[Media] Sebuah Dunia Tanpa Suami


Judul : Sebuah Dunia Tanpa Suami: Perempuan Kepala Keluarga Bercerita
Produksi : PEKKA-PPSW bekerjasama dengan Komnas Perempuan
Tahun : 2004
Pernikahan, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer diartikan sebagai perjanjian resmi antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga ini, pada dasarnya sangat terbuka untuk dimaknai oleh siapa saja dan selalu dimungkinkan untuk munculnya counter-hegemoni ataupun hegemoni alternatif.
Pernikahan, yang oleh mainstream masyarakat selalu dikonotasikan sebagai pernikahan heteroseksual, sekaligus juga mengusung pelbagai mitos dan konstruksi sosial. Kontruksi sosial gender telah menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang berarti pemimpin dan penentu kebijakan dalam keluarga tersebut serta menjadi pencari nafkah dan tulang punggung bagi keluarganya. Sedangkan perempuan sebagai ibu dan istri dituntut pengorbanannya serta diberi beban sebagai penjaga moral keluarga dan bangsa.

Pemikiran tentang pernikahan sebagai sebuah keniscayaan (beserta peran gender sebagai paketnya) pada ujungnya membangkitkan berbagai persoalan pelik yang tak berkesudahan. Mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dll. Pertengkaran, selingkuh, ketidaksetiaan, pengkhianatan dilihat sebagai resiko yang harus ditempuh dalam sebuah keluarga.
Padahal, banyak orang mendamba pernikahan, dengan kebahagiaan sebagai titik akhirnya. Seakan pernikahan sepasang insan adalah kata akhir dan puncak hidup bagi setiap orang. Sepertinya, pernikahan menjadi “kodrat karena Yang Mahakuasa pun telah “memilihkan” pasangan atau jodoh untuk setiap orang. Pernikahan menjadi lembaga yang normatif, dalam artian ia menjadi patokan kebahagiaan sepasang insan.
Lalu, bagaimana para pelaku pernikahan yang terkonstruksi dan terinstitusionalisasi ini bergelut dengan realita mereka? Mampukah mitos dan konstruksi sosial gender seputar pernikahan dan keluarga ini mewujudkan dambaan para pelakunya atas pernikahan itu sendiri?
Ketika pernikahan tidak lagi ‘ideal’ seperti tuntutan konstruksi itu, bagaimana nasib para pelaku dan pernikahan serta keluarga itu sendiri? Akankah mereka bertahan?
Para perempuan dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Sambas yang tergabung dalam PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) menuturkan cerita dan pengalaman mereka lewat film ini. Mereka adalah para perempuan yang pernikahannya dianggap “cacat” atau “tidak ideal”, karena pasangan mereka tidak bisa mengambil peran yang dikonstruksikan bagi laki-laki untuk menjadi kepala keluarga.
Pengambilalihan peran perempuan sebagai kepala keluarga bukan pilihan mereka pada awalnya. Banyak dari mereka yang terpaksa menjadi kepala keluarga karena sang suami selingkuh, mabuk-mabukan, memukul, berbohong, menipu dan mencuri hartanya, memperkosa, atau karena suaminya sakit, terbunuh atau hilang karena diculik.
Dalam film ini, kita bisa belajar dari para perempuan ini bagaimana mereka mengatasi situasi yang pada awalnya merupakan keterpaksaan dan beban ini. Satu per satu mereka menuturkan bagaimana harapan-harapan dan impian mereka dahulu tentang pernikahan, yang kemudian kandas di tengah jalan. Berbagai peristiwa dialami mereka masing-masing menyangkut relasi dengan pasangannya. Kesakitan dan kesedihan demikian sarat. Tetapi, yang hebat adalah proses kebangkitan mereka. Bagaimana mereka menyemangati diri, memotivasi diri untuk bertahan hidup bagi keluarganya dan dirinya sendiri. Pengalaman jatuh bangun menjadi kepala keluarga dan menjadi orang tua tunggal tidak terelakkan. Semua proses itu dilakukan semata-mata karena rasa cinta: cinta pada anak, cinta pada kehidupan. Rasa cinta pada kehidupan inilah yang menggerakkan mereka untuk bersama-sama mentransformasi hidup mereka dan orang lain. Di sinilah makna seorang aktivis....
Pada gilirannya, kesadaran baru serta kehidupan baru terbit sebagai hasil dari pengorganisasian diri dan bersama. Hingga akhirnya mereka bisa berkata: “to forget, to forgive and to continue our live”. (ID)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...