Oleh : Umbu Justin
Homo Sapiens
atau Homo Appendictis
"I
can't go back to yesterday because I was a different person then"
Alice in
the Wonderland
Pertanyaan tentang makna manusia belum
lama ada, dibandingkan dengan 2 juta tahun kehadiran spesies kita Homo Sapiens, pertanyaan itu baru
muncul sekitar 2500 tahun lampau di Yunani, kemudian menghilang
dan muncul kembali pada masa renaisans (tahun 1300-1600 masehi).
Pada permulaan lahirnya bahasa, ketika
alam masih sedemikian lekat dengan kita, tidak ada jarak yang cukup untuk menyadari eksistensi
kita di tengah dunia. Bahasa belum terbangun untuk mengajukan
pertanyaan, yang ada hanya bunyi penanda kehadiran, yang
kita suarakan secara spontan untuk menjadi awas atau sekadar memberitahu
kejadian-kejadian yang harus kita waspadai demi kelangsungan
hidup. Relasi kita dengan alam, dengan persekitaran kita, dengan sesama, selalu bilateral, aku
dan engkau,
relasi komplementer, langsung, mengikat dan saling menjamin keberadaan.
Kesadaran kita tentang hidup belum terbangun
sebagai sebuah pengetahuan abstrak, segala sesuatu mengikat kita
secara sangat kongkrit dan sensasionik, kita merasa dengan peka, meraba dan
menyentuh semuanya secara langsung. Kita terapung dalam sebuah
keserbaadaan yang magis, sebuah dunia mistik yang dengannya kita melebur dan
mengalir dan hidup sedemikian lekat.
1. Manusia
magis, para shaman pemandu kehidupan, penutur kejadian:
Ketika kita semakin berkembang,
menyadari ikatan-ikatan vital antara sesama, membangun hidup berkelompok,
muncullah representasi pengalaman hidup sehari-hari dalam diri para shaman, dukun, para
penutur cerita. Mereka adalah penyentara mistik yang mampu
menafsir serta mengikat semua ingatan dan memberitahu bagaimana harusnya kita
hidup. Mereka memberitahu asal usul segala sesuatu, menafsir kejadian-kejadian,
dan meramal masa depan. Mereka adalah para penafsir, penyimpan
rahasia, penyembuh pelihat, visionaris handal dan penjamin kelangsungan
hidup.
Perlahan-lahan dengan peran para shaman
ini bahasa menjadi abstrak, mereka mampu menyimpan pengalaman
dalam kata-kata, memberi nama dan memanggil subyek atau bahkan
peristiwa-peristiwa yang kita inginkan terjadi. Kita mulai membangun kesadaran
bahwa kita berada secara khas, mampu membuat jarak dengan alam, menyadari
pelintasan waktu, menamai musim-musim, membuat peta
tempat-tempat yang kita kenal, dan membangun ritual-ritual, membahasakan mantra-mantra penjinak
hidup untuk mengelola dan mempengaruhi
berlangsungnya alam dan kehidupan. Dunia tidak lagi terlebur bersama kita,
tidak lagi mistik, ia sudah punya nama yang bisa dipanggil dan dimantrai. Kita
percaya pada daya-daya magis yang dimiliki
para shaman, mereka mewakili hubungan kita dengan alam, dengan
kejadian-kejadian. Melalui mereka kita memandang hidup, menggunakan
kata-kata magis dengan cermat dan penuh rahasia, dan menuturkan hadirnya bentuk
kehidupan yang kita inginkan.
2. Manusia
Mitos, agama pelantun mantra-mantra penakluk semesta
Kebiasaan untuk menuturkan hadirnya
kehidupan yang diinginkan, memanipulasi peristiwa dengan mantra dan bahasa rahasia, 'melembaga'
secara sporadik, melahirkan mitologi-mitologi lokal yang dituturkan oleh para
shaman. Kekuasaan memanipulasi kejadian alam, menghadirkan peristiwa,
menjadi kultus, memisahkan daya tafsir, daya magis sebagai kekuasaan istimewa yang
terpisah dari keseharian. Bahasa terbagi dua menjadi tutur lokal yang pragmatik
untuk komunikasi sehari-hari di satu pihak, dan di lain pihak ada bahasa rahasia yang
hanya dipakai oleh para shaman dalam doa-doa pengelolaan kehidupan.
Bahasa sehari-hari berkembang dengan pengayaan yang spontan dan ringan sedang
bahasa-bahasa mantra menjadi langka dan semakin tersembunyi,
tidak sembarang dituturkan, dikhususkan pada peristiwa tertentu dengan tata upacara
yang pantas.
Inilah suatu situasi baru di mana
manusia sudah melepas diri dari alam, tetapi terikat pada tata upacara yang
dibangun oleh para kelembagaan shamanik. Manusia diikat oleh mitos-mitos lokal
tentang asal-usul dan masa depan nasib manusia. Di mana-mana secara
sporadik kelompok-kelompok masyarakat melembagakan adat kepercayaan,
agama-agama asli yang menyimpan khazanah bahasa suci, mantra-mantra,
doa-doa khas untuk memanipulasi alam dan peristiwa kehidupan.
Mantra-mantra lokal kemudian melembaga
ke dalam nama-nama khas yang rahasia, nama-nama figuratif, lalu mewujud pada dewa-dewi lokal,
tuhan besar dan kecil, penguasa daya-daya alam khas, pengendali laut, panen,
pohon besar, binatang, musim, matahari, rembulan, penghalau bahaya,
penyembuh, nama-nama terlarang, hanya bisa dituturkan dan dipanggil melalui tata
ritual yang sepantasnya. Pada para shaman dan bahasa ilahiah inilah manusia
bergantung dan bercermin untuk mendapatkan makna serta tugas hidupnya. Dunia segera
menjadi jelas bagi benak manusia, terstruktur dan berkaidah lewat
tatanan bahasa. Bahasa suci lewat orakel dan tata upacara para shaman, para
tetua agama, menafsir dan mendoktrin jalannya bintang-bintang dan
letusan gunung api, mengatur makna kelahiran dan kematian, menetapkan dan merestui
pemimpin-pemimpin, dan meramal keberuntungan dan memetakan jalan hidup setiap
orang.
Nasib manusia lantas diikat oleh bahasa
suci, bahasa mantra dan bahasa kekuasaan. Bahasa suci ini menata alam semesta dan menjajah
hati manusia, mengikat manusia ke dalam mantra penaklukan yang menghentikan
kemampuannya bertanya dari dalam relung kegelisahannya sendiri. Dan selama
beratus ribu tahun manusia tidak mampu bertanya, tidak mampu merespon
kekuatiran hatinya, menjadi gagu pada rasa takut yang dibangun oleh ancaman
shamanik, sebab merekalah yang empunya bahasa suci penjinak semesta.
Rasa takut dan penaklukan oleh bahasa
suci ini ini menjadi pola-pola yang efekif untuk mengelola publik. Lantas parallel dengan kekuasaan kaum
agama, para penguasa memanfaatkan bahasa suci sebagai bahasa mereka untuk
mengesahkan ideologi kekuasaan politik. Mereka bahkan dengan restu shamanik
menyatakan diri ilahi, putra-putri dewata, pemangku dan pengendali aksis
semesta dan penguasa dunia nan terberkati melalui bahasa suci bertuah, penakluk
segala sesuatu. Bahasa suci lantas menjadi ideologi yang berbanding lurus dengan
ketakutan publik manusia biasa penutur bahasa-bahasa pragmatis,
bahasa-bahasa pergaulan yang tidak punya tuah apa pun.
3. Fajar
Manusia Filsuf, perenung permata eksistensi, masa Yunani klasik
Rupanya manusia biasa tidak sedemikian
takluk, sebab bahasa keseharian yang tidak bertuah, ternyata menjadi stimulan perasaan. Bahasa biasa
menggali jauh ke dalam kalbu manusia, menemukan 'permata' di
pusat keberadaan, dan terutarakan dalam alun syair, puisi,
sajak-sajak kegelisahan yang bertanya dari dalam hati manusia. Socrates, pionir filsafat, lebih dari 2
milenia yang lampau di pelataran kuil Athena Yunani, mulai mempertanyakan
semuanya. Ia membangun metode berpengetahuan dengan bertanya, terutama
pada kebenaran-kebenaran ideologis yang mapan selama ribuan tahun. Untuk pertama kalinya,
bahasa jalanan, bahasa urban, mengusik tatanan bahasa keramat, dan
mengurai tali ikatan penakluk manusia. Socrates-lah yang menyatakan
bahwa dengan mengurai segala sesuatu melalui bertanya, melakukan dialektika, kita dapat
menemukan kebenaran keberadaan kita, permata di pusat kehadiran kita.
Kebenaran bukanlah doktrin, ketetapan, dogma atau orakel, bukan pula kesepakatan atau
kontrak perjanjian perbudakan manusia di altar para agamawan atau di kaki
para tuhan. Manusia bisa melepas kungkungan rasa takut pada kekuasaan semu
bahasa keramat dan menyadari kembali keberadaannya.
Tentu saja Socrates dihukum mati sebagai
penanda serius atas kecerobohan berbahasa. Efektivitas hukuman ada pada sugesti yang
diciptakannya, mengingatkan manusia pada ketakutannya, pada tali perbudakan
absolut yang melilit kehadirannya. Murid-murid Socrates
terutama Plato dan kemudian Aristoteles melanjutkan ikhtiar filsafat untuk
menemukan esensi dari permata keberadaan tersebut. Plato menggunakan
bahasa suci, menunjuk pada dunia ide, sedangkan Aristoteles mencarinya dengan
bahasa praksis, menunjuk pada dunia empirik. Metode Socrates, mempertanyakan
kemapanan secara dialektik, sama-sama berlaku dalam cara berbahasa filosofis pada
Plato dan Aristoteles. Plato berbicara tentang idealism tatanan manusia,
tentang politik dan kepentingan bersama, merintis humaniora, dan Aristoteles berbicara tentang realism pencarian hakekat,
tentang alam dan merintis ilmu pengetahuan empirik; keduanya mengurai ikatan
perbudakan intelek manusia dari mitos dan dogma agama.
****
Tetapi agama tidak tidur, bahkan
menggunakan filsafat untuk melayani tatanan dunia baru, di mana Tuhan
diletakkan pada hierarki tertinggi, manusia luhur antara Tuhan
dan malaikat lalu di tengah, di bumi sedangkan manusia pendosa di bawah bumi, di neraka.
Melalui institusi pengikat kosmik (Gereja Katolik Roma),
dibangunlah tatanan semesta (Great Chain of Being), di mana Tuhan
menjadi ide tertinggi dan alam semesta menjadi manifestasinya berdasarkan tingkat keluhurannya sendiri-sendiri.
Manusia sekali lagi tidak memiliki independensi eksistensial, terikat
pada hukum kosmik yang tertulis dalam doktrin Gereja.
4. Thomas
Aquinas dan martabat manusia melalui intelek
Setelah lebih dari 1300 tahun kekuasaan
dogmatik Gereja, dari pemikir dan teolog terbesar abad pertengahan, kesadaran filsafat Yunani klasik
lahir kembali. Thomas Aquinas menyakini intelek manusia dalam kemandiriannya
mampu menjangkau Tuhan. Bukan Tuhan perwahyuan yang dikumandangkan agama-agama,
melainkan Tuhan absolut, yakni kebajikankebajikan
luhur kehidupan: Kebenaran, Keindahan,
Kebaikan dan Keutuhan. Thomas Aquinas lah yang menafsirkan ulang
defenisi esensi manusia oleh Aristoteles menjadi Homo Sapiens, mahluk
intelektual. Penghargaan pada
kontemplasi intelektual ini membuka jalan pada sebuah pemerdekaan yang mengubah wajah dunia
selama-lamanya: Renaisans; suatu pancaran martabat kemandirian humanitas yang
merdeka, yang mengubah tatanan kosmikal Gereja menjadi medan kesadaran
baru terhadap dunia yang mesti dieksplorasi.
5. Manusia
Renaisans, terapung dan tanpa tujuan tetapi yakin
Masa Renaisans menandai pembalikan
kesadaran dari yang serba ilahi menjadi serba menggairahkan. Ketika Gereja
klasik sebelumnya membekukan kesadaran manusia, Filsafat Yunani klasik
lahir kembali, membuat dunia menjadi tak bernama dan menunggu untuk
ditandai oleh ilmu pengetahuan yang bebas dari dogma. Filsafat Plato memberi
jalan pada para pemikir seperti Descartes yang
menentukan keberadaan manusia sejauh aktifitas inteleknya (cogito ergo sum: saya berpikir maka saya ada) dan
Immanuel Kant yang meletakkan kebenaran etis pada adanya manusia itu sendiri,
bukannya pada hukum Tuhan.
Pada masa ini ilmu pengetahuan
berkembang dan manusia menjadi sedemikian realistis, terikat dan terpesona pada
hal-hal yang teraba oleh indera. Bumi kehilangan tempatnya sebagai poros
dunia, dan di antara hal-hal yang terlihat tersembunyi penglihatan-penglihatan
baru (penemuan mikroskop dan teropong) dan berkembangnya fenomenologi yang
menyadari kekhasan cara memahami pengalaman serta
psikologi sebagai jalan melihat ke dalam psyche manusia.
Alam semesta terurai ulang dan kemudian
tertata dan terikat pada hukum-hukum keniscayaan intelek (gravitasi dan mekanika pergerakan
benda-benda langit) dan kehilangan kualitas mistisnya yang pernah diyakini
berpuluh ribu tahun.
Hubungan komplementer (aku dan engkau)
berubah menjadi subyek dan obyek. Kita menjadi eksplorer menjelajar dunia tak bernama dengan rasa
ingin tahu yang melampaui daya jawab keilmuan itu sendiri.
Pertanyaan tentang makna dan tugas
manusia tidak lagi relevan, meski ada optimisme terhadap daya eksplorasi
manusia dan kecakapan inteleknya, tempat manusia sendiri tidak lagi terpijak
pada dunia, manusia terapung dan tersihir oleh penemuan-penemuannya
sendiri. Humanisme renaisans memang sungguh memerdekakan manusia tetapi
sekaligus menghanyutkannya pada keasyikannya menjalankan daya inteleknya
sejauh mungkin.
6. Manusia Post
Intelectual, terintegrasi ke dalam sistem data, tanpa keyakinan dan tak
bernama:
Kita sekarang tidak memiliki apa pun
untuk diperjuangkan. Intelek kita sudah bisa diserahkan pada mekanisasi robotic (Artificial
Intelligence). Kita adalah konsumen dari sebuah sistem provider yang mendunia
yang menyediakan semua kemudahan hidup. Kita adalah mahluk penjalan
kehidupan, melakukan pola-pola rutin yang semakin hari semakin terpetakan dan terdata
secara detail. Dan kalau sistem ini sempurna, kita sudah bukan manusia lagi
tetapi semacam 'usus buntu' dari sebuah organisme algoritmik
pengolah data yang mendikte segala sesuatu. Kita adalah relik, sisa-sisa
pemeran kehidupan yang kehilangan tugas vitalnya. Hidup yang kita kenal
membuntu dan selesai di sini, sekarang. Kita puas duduk di cafe-cafe
menjalankan pola-pola rutin, menunggu para provider menyempurnakan
data dan mempertajam algoritme mereka dengan komputer
quantum. Kita menonton, berbagi tontonan di antara kita, menggairahkan
gambar-gambar yang itu-itu juga dan ide-ide statik agar selalu
tersaji dengan topeng baru yang mengejutkan.
Dunia algoritmik masa kini adalah
pembakuan universal dan absolut dari rekaman data kehadiran kita di bumi. Para
provider atau pengelola industri 4.0 memetakan ke-siapa-an kita. Kita adalah
rekap data tertentu berdasarkan pola penghayatan realitas yang terbaca
setiap saat. Kita adalah informasi, dan dalam kelumpuhan kita mencari makna,
para provider menggunakan artificial intelligence untuk memelihara kita bagai
ternak, menggembalakan kita ke padang rumput, memberi makan dan menyatakan
dogma ketidak-bergunaan daya pikir kita. Esensi intelektualitas kita dalam
defenisi Homo sapiens, menjadi hampa dan kehilangan fungsi, kita
menjadi Homo appendictis (serupa usus buntu, ada tapi menggelantung tak berguna lagi)
Pesan dari
Wonderland:
Lewis Carroll (1832-1889) novelist,
lewat tokoh kanak-kanak Alice, bertanya tentang makna diri dan identitas: 'Who
in the world am I? Ah, that's the great puzzle! Lalu ia menggumamkan
kebingungannya: "How puzzling these changes are! I'm never sure who I am
going to be from one minute to another."
Ini adalah sebuah kisah tentang Alice
yang terperosok ke dalam lubang kelinci, sebuah dunia dengan tatanan absurd di mana semua pemahamannya
tentang dunia nyata dijungkirbalikkan. Sama seperti para filsuf Yunani Klasik,
ia merenungkan arti dirinya, namun dalam sebuah dunia yang serba jungkirbalik itu,
esensi dan defenisi tidak bisa jadi pegangan.
Alice memberi inspirasi bahwa defenisi
apa pun itu tidak berguna bagi kita. Jika kita sekali lagi mau terpesona pada
misteri kehidupan, menyadari kesementaraan kita, dan meninggalkan
ketergantungan kita pada kekakuan esensi, melepas mantra-mantra algoritmik, menjadi merdeka, menjalin
kembali hubungan bilateral dengan kehidupan, relasi aku-engkau, komplementer dan
interdependen, maka sebuah dunia imajinatif akan membuat kita memandang
realitas dengan empati, yakni dengan rasa terlibat yang menyambung kita
pada kehidupan. Dunia mengubah kita. Kita bukan tuan atas semesta, kita adalah denyutan
semesta, perenung, artisan, penyair, pelakon hidup dan filsufnya.
Di salah satu bagian lain Alice merasa
yakin: "Imagination is the only weapon in the war against reality".
Realitas adalah kesimpulan, data, rekap algoritmik, tak terubahkan, baku dan
terbukti. Realitas sepanjang sejarah manusia telah menjadi mata uang pembeli
kesadaran manusia. Realitas adalah tenung kekuasaan baik oleh agama, mitos,
sains mau pun algoritmic intelligence. Realitas selalu ada
sebagai topeng kekuasaan, seakan sebuah tembok tak tertembus. Realitas mewujud setiap kali
imajinasi berhenti berlangsung. Imajinasi adalah peruntuh realitas, pencair
dogma dan pelantun kata-kata penciptaan baru setiap
kali dunia membeku pada nasibnya.
Imajinasi adalah senjata, sebab
dengannya kita bisa mengubah realitas, menguraikannya dalam relasi yang otentik
dengan kehidupan. Menjadi manusia adalah tugas, tetapi bukan pelaksanaan doktrin,
bukan pesan Tuhan para agamawan yang menggantung kita pada
ayunan bandul nasib antara kesucian dan dosa, mengayun ke surga atau neraka,
juga bukan data-data algoritmik dunia
digital yang tercirikan lewat pola-pola dan data-data akurat.
Manusia adalah pesan tentang hidup,
nafas rohani semesta, kata kerja, gairah dari dalam dunia. Kita bukan elemen mekanis dalam semesta,
kita adalah jiwa dan roh, tenaga dan ide yang mengubah realitas, kita
senantiasa adalah gerakan, daya empati yang menyeberangi kutukan nasib
sedemikian sehingga kehidupanlah yang menang.