Sudah menjadi norma umum bahwa ketahanan dan kedaulatan pangan mensyaratkan agar masyarakat mampu mengurangi ketergantungan pada satu jenis bahan pangan, atau beralih dari sistem pangan global ke penyediaan pangan di tingkat lokal. Tapi, pernahkah teman-teman menanyakan mengapa berbagai program pemerintah untuk mendiversifikasi pangan melalui sumber karbohidrat non-beras disinyalir gagal total? Atau mengapa gerakan membangun pangan lokal di berbagai belahan dunia – sekalipun tumbuh subur – tidak benar-benar menggaet massa yang cukup untuk membuat perubahan yang berarti? Dan mengapa sebagian besar masyarakat masih terperangkap di dalam pola makan yang tidak sehat, instan dalam kemasan, tidak jelas dibuat dari apa, dan memiliki jejak ekologis yang tinggi?
Bagi para aktivis, sangat mudah menyalahkan korporasi dan pasar bebas. Perusahaan-perusahaan besar menawarkan segala kemudahan dan kemurahan untuk mengakses pangan olahan, menekan petani dengan harga beli bahan pangan murah yang bisa didapat dari mana saja, dan menjajakan massa dengan makanan instan rendah nutrisi dan belum tentu aman. Memang, harus kita akui bahwa kita hidup di dalam suatu rezim pangan global yang menenggelamkan sistem-sistem pangan lokal di berbagai pelosok. Meskipun demikian, ini baru satu sisi dari mata koin dominasi pangan global kita. Satu sisi lagi, dalam pandangan saya, terletak pada diri kita sendiri, sebagai konsumen dan anggota masyarakat.
Sejarah konsumsi pangan tidak bisa lepas dari apa yang oleh Michael Carolan, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, sebut sebagai politik pangan yang menubuh. Teman-teman mungkin langsung memicingkan mata ketika mendengar kata politik. Politik yang sering kita lihat umumnya kita sebut sebagai politik praktis, politik yang dipraktekkan oleh kader-kader partai, calon anggota legislatif, dan calon pemimpin daerah untuk memperoleh kursi kekuasaan. Politik dalam pengertian yang lebih luas berhubungan dengan perilaku penguasa dalam memperluas pengaruh dan kekuasaannya ke khalayak luas. Tulisan-tulisan lain di dalam edisi ini (Baca artikel oleh Fictor Ferdinand bertajuk Makanan dan Politik: Bagaimana Hubungan Makanan, Negara dan Kedaulatan Diri) menangkap dengan tajam bagaimana pangan terjalin erat dengan politik dan kekuasaan, bahkan sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara – dan bagaimana pilihan komoditas acapkali berhubungan dengan cara pemerintah memastikan hubungan patronasinya dengan rakyat jelata. Akan tetapi, politik pangan ini belum cukup menjelaskan, mengapa pola-pola interaksi manusia dan pangan tertentu (sebut saja, gandum atau beras, atau segala bentuk makanan siap saji) bisa lebih mendominasi hidup kita ketimbang yang lain?
Tentang selera dan politik yang menubuh
Di sinilah maksud dari pangan sebagai politik yang menubuh. Untuk bisa berdampak luas, politik harus meresap ke dalam tubuh setiap warga, dan apa yang bisa meresap dengan lebih baik ke dalam tubuh selain pangan? Kita tahu bahwa pangan melekat pada manusia melalui kebutuhan dasarnya dan nilai gizi yang terkandung di dalam pangan. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah bahwa pangan melekat melalui rasa dan selera. Upaya pemerintah mendorong warganya untuk membaca buku atau menerapkan Keluarga Berencana, sebagai contoh, tidak bisa seefektif dorongan untuk memakan nasi, karena, sekalipun dimulai dari paksaan, konsepsi tentang nasi mampu meresap ke setiap warga melalui pengalaman dan proses internalisasi nasi sebagai pangan yang ‘baik’. Hal inilah yang menyebabkan beras pada akhirnya bisa diterima di Papua dan kepulauan timur sekalipun itu bukan makanan pokoknya. Tapi rasa dan selera tidak berhenti di sini – selera, lebih lanjut, adalah produk kelas sosial.
Adalah Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Perancis, yang mengedepankan teori di mana selera mencerminkan dan menjadi simbol bagi kelas atau kelompok masyarakat tertentu. Di dalam bukunya, La Distinction, Bourdieu berargumen bahwa selera tidak diciptakan oleh individu, tetapi dibangun dari nilai-nilai yang ingin dipertahankan oleh suatu kelas masyarakat, untuk membedakan (distinguish) antara kelasnya dan kelas lain yang lebih rendah. Kita tumbuh dan menyukai satu dan lain hal melalui cerapan kita terhadap lingkungan sosial di sekitar kita. Individu memiliki kecenderungan untuk berada sejalan dengan kelas sosial di mana ia berada (atau di mana ia ingin berada). Kelas yang berkuasa kemudian bisa mendikte selera mana yang bagus, dan mana yang tidak. Kelas jelata, pada akhirnya, menerima ini sebagai sesuatu yang membedakan mereka, dan mendorong individu-individu untuk pindah ke kelas yang dianggap lebih baik melalui upaya untuk mencerap selera itu.
Bourdieu Sumber: https://twitter.com/emmcdonell/status/529458797425610752 |
Kita ambil contoh dengan kopi. Sejak lama di Jawa (di zaman penjajahan Belanda di abad ke-18 lebih tepatnya), kopi menjadi minuman bagi para elite bangsawan dan tuan tanah. Buruh kebun bahkan tidak diperbolehkan membawa biji kopi keluar dari area perkebunan. Tidak semua suka kopi mungkin, tapi kenyataan bahwa kopi mencitrakan kelas telah membangun selera baru bagi orang-orang di dalam kelas penguasa. Kelas jelata pun memimik apa yang dicitrakan oleh kelas di atasnya, tentu dengan cara dan kapasitas yang mereka miliki. Terbangunlah apa yang disebut dengan kopi kampung, cukup kompleks hingga menjadi satu paket budaya kopi. Tiga abad kemudian, gelombang baru kopi dunia masuk ke Indonesia dan kembali mendikte selera. Sekarang, sebagian masyarakat kelas menengah ke atas di negeri ini mencerap expresso atau cappuccino lebih dekat ketimbang kopi tubruk – kopi, dan cara tertentu meminum kopi, kembali menjadi simbol kelas di masyarakat. Agaknya kita boleh bertanya apa yang menggugah selera kita pada kopi: rasa inherent-nya atau karena kita ada di lingkungan yang demen kopi? Cerita yang sama berlaku untuk komoditas bernilai tinggi lain seperti teh, tembakau, dan kakao yang punya sejarah kolonialisme kelam di belakangnya.
Coffee snob Sumber: http://www.spanishdict.com/answers/277763/la-palabra-del-dia-particular |
Membangun politik pangan yang baik
Cerita tentang transformasi pangan di seluruh dunia dan di setiap masa selalu melibatkan perlawanan dan habituasi tubuh, serta pemaksaan, peniruan, penolakan dan penerimaan. Di Indonesia timur, masyarakat mencerap rasa dan selera atas beras sebagai lebih baik (baca: berkelas) daripada sagu (Baca artikel Fictor Ferdinand), dan proses ini dimulai dari persepsi kelas elite yang ditiru oleh kelas sosial di bawahnya. Konsumsi produk-produk instan dalam kemasan diimajikan di dalam pariwara melalui keluarga kelas menengah ke atas yang menikmati waktu berkualitas bersama keluarga sambil makan di restoran siap saji, atau anak muda gaul yang meneguk minuman bersoda dengan nikmatnya. Atau jika kita kembali ke kasus kopi, pertumbuhan berbagai café kelas menengah yang membawa gaya baru dalam konsumsi kopi semakin meningkatkan konsumsi kopi di masyarakat kelas pekerja, sekalipun kopi yang mereka minum (kopi instan dengan kandungan gula tinggi) berbeda dengan kopi di kelas menengah atas.
Lalu, kembali ke pertanyaan pertama, apabila pengaruh konsumsi pangan modern, yang notabene dianggap tidak baik, bisa sebesar itu, mengapa konsumsi (dan produksi) pangan yang baik dan sehat tidak bisa? Sebagaimana saya ungkapkan di paragraf-paragraf awal, politik pangan bermuara pada politik yang terwujudkan di dalam tubuh kita. Bayangkan tubuh Anda sebagai arena perlawanan politik: di satu sisi, Anda dihadapkan pada dorongan untuk mengonsumsi makanan siap saji, di sisi lain Anda didorong untuk menginternalisasi nilai organik ke dalam gaya hidup Anda – makanan mana yang Anda pilih? Sejauh mana Anda menentukan pilihan, sejauh itu pulalah politik pangan menubuh.
Tapi seperti yang diangkat oleh Bourdieu, politik rasa dan selera tidak berhenti di dalam diri individu; ini adalah fenomena kelas sosial. Kita bisa melihatnya dari dua arah. Pertama, kita tahu bahwa gaya hidup organik dan pangan lokal akan lebih mudah disebarluaskan apabila itu menjadi selera yang dibangun oleh kelas sosial elite di masyarakat. Tokoh-tokoh ternama, selebriti dan pemimpin negara dalam hal ini berperan penting untuk mengkonstruksi selera baru di dalam masyarakat, yang akhirnya diadopsi oleh kelas jelata. Pemerintah selayaknya meninggalkan pendekatan lama (sebagai Bapak Angkat yang menyediakan bantuan bagi anak-anaknya) dan beralih ke cara budaya baru bekerja. Dalam konteks ini, pertarungan politik meluas ke berbagai media (massa dan sosial). Di Indonesia, selebriti-aktivis seperti Nugie dan Nadine Chandrawinata punya andil menyuarakan gaya hidup yang ramah lingkungan. Para celebrity chef global seperti Jamie Oliver dan Hugh Fearnley-Whittingsall juga menembus pasar Indonesia untuk mengenalkan cara mengolah makanan secara sehat. Tetapi, mereka mungkin kalah pamor dibandingkan selebriti lain yang lebih terkenal dan menjadi duta konsumerisme dalam posisi mereka sebagai bintang pariwara.
Cara pandang kedua adalah seperti yang dilakukan oleh Bourdieu – melihat fenomena ini sebagai suatu kritik sosial. Tidak etis agaknya bagi kita, aktivis, untuk mencekoki nilai organik dan pangan lokal kepada masyarakat awam menggunakan gaya hidup yang mengumbar diferensiasi kelas. Alih-alih menanam romaine lettuce, kale, atau iceberg lettuce di kebun organik kita atau mengolah pangan lokal menjadi burger atau pizza – jenis-jenis pangan dan masakan yang, harus kita akui, mencerminkan kelas –, kita bisa menanam kangkung, genjer atau jaat yang mencerminkan kelas sosial yang berbeda. Biar bagaimanapun, kelas jelata di titik tertentu akan memiliki resistensi terhadap sesuatu yang asing bagi mereka; alih-alih meniru, mereka akan membangun tembok identitasnya sendiri.
Sebagai masyarakat kelas yang berkesadaran, kita bisa membalik cara dunia bekerja, atau setidaknya tidak membiarkan perbedaan kelas mengacak-acak identitas kelas sosial yang lemah. Coba lihat contoh-contoh ini: (1) menguatnya identitas pasar tradisional di kawasan marjinal, yang meluas menjadi kampanye untuk mempertahankan pasar tradisional di tengah desakan supermarket dan pasar modern; (2) gerakan kopi kampung sebagai counterhegemony atas pertumbuhan specialty coffee gaya barat di kota-kota besar di Indonesia, atau (3) sistem pangan lokal yang terbangun sebagai reaksi masyarakat marjinal terhadap desakan pertumbuhan perkotaan dan isu-isu agraria. Ketiganya mengisyaratkan bahwa pergulatan menuju sistem pangan yang lebih baik tidak harus berangkat dari atas.
Ada banyak cara untuk membangun sistem pangan lokal yang baik, sehat dan berkelanjutan. Meskipun demikian, pada akhirnya semua akan tergantung pada politik yang ada di tubuh kita. Pangan adalah sesuatu yang personal, tapi juga kolektif. Perjuangan membangun sistem pangan yang lebih baik harus melangkah lebih dari sekedar logika, tetapi melalui suatu proses yang menggugah dan menginternalisasi rasa dan selera secara mendalam (visceral). Menyadari pergulatan politik pangan pada diri kita dan di kelas yang ada di masyarakat akan membawa kita untuk bertindak lebih bijak di dalam mengadvokasi sesuatu yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka :
1. Berdasarkan data dari FiBL, badan riset organik Swiss (2017), sekalipun laju pertumbuhan pertanian organik di dunia lebih cepat dari pertumbuhan pertanian konvensional, secara keseluruhan lahan pertanian organik hanya berkontribusi pada 1% dari total lahan pertanian; FiBL. (2017). The World of Organic Agriculture 2017. https://www.fibl.org/fileadmin/documents/en/news/2017/mr-world-organic-agriculture-2017-english.pdf
2. Carolan, M. (2011). Embodied Food Politics. Ashgate Publishing. ‘Embodied’ di dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai mewujud, tetapi dalam hal ini ‘embodied’ dikaitkan dengan materialisasi politik di dalam tubuh, yang mana kata menubuh menjadi lebih tepat.
3. Bourdieu, P. (1979). La Distinction: a social critique of the Judgement of Taste. Routledge.
4. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, konsumsi kopi per kapita di Indonesia mencapai 1,7 kg/kapita/tahun di tahun 2017, meningkat sebesar 7% per tahun (http://www.kemenperin.go.id/artikel/15421/Menperin:-Gaya-Hidup-Dorong-Industri-Kopi-Tumbuh.
Dari hasil wawancara dengan AEKI, konsumsi kopi kemasan yang meningkat merupakan ripple effect dari pertumbuhan café dan konsumsi kopi segar di masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas.
No comments:
Post a Comment