Cinta adalah energi yang sangat besar. Karena itu seringkali kita kesulitan melukiskan makna cinta. “Cinta terlalu luas, terlalu dalam untuk dipahami, diukur atau dibatasi dengan sekedar bingkai kata-kata”, kata M. Scott Peck, dalam The Roadless Travelled. Namun definisi cinta tetap penting, setidaknya karena banyak orang bingung memaknai cinta.
Sesuatu yang bukan cinta, dikira cinta. Seorang pria yang tidak pernah mengijinkan pacarnya, untuk pergi sendiri ke suatu tempat tanpa ia dampingi, mengira dirinya sangat mencintai sang pacar. Padahal sesungguhnya pria itu hanya sangat memanjakan sang pacar, dan sangat memanjakan tentu sama sekali tidak sama dengan mencintai. Banyak orang salah memahami cinta, dan perasaan-perasaan tertentu mereka kira sebagai cinta sejati. Sering kita dengar “cinta itu perasaan”, “cinta itu romantika”, “saya akan menemukan tujuan hidup dengan belahan jiwa saya”, “cinta akan menyembuhkan kesepian dan penderitaan”.
Miskonsepsi lain tentang makna cinta bersangkut paut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta dikira cinta, padahal bukan sama sekali. Jatuh cinta adalah pengalaman seksual erotik. Ia selalu berlandaskan motivasi seksual. Di samping itu, jatuh cinta, kendati selalu dihayati manusia sebagai pengalaman luar biasa menakjubkan, selalu bersifat sementara. Seperti bulan madu dan romantika manusia, jatuh cinta selalu berkesudahan, bahkan tak jarang berakhir setelah suatu kurun yang singkat. Pada jatuh cinta, ego boundaries atau dinding ego mengalami kehancuran parsial dan sementara. Kehancuran itu bersifat mendadak, spontan, dan terjadi tanpa kerja energi insan pemiliknya. Dinding ego adalah pengetahuan manusia tentang batas-batas dirinya, yang berada dalam khazanah mentalnya. Ia memungkinkan manusia menghayati keterpisahan dan sense of identity. Ketiadaannya mengakibatkan seseorang berusaha merengkuh komitmen, namun kemudian takut mewujudnyatakan komitmen itu. Anak yang mendadak ditinggalkan orang tuanya, misalnya karena kedua orangtuanya meninggal dunia, bisa mengalami rasa nyeri hebat, karena kematian orangtua memutuskan pengalaman komitmen yang sebelumnya telah dirintis kedua orang tuanya. Anak itu bisa bertumbuh menjadi insan yang takut merengkuh komitmen. Dia membutuhkan pengalaman baru yang mendasar dan memuaskan dalam naungan komitmen yang andal.
Cinta: Kebahagiaan dalam Penderitaan
Ternyata cinta tidak sefantastik jatuh cinta. Cinta membebaskan manusia dari kesepian. Ia membuahkan kelegaan, keleluasaan, kehangatan. Dengan kata lain, ia membawa kebahagiaan. Namun cinta juga membawa rasa nyeri, karena ia hanya dapat diwujudnyatakan manusia dengan upaya aktif, kerja keras, bahkan perjuangan sadar. Bahkan ternyata cinta penuh risiko. Acapkali manusia yang mencintai mesti berani menanggung risiko perubahan, yang juga membawa rasa takut. Risiko lainnya adalah keniscayaan melepaskan ketergantungan, keniscayaan mempertahankan komitmen, dan risiko hidup di tengah kearifan konfrontasi dan kritik. Singkatnya, cinta membawa bersit-bersit rasa nyeri bahkan bercak-bercak penderitaan. Cinta merangkum kebahagiaan dalam penderitaan.
Namun barangkali itulah penderitaan yang disebut Carl Gustav Jung, legitimate suffering, penderitaan yang sah, penderitaan yang patut dan layak ditanggung manusia yang sungguh menginginkan kebahagiaan. Bahkan secara implisit Jung mengatakan bahwa legitimate suffering merupakan syarat yang niscaya buat kebahagiaan. Kata Jung: Neurosis is always a substitute for legitimate suffering. Manusia yang menghindar dari keniscayaan menanggung legitimate suffering, akan mengidap kecemasan jiwani, neurosis. Dan tentu, di tengah kecemasan jiwani itu sesungguhnya manusia kian banyak mengalami penderitaan. Rupanya kebahagiaan hanya bisa sungguh diraih manusia, jika ia berani menanggung penderitaan (yang sah), dalam cinta bisa diandalkan untuk menyangga peradaban umat manusia yang terus menerus membutuhkan energi cinta. Maka pengalaman jatuh cinta mengingatkan insan berjiwa dewasa untuk terus memperjuangkan cinta sejati yang lestari.
Cinta Bukan Perasaan, Ia Mengatasi Perasaan
Ada perintah emas mengatakan, “Cintailah musuh-musuhmu, dan doakanlah orang-orang yang menganiaya kalian”. Bisa dibayangkan seandainya cinta hanyalah perasaan, niscayalah perintah itu hanyalah sebuah utopia, tak ada insan yang bisa mewujudnyatakannya. Jika cinta adalah perasaan (just a feeling), manusia yang pada umumnya digelantungi perasaan benci atau tak suka pada musuhnya tentu tak mungkin mencintai si musuh. Love is not a feeling.
Memang cinta bisa disertai perasaan. Namun ia bukan sekedar perasaan itu. Ia mengatasi perasaan. Cinta bisa terjadi tanpa adanya perasaan senang pada orang lain, karena cinta dilandasi pilihan dan keputusan sadar nan arif. Cinta adalah kehendak untuk mengembangkan diri dan merawat tumbuh kembang orang lain. Lantas pelaku cinta memutuskan dirinya memilih mencintai.
Dengan demikian komitmen merupakan bagian otentik yang sangat penting dalam cinta. Komitmen merebakkan rasa aman, yang sangat diperlukan untuk perluasan ego, suatu peristiwa yang teralami sebagai suatu perubahan dan penjelajahan ke dunia baru yang beresiko. Manusia butuh rasa aman yang merekah dari komitmen, untuk melakukan perubahan dan penjelajahan yang pasti ia rasakan mengandung risiko. Di samping itu, komitmen memungkinkan konsistensi proses. Cinta adalah proses yang konsisten. Karena itu, ia membutuhkan komitmen.
(Bagus T. Nugroho)
No comments:
Post a Comment