungkinkan sentralisasi produksi pangan pada segelintir aktor, biasanya dalam bentuk perusahaan-perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini mendominasi produksi komoditas unggulan nasional dan bahkan dunia. Dominasi ini memungkinkan mereka mengontrol dunia demi keuntungan ekonomi. Hal ini biasanya dilakukan lewat mekanisme harga atau pengendalian stok pangan dunia. Dengan kontrol tersebut mereka mendistribusikan pangan terutama kepada mereka yang mampu membeli dan memberikan keuntungan financial terbesar bagi mereka. Semakin banyak uang yang kita memiliki, semakin besar akses kita terhadap pangan. Uang yang semakin banyak berarti semakin banyak jumlah dan ragam makanan yang dapat dipilih. Uang yang banyak berarti lebih bebas memilih apa makanan yang hendak dikonsumsi, berapa banyak, kapan dikonsumsinya dan di mana. Di dalam sistem semacam ini maka pangan akan mengalir kepada mereka yang mampu membeli. Jika sistem pangan lebih menguntungkan mereka yang memiliki uang, maka sumberdaya untuk menghasilkan pangan secara global tidak dapat terdistribusi merata untuk seluruh umat manusia. Sumberdaya yang terbatas akan lebih sulit direorganisasi secara optimal untuk pemenuhan pangan seluruh umat manusia secara merata. Hal ini dapat berarti pemborosan sumberdaya hanya untuk pemenuhan keinginan eksklusif segelintir orang dan mengorbankan pemenuhan kebutuhan dasar mayoritas umat manusia. Di dalam kondisi kelimpahan sumberdaya, hal di atas mungkin tidak terlalu masalah, tetapi di tengah krisis ekologis yang makin parah dalam skala global, hal ini potensial menjadi persoalan besar dalam jangka panjang.
Jika kecenderungan-kecenderungan di atas berlanjut, maka keberlanjutan penyediaan pangan dunia akan terancam. Mencari pola produksi dan konsumsi pangan yang lebih berkelanjutan adalah pekerjaan rumah kita bersama sebagai warga dunia. Melihat situasi di atas, apakah kita akan terus mengamini sistem pangan yang penuh persoalan di atas? Apakah kita justru ikut arus dengan terlena ikut pola konsumsi pangan yang merusak alam? Apakah kita tetap memilih mengonsumsi pangan yang dari sisi produksi menimbulkan masalah? Akankah kita terus mempercayakan seluruh pangan kita pada segelintir aktor yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan semata?
Semoga dengan semakin banyak orang peduli pada persoalan pangan, akan muncul solusi-solusi kreatif untuk penyelesaiannya.
***
No comments:
Post a Comment