[MASALAH KITA] Aktivis Membaca


Membaca belum menjadi kebiasaan dan kebudayaan bangsa kita. Anies Baswedan mengatakan, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia merupakan pembaca aktif. Pernyataan ini disampaikan ketika Anies memberikan sebuah sambutan di acara final Gramedia Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, Sabtu (27/8/2016). Saat itu Anies masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan[1].

Menurut data yang dilansir oleh UNESCO, sesungguhnya angka buta huruf di Indonesia tergolong rendah. Di tahun 2015, 92.6 persen warga Indonesia berusia di atas 15 tahun telah mampu membaca aksara[2]. Namun, sayang kemampuan dasar membaca di sini tidak diimbangi dengan minat membaca masyarakat. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 menunjukkan hanya 17,3 persen penduduk Indonesia yang membaca (baik buku, majalah, maupun koran) dalam rentang waktu satu minggu[3].

Hal ini bukan sebuah tren yang baik. Saat ini memang informasi dapat diperoleh dari mana saja. Namun, kedalaman informasi adalah sesuatu yang berbeda. Saat menonton televisi, kita akan memperoleh informasi dan gambar bergerak. Otak kita cenderung reseptif. Sementara jika kita membaca buku, otak kita dituntut mengolah informasi secara lebih aktif.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang, menunjukkan bahwa aktivitas otak kita memiliki perilaku seperti otot tubuh. Semakin sering kita gunakan/latih, semakin besar dan kuat bagian tertentu yang berhubungan. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan semakin banyak orang menonton TV, semakin besar bagian lobus frontal yang biasa digunakan sebagai indikasi bahwa seseorang memiliki kercerdasan verbal yang rendah. Sementara membiasakan membaca buku sejak kecil menurut penelitian tersebut dapat meningkatkan keterampilan berbahasa[4].

Aktivis dan Membaca

Kegiatan aktivis sebetulnya beragam. Ada yang lebih banyak melakukan kajian, tetapi ada juga yang mengharuskan mereka untuk bertemu langsung dengan masyarakat, meskipun sebenarnya tidak kenal dan akrab. Sebagai contoh, aktivis mahasiswa lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswa sendiri. Pergaulan mereka sebatas pada mahasiswa yang secara intelektual dan kelas relatif homogen.
Namun, di sisi lain, seperti orang-orang yang memiliki fokus di arsitektur komunitas, mereka mau tidak mau harus dapat menyesuaikan diri dengan warga yang mereka temui.
Husein adalah alumni ITB yang baru saja lulus, sementara Okie saat ini sedang berjuang menyelesaikan kuliah tahun terakhirnya di ITB.  Keduanya sewaktu masih kuliah dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tidak hanya sibuk dengan kegiatan akademik, tetapi juga aktif berorganisasi. Mereka sama-sama pernah menjabat sebagai menteri/setingkat menteri dalam Kabinet Seru Keluarga Mahasiswa ITB. Okie pernah menjabat sebagai Menteri Kajian Strategis, sedangkan Husein Pernah menjadi Direktur Penelitian dan Pengembangan.

Okie mengaku memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-humaniora. Untuk menjawab pertanyaan seputar fenomena sosial yang berkembang dia tidak ragu untuk membaca buku-buku bertema sosial, ekonomi, hingga filsafat. Selain karena kegemaran, posisi yang diemban oleh Okie juga mendorong ia untuk lebih rajin membaca buku. "Membaca buku berguna untuk dapat memproblematisasi suatu masalah secara lebih mendalam", tutur Okie.

Husein sendiri mengaku sebetulnya kurang senang membaca, meskipun setiap hari dia menyempatkan waktu 3 jam untuk membaca. Waktu 3 jam tersebut dia habiskan untuk membaca buku, koran, atau artikel di internet. Hanya buku dengan topik tertentu yang Husein gemari, misal sejarah dan legenda lokal.

Ketika menjabat sebagai menteri, Husein mengaku justru lebih jarang meluangkan waktu untuk membaca topik yang dia gemari. Dia lebih banyak membaca makalah-makalah yang berhubungan dengan isu aktual yang sedang berkembang di kampus. "Misalnya saat isu larangan merokok berkembang di kampus, saya lebih banyak baca makalah yang berhubungan dengan isu tersebut.", kata Husein.

Lain hal dengan Okie, saat ini Usie beraktivitas di ASF, yaitu sebuah LSM dengan basis kegiatan arsitektur komunitas. Menurutnya membaca buku tetap dibutuhkan karena menurutnya ilmu yang didapatkan di bangku kuliah tidaklah cukup. ”Mahasiswa lebih senang mendesain daripada melakukan kajian desain dan teori-teori. .. Kaya semiotika di arsitektur itu gak diajarin. Padahal ada implementasinya di desain. Kita harus baca sendiri” kata Usie.
Usie mengaku banyak mendapatkan inspirasi setelah membaca buku. Namun menurutnya temuan itu harus tetap dikritisi dengan konteks lapangan. Hanya berpegang pada teori tanpa mau membenturkan dengan realita hanya akan berujung pada sikap anti-kritik. Dalam berkegiatan, Usie berpegang pada pola baca-penemuan-implementasi-refleksi.
”Teori kan gak semuanya kontekstual ya, contohnya kitab sucinya urbanis-kiri kan David Harvey yang Right to The City. Itu kalau ditabrak dengan realita Indonesia ya sulit untuk diimplementasikan. Harus kritis buat modifikasi. Harusnya orang bisa bikin buku dari proses itu. Buku ala konteks Indonesia”, Usie menerangkan.
Alasan lain dikemukakan oleh Siska yang juga aktif di ASF. Dia menjelaskan manfaat membaca adalah mengetahui apa yang belum diketahui, atau memahami suatu konsep yang sudah kita ketahui; tapi belum pernah kita wujudkan dalam kata-kata.
Inspirasi tersebut didapatkan oleh Siska setelah membaca buku berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” karangan Paulo Freire. Dia memberikan contoh kata ‘bangkrut’ yang berkorelasi dengan kata hancur, pailit, kemunduran, kehancuran, dan sebagainya. Dari kata yang berkorelasi tersebut, akan muncul korelasi yang lain, dan seterusnya.
Perdana Putri adalah seorang yang memiliki perhatian terhadap isu hak asasi manusia. Perempuan yang mengaku sangat cinta dengan ilmu pengetahuan ini menolak disebut sebagai aktivis. Menurutnya apa yang dia lakukan belum seberapa dibandingkan banyak seniornya yang telah mencurahkan konsentrasi serta tenaganya bagi isu HAM. Bagi perempuan yang akrab dipanggil Pepe ini membaca buku maupun jurnal dibutuhkan untuk memahami konteks wacana. Kurang pengetahuan dan informasi, menurut Pepe hanya akan membuat kita lupa mengenai akar permasalahan dan gagap dalam menanggapi banyak hal.

Namun, ternyata tidak semua ‘aktivis’ ini sinkron antara yang dia baca dengan kesibukan dia sebagai aktivis. Anggika mengalami hal  ini ketika dia diharuskan kantornya, sebuah organisasi non-profit di Jakarta, untuk membaca buku yang sesungguhnya tidak dia suka. Menurut pengakuan Anggika, awalnya dia kontra dengan ide besar buku-buku yang direkomendasikan atasannya. Meski demikian, Anggika tetap mau membaca sebagai bahan pembanding dan refleksi.

Membaca berkaitan dengan Proses Memperoleh Informasi dan Pengetahuan

Proses membaca dalam artian yang luas adalah proses menggapai informasi dan pengetahuan. Sementara teks, dalam kaitannya yang paling luas pun bukan sekadar simbol alfabetis; seperti yang sudah menjadi kesepakatan istilah keseharian. Dia tersebar di seluruh alam semesta. Dia bisa tersirat dalam pola sosial, dalam gerak alam, maupun citra visual. 

Medium yang beraneka ragam tersebut kenyataannya tidak selalu menghasilkan dialog yang sama. Interaksi antara informasi dan pembaca, dengan kata lain, tergantung dari medium yang digunakan.
Revolusi teknologi informasi yang terjadi sejak abad 20 akhir telah mengubah dunia secara signifikan. Teknologi informasi, dengan karakteristik multi-media seolah meluruhkan batas ruang-dan waktu. Sebagai contoh, kita bisa dengan lekas memperoleh gambaran realtime fenomena yang terjadi di belahan dunia meski beribu kilometer jauhnya.

Sebaran informasi yang semakin cepat ternyata berimplikasi juga pada perilaku. Manusia akan merasa sangat terlambat jika tidak membaca koran di pagi hari. Manusia akan merasa rugi tanpa peka terhadap tren terbaru, dan sebagainya.

Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, banyak hal yang dilakukan oleh manusia. Terutama dengan beragam media yang ditawarkan saat ini. Melalui siaran radio, tayangan televisi, kicauan di media sosial, atau yang paling klasik, membaca buku.

Saat ini kita bisa dengan mudah mengakses video atau film dengan akses yang hampir tak terbatas. Cukup membuka situs pencarian, berita (news) atau kuliah dari orang-orang terkenal dapat kita nikmati di mana saja, kapan saja, bahkan berulang-ulang.

Namun menurut Pepe, membaca buku tetap tidak tergantikan meskipun berbagai kemudahan pencarian informasi dengan internet, terutama video mudah kita dapatkan. Pepe memberikan penjelasan, “Kalau via video, informasi cenderung tidak terkendali, dalam artian, ada proses penundaan yang hilang/lebih lambat untuk si pembaca/penerima teks untuk mencerna. Hal ini tentu berbeda dengan membaca buku yang prosesnya lebih lama, dan memberikan waktu bagi yang menyerap untuk mengevaluasi apa yang dia baca.”

Alasan lain untuk tetap membaca buku dikemukakan oleh Siska, “Literatur dan catatan adalah repositori yang menyimpan begitu banyak dimensi dan material, sehingga dengan membaca kita seperti melintasi jaman dan pemikiran.”

Meski beragam media informasi menawarkan informasi yang lebih cepat dan menarik (secara citra visual), membaca buku bagi para aktivis tetap merupakan sebuah kebutuhan yang tidak tergantikan.

Akses Memperoleh Bahan Bacaaan


Jumlah pembaca buku di Indonesia yang rendah berimbas pada industri buku. Melihat pasar yang minim membuat penerbit tidak berani menerbitkan banyak judul buku. Menurut data yang dirilis oleh International Publisher Associaton, rasio buku baru/cetak ulang per sejuta jumlah penduduk Indonesia per tahun berada pada angka 119. Angka ini termasuk rendah dibandingkan negara lain. Ambil contoh Norwegia yang memiliki angka rasio 1275 atau Prancis dengan angka 1008. Bahkan untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih kalah oleh Thailand (215), Vietnam (273), atau Malaysia (679)[5].

Jumlah buku yang diterbitkan menunjukkan seberapa besar pilihan buku yang ada di pasar. Semakin sedikit buku yang diterbitkan, semakin sedikit pilihan buku untuk dibaca. Semakin nestapa, jumlah buku yang dicetak per judul di Indonesia tergolong kecil.

Ronny Agustinus adalah pendiri penerbit Marjin Kiri. Penerbit yang identik dengan penerbitan buku-buku kajian sosial humaniora dan sastra. Dalam wawancara dengan Indoprogress, Ronny menceritakan pengalamannya ketika harus mengurus hak cipta dan royalti terjemahan dengan penerbit luar negeri. Penerbit luar negeri terkejut ketika dia menyampaikan kondisi pasar buku di Indonesia. Mereka mulanya tidak percaya dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, di sisi lain sebuah penerbit hanya mampu mencetak 1.000 eksemplar per judul buku.

Sedikit pilihan buku di pasar tidak jarang membuat pembaca kesulitan mencari buku yang dia cari. Usie menceritakan kesulitannya memperoleh buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang tergabung dalam Trilogi Nusantara. Sesuai namanya, Trilogi Nusantara memuat tiga judul buku yaitu: Arok Dedes, Mata Pusaran, dan Arus Balik. Dari ketiga judul tersebut, hanya judul pertama yang saat ini mengalami cetak ulang dan tersedia di pasaran. Novel Arus Balik terakhir dicetak pada tahun 1995 dan belum pernah mengalami cetak ulang. Sementara judul kedua, Mata Pusaran, nasibnya lebih naas lagi. Dia telah lenyap  dihancurkan oleh pihak militer Orde Baru dan hanya menyisakan halaman 232-362. Itu pun didapatkan oleh pihak keluarga pengarang atas bantuan seorang Belanda yang menemukannya di penjual buku bekas di Kwitang.

Usie mengaku pernah kontak dengan seseorang di media sosial yang menjual beberapa buku karangan Pram, termasuk Mata Pusaran dan Arus Balik. Namun, belum sampai harga awal dibuka, si penawar tiba-tiba membatalkan niatnya.

Dari riset yang kami lakukan di beberapa penjual buku daring yang saat ini menjamur, harga novel Arus Balik yang asli/legal mencapai 1,5 juta. Itu pun peredarannya terbatas. Sementara untuk Mata Pusaran, hanya keluarga Pram yang dipastikan masih memiliki naskahnya. Itu pun dalam keadaan yang cacat.

Untuk dapat mengakses novel Arus Balik, Usie akhirnya tidak jadi membeli bukunya. Dia telah menemukan novel tersebut sebagai salah satu koleksi dari Kineruku, sebuah perpustakaan swasta di Kota Bandung.

Kesulitan mencari buku juga pernah dialami oleh Pepe. Sekian lama dia mencari novel berjudul Semua Untuk Hindia karya Iksaka Banu dan Anti-Politics Machinekarya James Ferguson. Meski novel Semua Untuk Hindia relatif baru diterbitkan (terbit tahun 2014), stok di pasaran ternyata sudah langka. Padahal, novel tersebut merupakan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di negeri ini.

Pepe mencoba untuk mencari kedua buku tersebut di perpustakaan. Dua perpustakaan yang terkenal memiliki koleksi lengkap dia kunjungi : perpustakaan kampus UI dan perpustakaan milik Freedom Institute. Dua perpustakaan yang dia andalkan tersebut ternyata tidak mengoleksi buku yang Pepe cari.

Semua untuk Hindia akhirnya Pepe dapatkan dari penjual buku daring. Sementara Anti-Politics Machine berhasil didapatkan Pepe setelah fotokopi buku milik ayah seorang temannya.

Copyright atau Right-to-Copy? - Dilema Aktivis memperoleh Bahan Bacaan

Pendidikan tanpa ilmu pengetahuan tidak ada bedanya dengan pabrik pencipta manusia siap pakai (sesuai kebutuhan industri). Barangkali itu fakta yang terjadi saat ini. Pendidikan kita diatur sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang terbatas yang bisa mengakses ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan direkayasa menjadi sebuah komoditas baru.


Salah satu kedok komodifikasi ilmu pengetahuan adalah melalui hak cipta. Ada unsur yang dilematis sebetulnya: di satu sisi hak cipta adalah bentuk apresiasi terhadap kerja dan waktu yang dicurahkan oleh penulis, di satu sisi dia dimanfaatkan oleh industri untuk membatasi akses khalayak terhadap ilmu pengetahuan. Siapa yang mampu untuk mengakses ilmu pengetahuan jika harga sebuah buku atau akses terhadap jurnal berkali-kali lipat harga kebutuhan pokok mereka?

Internet menawarkan sebuah akses terhadap informasi dan pengetahuan yang relatif tidak terbatas-dan tidak sedikit yang ‘ilegal’. Melalui beberapa situs, kita bahkan bisa mendapatkan softcopy buku-buku laris dan terkenal secara gratis. Situs lain bahkan menawarkan unduh jurnal ilmiah teraktual secara gratis tanpa harus mendaftar atau berlangganan yang jika kita ingin mengakses secara legal bisa jadi harganya 10 kali lipat biaya sekali makan.

Aaron Swartz adalah seorang hackersekaligus aktivis. Dia mendukung penuh kebebasan manusia untuk memperoleh informasi dan akses terhadap pengetahuan. Dalam usia 26 tahun, meminjam istilah Goenawan Mohamad, dia adalah pemuda sekaligus sesepuh. Aaron telah meninggal pada tahun 2013 yang lalu. Motif kematian diduga adalah bunuh diri akibat ketakutan atas tuntutan kejaksaan yang menuntut hukuman berat atas ‘kejahatan’ pelanggaran hak cipta yang dia lakukan.

Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir majalah Tempo edisI 27 Januari 2013[7] sebagai berikut:

… Empat tahun yang lalu Aaron menyusun sebuah manifesto yang menegaskan pandangannya: informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan kalangan akademia di negeri-negeri kaya. Menyediakan karya ilmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima.
.              


Di minggu pertama Januari 2011, Aaron ditangkap karena ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khazanah karya ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of Technology melalui sebuah laptop yang disembunyikannya di lantai dasar Gedung 16. Ia bermaksud membagikan karya-karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses. Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan bukan si penulis atau si pembuat karya bila karya itu diunduh.


Masalah hak cipta bukan sekadar masalah legal hukum. Dia tidak mungkin bisa lepas dari relasi kekuasaan. Di satu sisi, frasa-frasa dalam Bahasa Inggris seringkali membingungkan. Apa maksud dari free-sugar? Gratis gula? Apa pula arti dari copyright? Apakah copyright = right to copy?

Salah satu teman aktivis mencoba menyikapi hal ini dengan bijak. Dia mengaku bukan anti copyright, tapi di satu sisi tidak terlalu peduli dengan copyright. Dengan beberapa trik ‘umum’ yang tersebar di internet, aktivis satu ini mengaku cukup terbantu untuk mendapatkan akses jurnal ilmiah maupun buku-buku berkualitas terbaik. Meski demikian, jika memungkinkan untuk membeli karya asli, teman saya tidak ragu untuk menyisihkan uang bulanan yang terbatas.

Banyak buku bagus dan sebetulnya menjadi rujukan utama yang sayang hampir tidak mungkin bisa  didapatkan di pasar buku Indonesia. Bahkan, beberapa perpustakaan tidak memiliki koleksi buku tersebut. Dengan akses internet yang menembus batas ruang dan waktu, buku-buku berkualitas dapat kita nikmati secara bebas.

Situasi ini dilematis baik dari sisi pembaca, penulis, maupun penerbit. Meskipun tingkat literasi secara umum masyarakat Indonesia rendah, bukan berarti tidak ada pembaca yang serius di dalamnya. Beberapa kawan aktivis yang saya kenal dapat menamatkan 3-5 buku tiap bulan. Dia rela untuk membeli sebuah buku meski harganya 5 kali harga makan siang. Namun, masalahnya bagaimana jika meski dia telah mau menyisihkan uang tetapi barang tidak ada?

Dari sisi penerbit, penerbitan buku berkualitas atau kajian kritis tidak bisa lepas dari hitung-hitungan bisnis. Penerbitan buku kajian kritis, bisa jadi sama sekali tidak menguntungkan dibandingkan jika menerbitkan buku-buku selfhelp, motivasi, atau manajemen.

Marjin Kiri mungkin adalah salah satu penerbit yang cukup nekat. Meski tahu betapa memprihatinkan pasar buku kajian kritis di Indonesia, penerbit ini tetap menerbitkan buku-buku yang mungkin tidak pernah kita dengar judul buku maupun pengarangnya tetapi mereka yakini sebagai buku baik.

Mungkin banyak juga penerbit dengan idealisme seperti ini. Namun, banyak juga di antara mereka - untuk mengakali dan menekan biaya produksi - mengelak dari pembayaran royalti baik kepada penulis maupun penerbit asalnya (kebanyakan berkualitas ini masuk dalam kategori buku terjemahan).

Eka Kurniawan adalah novelis Indonesia yang paling diperhitungkan saat ini. Novelnya yang berjudul “Lelaki Harimau” masuk dalam nominasi penghargaan international: Man Booker Prize 2016. Tahun ini Eka Kurniawan baru saja menerbitkan sebuah novel baru berjudul “O”. Baru beberapa bulan setelah peluncuran resmi, versi bajakan sudah tersebar luas di pasar. Segera setelah itu Eka Kurniawan mengemukakan kekecewaannya di blog pribadinya[8]:

Ya ampun pembajak, bahkan motong bukunya sembarangan, dan sisa scan masih keliatan. Mbok nunggu sampe terjual sejuta kopi gitu lho, mben penulise ngerasani sugih sek *sambil ngayal beli truk*.

Belilah yang aseli, biar pengarang hepi.”

Pendapat lain dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidharma. Penulis produktif yang telah menghasilkan setidaknya 6 buku kumpulan cerpen ini mengaku, siapa pun bebas untuk membajak buku hasil karyanya. Menurutnya, dia tidak mau terlalu pusing dengan urusan industri buku. Dia hanya ingin fokus menulis, karena baginya masih banyak hal di dunia ini yang belum dia tuliskan.

Seorang kawan aktivis yang lain pernah mengalami posisi dilematis soal kepemilikan buku. Dia adalah remaja yang tumbuh bersama buku. Ketika dia pertama kali masuk kuliah dan memutuskan untuk indekos, yang menarik barang bawaan terbesarnya justru buku-buku yang selalu setia menemani.

Suatu ketika dia mengalami kesulitan finansial. Harta yang dia miliki satu-satunya adalah buku. Dia harus mengambil keputusan sulit: menjual buku-buku yang selalu setia menemani. Setelah menjual buku-buku tersebut, rasa sedih tidak bisa lepas darinya. Pertama, buku-buku tersebut memiliki kesan pribadi. Kedua, kekhawatiran kehilangan akses informasi dari buku tersebut di masa depan. Untuk alasan kedua, teman saya cukup bisa merelakan. Internet telah menjamin dia untuk mengakses informasi kapanpun dia butuhkan. Meski ilegal.

Kumpulan Buku

Beberapa buku populer mungkin bisa kita dapatkan (secara ‘ilegal’) di dunia maya.  Namun, kebanyakan buku tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Untuk beberapa buku karangan penulis Indonesia, terdapat beberapa kemungkinan untuk mengakses : beli di toko buku atau meminjam di perpustakaan.

Membeli dan memiliki buku memiliki kesan sendiri. Selain akses terhadap buku yang lebih bebas, memiliki buku di sisi lain juga dilandasi oleh alasan yang lebih personal. Pepe dalam blognya menulis:

... “Hal lain yang menyadarkan saya adalah buku tidak melulu sebuah simbol rasionalitas (bukan karena ada buku semacam Udah Putusin, Aja! dan kompilasi fakta boleh-sadur dari blogspot tentang selebriti Korea) betapapun isinya. Melainkan, yang paling penting juga dari artefak itu adalah perjalanan yang kita sadari penuh untuk ikut, dalam rangka menguak ketidaktahuan di dunia antah barantah di dalamnya.”

Beberapa perpustakaan saat ini banyak yang menarik.  Jauh dari kesan perpustakaan yang usang: terbatas, (wajib) hening, kaku, dan penuh debu (juga berhantu), perpustakaan yang baru ini menawarkan sebuah konsep yang lebih segar, santai, penuh interaksi, dan homy. Uniknya, perpustakaan seperti ini justru banyak dikembangkan oleh pihak swasta.

Salah satu contoh adalah Kineruku. Perpustakaan yang dikelola oleh sepasang suami istri ini tersohor di kalangan anak muda hipster Bandung yang haus akan bahan bacaan bermutu. Berawal dari rumah peninggalan kakek salah satu pemilik, lantas disulap menjadi sebuah perpustakaan swasta yang menyediakan buku-buku bermutu.

Akses terhadap ilmu pengetahuan di masa sekarang semakin mudah. Para aktivis mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam mencari bahan bacaan. Mungkin yang justru menjadi tantangan saat ini adalah, meningkatkan kegemaran para aktivis untuk membaca dan menularkan budaya membaca tersebut sehingga akses yang terbuka lebar tidak sia-sia.





***


[2] UNESCO, UNESCO Institute for Statistics (2012).  ADULT AND YOUTH LITERACY, 1990-2015 Analysis of data for 41 selected countries [Data File]. Diambil dari: http://www.uis.unesco.org/literacy/Documents/fs32-2015-literacy.pdf
[3] Badan Pusat Statistik (2012). Proporsi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Membaca Selama Seminggu Terakhir menurut Provinsi, Jenis Bacaan, dan Tipe Daerah, 2012 [Data File]. Diambil dari: https://www.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/indo_27_4.xls
[5] International Publishers Association. Annual Report October 2013-October 2014, 2014 [Data File]. Diambil dari:  http://www.internationalpublishers.org/images/reports/2014/IPA-annual-report-2014.pdf
[6] http://www.tempo.co/read/caping/2013/01/27/128692/Prometheus. Diakses tanggal 12 November 2016 pukul 20.00.






No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...