Saya tidak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada orang dari etnis lain
Saya tidak pernah punya impian untuk menjadi anak tidak berbakti, hanya karena saya mencintai orang dari etnis lain.
Saya seorang anak Tionghoa berusia 27 tahun, yang telah hampir 7 tahun ini berpacaran dengan seorang anak dari etnis Jawa. Kami satu almamater, namun uniknya kami baru berkenalan dengan cukup dekat justru di saat-saat di mana salah satu dari kami sudah hampir lulus kuliah S1nya.
Seperti mungkin Anda para pembaca sudah menduganya, hubungan kami mendapat tentangan yang cukup keras yakni dari keluarga saya, keluarga Tionghoa. Lewat beberapa kesempatan, saya (dan kami terkadang) mencoba untuk membuka ruang dialog. Namun hanya penolakan, penolakan, dan penolakan yang kami terima. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang tua saya, menurut saya mengalami titik buntu untuk diperdebatkan -Seperti apa nanti kata orang kalau anakku menikah dengan orang Jawa? Apa nanti kata teman-teman dan kolegaku jika melihat diriku punya menantu orang Jawa? dan banyak lagi alasan-alasan sejenis-.
Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang sangat ironis bagi saya, yang masih terucap di jaman modern seperti ini. Bahkan predikat sebagai anak yang tidak berbakti itupun saya peroleh. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kerelaan orang tua untuk kehilangan anaknya yang berpacaran dengan orang Jawa ini, demi mempertahankan gengsi, penilaian atau pun omongan orang lain. Singkatnya mempertahankan status sosial, yang tentunya tidak kekal sifatnya dibandingkan dengan hubungan darah yang telah mengalir dalam diri anak dan orang tua.
Pada satu sisi tertentu saya dapat memahami mengapa orang tua saya berperilaku demikian? Latar belakang pendidikan orang tua saya adalah pendidikan Belanda. Saya sendiri tidak begitu tahu apa yang terjadi pada zaman Belanda tersebut. Namun yang pasti saya ketahui adalah rata-rata para orang tua yang mengenyam pendidikan Belanda, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok dengan etnisnya dan cenderung mengeklusifkan diri. Orang tua yang pernah mengalami zaman itu cenderung menilai etnis Tionghoa adalah etnis yang paling baik, paling berderajat, dan paling-paling yang lain. Sementara etnis Jawa adalah tidak lebih dari sekumpulan orang yang memiliki derajat di bawah etnis Tionghoa dan hanya bisa meminta-minta tanpa mau berusaha keras layaknya orang-orang etnis Tionghoa.
Ditambah lagi susunan keluarga, di mana saya anak paling kecil dan perempuan satu-satunya. Itu semua tentunya menjadikan hal yang wajar jika orang tua saya berperilaku demikian. Namun masalah lebih lanjut adalah saya hidup di zaman ini (dan bukan di jaman Belanda), di mana pada masa ini setiap manusia dewasa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama besarnya untuk mengkomunikasikan apapun (termasuk perasaan cintanya) secara terbuka, dewasa, dan logis.
Mungkin memang cinta itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan, karena ini menyangkut hati. Mungkin ini juga yang disebut bahwa cinta itu butuh pengorbanan. Namun pertanyaan reflektif berikutnya adalah jika cinta di antara dua etnis yang berbeda ini menjadi sebuah bentuk pelanggaran seorang anak pada orang tua, dapatkah kemudian masyarakat sebagai kelompok yang lebih besar daripada keluarga mewujudkan cinta dalam negara yang dipenuhi oleh manusia dari beragam etnis ini? Jika tidak sampai kapankah topeng keharmonisan, keguyuban, kerukunan antar etnis akan terus dipakai oleh orang-orang Indonesia yang katanya negara majemuk??
No comments:
Post a Comment