[Jalan-jalan] Cerita dari Bali

Pertengahan desember 2004 lalu saya bersama 5 orang tim fasilitator KaIL mendapat kesempatan terlibat dan memfasilitasi kegiatan Pertemuan Nasional (PeNas) Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) yang diselenggarakan di tempat salah satu anggotanya di Bali. Lokasinya di daerah wisata Pantai Sanur, sekitar 200 meter dari tepian pantai, cukup beberapa menit saja waktu yang diperlukan untuk mencapainya.

Tema yang diangkat pada pertemuan nasional kali ini adalah Peran Pendidikan Lingkungan Hidup Dalam Realitas Kemiskinan dan Permasalahan Gender. Peserta yang hadir merupakan utusan dari sekitar 40 anggota JPL yang diseleksi dari semua anggota yang ada di seluruh Indonesia, baik atas nama lembaga ataupun perorangan. Selain itu ada banyak juga undangan dalam acara ini, yang memiliki latar belakang kegiatan sesuai dengan tema besar yang di angkat pada PeNas.

Acara berlangsung di tengah musim hujan yang kerap turun cukup deras di sela-sela kegiatan. Namun tetap saja saya dan beberapa fasilitator dari Bandung masih merasa kegerahan karena kami memang terbiasa dengan udara Bandung, walaupun belakangan ini suhu Bandung lebih panas dari biasanya.

Tuan rumah yang cekatan
PPLH Bali (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali), itulah nama lembaga yang dipercaya menjadi tuan rumah hajatan nasional JPL kali ini. Walau hanya dengan jumlah staff tidak lebih dari 10 orang namun tuan rumah ternyata punya cukup banyak relawan yang membantu hajatan ini, sehingga mereka nampak tidak mengalami kesulitan dalam mengorganisasi seluruh kegiatan.

Selain itu penyelenggara acara ini terlihat sangat cekatan menangani segala macam urusan peserta, apalagi bila terkait akomodasi dan pelayanan bagi peserta. Ini tentunya karena tempat acara berlangsung ini sehari-harinya merupakan hotel dan penginapan yang dikelola oleh PPLH Bali, tak heran bila tuan rumah terlihat profesional dalam urusan akomodasi peserta ini. Walaupun jika dilihat dari namanya, hotel milik PPLH Bali yang diberi nama Hotel Santai, bukan berarti mereka memang santai-santai dalam mengelola acara ini.

Seminar di tengah kawasan mangrove
Hari pertama rangkaian kegiatan PeNas ini dimulai dengan seminar sehari yang diselenggarakan di Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Centre) JICA Bali. Kompleks Pusat Informasi Mangrove ini berdiri cukup megah di tengah-tengah kawasan hijau hutan mangrove yang rimbun dan terjaga. Kawasan yang menjadi tempat penelitian dan pusat informasi mangrove ini tentunya juga mempunyai fungsi utama sebagai sabuk penyangga pesisir pantai dari pengikisan air laut. Selain itu kawasan hutan mangrove ini menjadi tempat hidup beberapa jenis burung laut.

Memang jarak dari penginapan ke lokasi itu cukup jauh bahkan harus menggunakan bis untuk mengangkut peserta sebanyak itu. Namun tuan rumah berhasil memberdayakan banyak potensi di Bali untuk terlibat dan membantu terselenggaranya acara ini. Seperti halnya Pusat Informasi Mangrove JICA yang menurut panitia sengaja dipinjamkan kepada PPLH Bali untuk seminar, bis yang mengangkut seluruh peserta dari hotel menuju lokasi seminar pun merupakan pinjaman dari Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Bali. Jadi sekali lagi ini menunjukkan bahwa panitia tidaklah santai-santai seperti nama resmi hotelnya yang terpampang besar di depan halaman hotel. Karena tentunya seluruh bantuan itu diperoleh dengan proses lobby yang tidak mudah. Yang tak kalah menariknya adalah beberapa pembicara dalam seminar itu sengaja datang dari berbagai wilayah di luar Bali seperti Jawa dan Sulawesi, yang khusus datang untuk membantu suksesnya hajatan ini, luar biasa.

Seminar ini merupakan awal rangkaian kegiatan Pertemuan Nasional yang mengupas isu kemiskinan dan kaitannya dengan permasalahan lingkungan dan gender yang menjadi tema besar pertemuan JPL. Isu dalam tema besar ini dikupas dengan cukup menarik oleh lima orang pembicara yang hadir, bahkan respon peserta terlihat sangat antusias. Karena isu yang diangkat merupakan isu yang cukup populer yang belum sepenuhnya digeluti oleh anggota JPL. Tidak heran bila cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta dalam seminar ini untuk memuaskan rasa penasaran mereka.

Dalam sesi terakhir peserta dibagi dalam beberapa kelompok kecil untuk menggali dan merumuskan definisi kemiskinan berdasarkan pengalamannya masing-masing. Dari proses ini tergali cukup banyak dan beragam rumusan definisi kemiskinan. Tentunya semua itu berasal dari pengalaman masing-masing peserta di lapangan.

Misalnya menurut pendamping masyarakat petani, kemiskinan bagi masyarakat petani adalah ketika para petani tidak lagi memiliki tanah untuk pertanian dan mereka hanya menjadi buruh tani saja tanpa memiliki tanah, dan banyak definisi lain yang muncul dari beberapa peserta yang terlibat dalam penggalian definisi itu menurut bidang kegiatannya masing-masing. Seluruh rumusan tentang definisi kemiskinan ini menjadi modal awal lokakarya yang dilaksanakan pada hari-hari berikutnya.

Sore hari seusai seminar seluruh peserta mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kawasan mangrove di sekitar kompleks itu, sebelum kemudian kembali ke hotel tempat acara berikutnya dilangsungkan.

Metode Cara Berpikir Sistem dan Tantangannya.
Proses lokakarya yang dilakukan dalam 3 hari selanjutnya menjadi bagian yang sangat penting bagi KaIL karena tim ini terlibat penuh dalam fasilitasi proses untuk mencapai target yang optimal, di mana diharapkan dari lokakarya ini dihasilkan tema-tema pendidikan lingkungan yang terkait dengan realitas kemiskinan dan ketimpangan gender.

Metode untuk membawakan materi dalam proses lokakarya ini sebenarnya biasa dibawakan dalam kegiatan pelatihan rutin KaIL, yaitu menggunakan Metode Cara Berpikir Sistem untuk Menganalisa Permasalahan Sosial, Lingkungan dan Gender. Namun kegiatan kali ini menjadi jauh lebih menantang karena baru pertama kalinya bagi KaIL memfasilitasi kegiatan dengan metode cara berpikir sistem ini dengan jumlah peserta lebih dari 35 orang dengan usia dan karakteristik peserta yang beragam, walaupun bidang garapnya sama yaitu pendidikan lingkungan.

Metode yang digunakan ini memang bukanlah metode yang ringan karena menuntut banyak kesabaran dan ketekunan bahkan menuntut kita untuk berpikir dengan alur logika yang terstruktur yang dituangkan dalam peta permasalahan.

Selain itu metode cara berpikir sistem semacam ini masih jarang diketahui apalagi diterapkan oleh banyak kalangan termasuk oleh organisasi asal peserta lokakarya. Namun demikian peserta nampak sangat antusias mengikuti rangkaian proses ini. Walau terlihat wajah-wajah yang kelelahan namun mereka tetap tekun dan sabar menggeluti proses ini. Tentunya mereka sadar agar hasil yang diperoleh dalam hajatan tiga tahunan ini bisa bermanfaat optimal dan hasil kerja mereka tidak manjadi percuma.

Salah satu tantangan berat lainnya bagi KaIL adalah menyampaikan isu gender kepada peserta yang kebanyakan masih asing dengan kata ‘gender’, baik dari bahasanya maupun dari substansinya. Sepertinya bagi kebanyakan peserta yang hadir kata gender itu dipahami sebagai perempuan dan permasalahannya.

Untuk memberikan pemahaman dan esensi kata gender itu memang cukup memakan waktu. Apalagi bila peserta yang dihadapi itu dari awal cenderung enggan memahas isu ini. Keengganan ini mengakibatkan peran gender hanya sedikit terangkat dan sedikit mempengaruhi setiap peta permasalahan yang dibuat peserta. Memang masih menjadi tantangan berat bagi banyak kalangan untuk mangangkat dan memberikan pemahaman gender di tengah kultur masyarakat kita yang masih seperti sekarang.

Hasil Yang Tidak Sia-Sia.
Secara keseluruhan proses tiga hari lokakarya ini memang tidaklah sia-sia. Melalui kesabaran, saling berbagi pengalaman antar peserta serta ketekunan menggeluti sesi demi sesi, akhirnya peserta mampu menyelesaikan seluruh tugasnya dan tentunya target yang direncanakan dan diharapkan pun mampu tercapai. Terlepas dari itu semua, banyak kesan dan pengalaman baru yang saya peroleh selama terlibat dalam keseluruhan proses Pertemuan Nasional JPL. Tentunya karena dalam tim fasilitator KaIL ini saya menjadi salah satu fasilitator junior yang masih perlu banyak menambah pengalaman dan jam terbang melalui kegiatan semacam ini.

Perasaan senang bukan hanya dirasakan oleh peserta tetapi tentunya juga dirasakan oleh tim fasilitator KaIL. Bayangkan, selama tiga hari menguras tenaga dan pikiran bahkan waktu tidurpun selalu lewat tengah malam karena padatnya materi yang disampaikan setiap harinya.
Untuk mengobati rasa lelah setelah menyelesaikan sesi demi sesi kegiatan, jalan-jalan di tepi pantai atau sekedar berendam di kolam renang hotel menjadi pilihan yang di gemari kebanyakan peserta. Pilihan jalan-jalan di pantai pun tentunya berlaku juga bagi saya dan tim fasilitator KaIL, lumayan sekedar melepaskan rasa penat seharian di ruang lokakarya.

Terakhir dari Bali
Alokasi waktu selama tiga hari itu memang cukup padat sehingga tidak ada kesempatan bagi kami untuk sengaja jalan-jalan di pulau wisata ini, apalagi untuk belanja dan mencari oleh-oleh khas Bali. Tapi ada satu hal menarik yang sempat saya perhatikan selama di sana, selain kawasan mangrove yang terpelihara kelestariannya, di setiap wilayah yang sempat saya perhatikan juga di hampir setiap halaman rumah, begitu banyak pepohonan besar dan kondisinya terjaga. Serta begitu banyak juga daerah-daerah yang hijau dengan ditumbuhi beragam tumbuhan dan tegakan pohon mulai dari yang kecil hingga yang besar dan berusia tua.

Ini menandakan bahwa masyarakat Bali begitu menghargai nilai-nilai kelestarian alam sekitarnya, dan kabarnya bukan hanya kepada pohon saja mereka memberikan penghargaan, tapi juga pada hewan yang ada di sana. Sungguh luar biasa, satu perilaku yang perlu kita contoh bila kita memang menghargai alam ini.

(Dedy Supriatna)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...