"….ternyata sepatu kaca itu sangat cocok dengan kaki Cinderella. Maka, dibawalah Cinderella ke Istana sang Pangeran. Akhirnya, Sang Pangeran dan Cinderella menikah, dan mereka hidup bahagia selama-lamanya."
Tentunya cerita di atas sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi para gadis dan remaja putri. Ada banyak cerita dan dongeng lainnya yang mirip dengan dongeng Cinderella ini, di mana seorang gadis cantik tapi miskin dan malang, atau gadis dari kalangan rakyat biasa, yang seumur hidupnya menderita (karena ibu tiri dan saudara tiri perempuan yang jahat dan kejam), akhirnya menikah dengan seorang Pangeran yang akan datang padanya. Pada akhir cerita selalu digambarkan sang gadis menikah dengan Pangeran dan mereka hidup bahagia selamanya.
Dongeng yang dikenal sejak kecil ini menjadi begitu melegenda dan menginternalisasi dalam diri anak-anak perempuan. Terutama mereka yang merasa menderita, miskin dan tidak bahagia, selalu punya harapan bahwa suatu saat akan datang sang Pangeran bagi mereka, dan akan membawa mereka ke pernikahan yang membahagiakan, mengakhiri segala penantian dan penderitaan mereka.
Gejala atau sindrom seperti ini pada akhirnya tidak hanya melanda para perempuan yang miskin dan tertindas oleh ibu tiri dan saudara tirinya, tetapi telah melanda seluruh lapisan perempuan (dan seluruh sistem masyarakat yang bukan perempuan). Sindrom yang dikenal sebagai Cinderella Complex ini secara tidak sadar telah melegitimasi konstruksi sosial yang terlanjur dianggap kodrat dan alamiah : bahwa panggilan dan kodrat setiap manusia adalah menikah. Di situlah puncak kebahagiaan bisa dicapai. Lalu Mengapa Dengan Pernikahan?
Di luar makna persetubuhan itu sendiri, pernikahan sebenarnya bukan suatu yang semata-mata alamiah saja. Ia juga bukan merupakan sebuah kewajiban sosial yang menafikan kehendak bebas setiap individunya. Seringkali memang pernikahan hanya dipandang sebagai sebuah kontrak sosial yang harus dipatuhi, yang akan mendapatkan sanksi bila tidak dilaksanakan. Pernikahan dalam konteks sosio-kultural pada akhrinya hampir selalu berarti konstruksi. Telah terjadi proses rasionalisasi pelegitimasian dalam pernikahan, yang berarti pula institusionalisasi pernikahan. Dengan demikian ada berbagai kepentingan masuk dan mewarnai pernikahan. Termasuk dalam kepentingan itu adalah komersialisasi pernikahan, penghegemonian kuasa negara dan agama serta adat, dan di atas itu, ada kepentingan patriarkhisme di sana.
Di Indonesia, secara eksplisit dan diakomodir oleh hukum, serta ditunjang oleh institusi agama, negara telah ikut campur tangan dalam pilihan perkawinan. Perkawinan antar agama tidak diperbolehkan, atau minimal dipersulit dengan prosedur birokrasi dan uang yang tidak sedikit. Dalam kasus perkawinan antar bangsa, pihak perempuan bisa kehilangan hak kewarganegaraannya hanya karena pernikahan.
Selain demi pemurnian keturunan dan ras, rekayasa kultur telah menggiring pernikahan menjadi lembaga pewaris dan pelindungan hak kepemilikan. Mulai dari pewaris tradisi, nilai-nilai sampai kekayaan material, yang ujung-ujungnya adalah pewarisan kekuasan, dijaga terus dengan alasan pernikahan. Kelangsungan warisan dapat diukur dari jelas-tidaknya perkawinan dan dalam lingkup tradisi apa perkawinan itu disahkan.
Perkawinan atau pernikahan juga bisa menjadi lembaga penjamin stabilitas perekonomian dan tenaga kerja. Bagi kalangan marjinal, institusionalisasi perkawinan yang meriah, birokratis dan glamour sangat jauh dari realita mereka. Alasan material atau ekonomi dan penyediaan tenaga kerja seringkali menjadi faktor dominan bagi keberlangsungan sebuah perkawinan. Bagi keluarga menengah ke atas, perkawinan menjadi sebuah ajang prestise dan memamerkan kemampuan ekonomi serta kekuasaan mereka. Dalam masyarakat modern, pengesahan perkawinan bukan merupakan ritual yang murah dan mudah. Ada banyak sumber daya dan energi serta pengorbanan yang dibutuhkan bagi pengatualisasian hegemoni kekuasaan melalui lembaga perkawinan ini. Akhirnya, lembaga perkawinan sangat berpotensi jatuh menjadi lembaga borjuis dan menjadi ajang obyektifikasi manusia.
Lewat pernikahan yang dilembagakan inilah, negara (dan juga agama serta budaya) mengontrol dan mengatur warganya. Kontrol lewat lembaga perkawinan yang menghasilkan keluarga ini terbukti cukup efektif di Indonesia selama ini. Mulai dari sosialisasi konsep Ibuisme, kontrol atas Pegawai Negeri dan ABRI, sampai pada kontrol atas reproduksi perempuan lewat program KB. Lewat Undang-Undang Perkawinan dan PP 10, negara mendapat legitimasi untuk mengatur kehidupan perkawinan dan seksual warganya. Dengan demikian, perkawinan menjadi sebuah institusi yang sarat dengan kekuasaan yang hegemonis, dan cenderung merepresi orang-orang yang ada di dalamnya, apalagi yang tidak termasuk di dalamnya.
Lantas, Apakah Melajang Menjadi Sebuah Pilihan Alternatif?
Walaupun selama ini posisi pelajang berada di batas ada dan tiada, tetapi justru dengan kehadiran para pelajang, pernikahan dapat dikembalikan pada posisi alamiahnya yang lebih adil dan setara. Karena pelajang mempunyai peran penting dalam pendefinisian sebuah makna maupun dalam pemaknaan sebuah identitas (baik dalam lingkup pribadi, sosio kultural, politis, maupun ideologis).
Masing-masing manusia lengkap dan utuh pada dirinya, bukan setengah manusia. Maka, tidak harus melalui lembaga perkawinan, seorang manusia baru bisa menjadi sepenuhnya manusia, dan untuk saling melengkapi. Dalam diri setiap manusia (perempuan, laki-laki, dan yang tidak dikategorikan keduanya) masing-masing mengandung unsur feminitas dan maskulinitas pada dirinya sendiri. Tidak dikotomis dan dualistis, tidak terpisah dan tidak rimpang. Pilihan untuk tidak menikah atau melajang justru ingin menguak kapasitas diri untuk menyeimbangkan diri dan menuju pada keutuhan diri, justru dengan menempatkan diri dalam posisi “bebas untuk”.
Melajang atau tidak menikah memang bukan pilihan satu-satunya dan mutlak. Ia adalah pengalaman konkret. Ia bukan pula karena “jomblo sepanjang hidup”, "tidak laku", atau "tidak normal". Ia merupakan pilihan karena pengalaman interseksualitas sendiri menyiratkan berbagai peluang berelasi.
Kesadaran untuk memilih melajang bisa jadi merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap tubuh dan seksualitas yang tidak tunggal/seragam. Kesadaran akan reaksi-reaksi kimia yang menimbulkan berbagai gejolak emosi yang biasanya disebut CINTA itulah yang membawa orang semakin mendalami ekspresi-ekspresi relasi interseksualitasnya.
Mengutip terminologi yang digunakan oleh Victor Turner, para pelajang ini bisa menjadi komunitas liminal, di mana distingsi seksualitas menjadi tidak nyata. Sebagai komunitas liminal, mereka punya potensi besar menjadi agen transformasi sosial, yang membawa pemaknaan baru bagi kebudayaan manusia.
Pada Akhirnya…
Melajang, menikah atau hidup bersama dengan pasangannya merupakan beragam bentuk pilihan hidup masing-masing orang. Pilihan bentuk relasi ini tidak akan pernah dilepaskan dari relasi sosial yang lebih luas, antar masyarakat dalam institusi-institusinya. Tetapi setidaknya, biarlah masing-masing pribadi bisa memperoleh ruangnya untuk bertanggungjawab bagi hidupnya dengan memberi ruang bagi kehendak bebasnya untuk membuat pilihan yang diyakininya membahagiakan! Kekuasaan dalam bentuknya yang paling romantis sekalipun tetaplah punya potensi untuk menghegemoni dan menimbulkan keterkungkungan, ketidakadilan, dan juga ketidakbahagiaan.
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai perempuan, laki-laki ataupun yang tidak dianggap kedua-duanya….
Memiliki kuas dan kanvasnya sendiri,
Menorehkan sapuan warna-warninya sendiri,
Di atas cakrawala, di antara bentangan langit, dan di atas bumi yang berputar dan terus berputar….
Karna setiap orang adalah pelukis,
Karna setiap orang adalah penari,
Yang mungkin melakukannya tunggal,
Duet, trio, atau kuartet…
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai perempuan, laki-laki maupun yang tidak dianggap kedua-duanya…
Melukis dan menari lukisan dan tariannya masing-masing….
Melukis dan menari bersama kosmis, mengikuti hati dan naluri, bersama kehendak bebas yang melayang….
(Intan)