Oleh: Kristoporus Primeloka
Sebuah baliho iklan properti berdiri di pinggir jalan tol tepat sebelum masuk gerbang Tol Pasteur, berdiri menyambut orang-orang datang di Kota Bandung dengan pertanyaan nyinyir, setidaknya buat saya yang menjelang umur kepala tiga dan akan berkeluarga tapi belum memiliki properti apapun kecuali alat-alat produksi yang biasa digunakan sehari-hari untuk bertahan hidup : tabungan yang tidak seberapa, laptop, motor, buku-buku, dan benda-benda lain yang kalau dijual di olx paling cuma bisa untuk membeli makanan di warteg dan foya-foya receh selama beberapa minggu. Begini kira-kira bunyi pertanyaan di iklan properti itu : “Keong saja punya rumah, masa kamu belum punya?”
Nah! Terlepas dari kegagalan logikanya (membandingkan perilaku keong dengan manusia saja sudah berbeda), pertanyaan retoris semacam itu malah membuat saya bertanya : Benarkah kita harus memiliki (properti) rumah sendiri? Jawaban saya waktu itu adalah iya, kita harus memilikinya. Saya mesti kerja keras bagai kuda agar dapat membeli rumah dan membahagiakan orang tua.
Sampai pada suatu ketika jawaban saya itu tertunda (dalam bahasa Derridean, diffĂ©rance - ‘memiliki rumah’ mengalami penundaan makna) saat saya mengobrol dengan seorang klien yang sedang merenovasi sebuah rumah dinas perkebunan untuk dijadikan rumahnya.
Ia adalah salah seorang anak dari pemilik sebuah perkebunan sawit seluas 8.902 hektar dengan 1.400 orang pekerja di pantai barat Sumatra. Iya, perkebunan sawit, yang menurut pegiat-pegiat lingkungan, semuanya sangat ekspansif ,ekstraktif, dan ekspoitatif merusak hutan-hutan tropis Indonesia; hanya memperkaya pemilik dan memiskinkan para pekerjanya dan blablabla. Tapi, kita tidak akan berdebat soal perkebunan sawit di tulisan ini, jadi mari kembali ke topik awal.
Dengan segala privilese yang dimiliki, dalam bayangan saya, ia mestinya bisa membeli tanah dan membangun rumah sendiri, tetapi hingga proses renovasi rumah dinas itu hampir selesai, sama sekali tidak terbesit dalam pikirannya ingin membeli rumah. Sebagian besar waktunya dalam satu tahun, separuh lebih memang dihabiskan di perkebunan, sesekali ia pulang ke rumah orang tuanya di Bandung atau lebih sering lagi pulang ke rumah mertuanya di Jogja, kota di mana anak satu-satunya bersekolah. Baginya tempat tinggalnya saat ini di dua kamar mess perkebunan yang masing-masing berukuran kurang lebih 18 m2 sudah cukup. Tetapi tetap menurut saya dua kamar itu bukanlah sebuah rumah. Ketika saya menanyai adakah keinginan untuk membeli rumah , ia menjawab ringan :“Buat apa? Lahan mata pencaharian saya di sini.”
Hubungan antara rumah dengan mata pencaharian memang terkait erat. Polanya jelas: dimana ada gula, di dekatnya pasti muncul sarang semut. Dimana ada lahan mata pencaharian, di dekatnya banyak muncul hunian. Itulah alasan mengapa banyak perkampungan tradisional di Sunda mendekati sumber mata air sebagai prasyarat penghidupan agraris mereka, lalu memuliakannya dengan memberi awalan kata Ci- yang berarti air di depan nama kampungnya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sama-sama agraris banyak dijumpai pula nama desa yang menggunakan awalan kata Karang- yang diambil dari kata pekarangan, atau awalan kata Kebon- yang kemudian disambung dengan nama tumbuhan yang mereka tanam. Kita ambil contoh misalnya pohon Jati (Tectona grandis) menjadi unsur dari sekurangnya 230 nama desa ,atau 45 desa dengan unsur kata Asem (Tamarindus indica). Imam Budhi Santosa, seorang budayawan dan sastrawan dalam bukunya yang berjudul Suta Naya Dhadap Waru bahkan mencatat ada sekurangnya 323 spesies tanaman yang dimuliakan sebagai nama desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut. Pola mendekati mata pencaharian jugalah yang membuat arus migrasi yang kita kenal sebagai urbanisasi, yakni orang-orang dari desa datang ke kota dan menetap mengisi tiap ruang untuk mencari penghidupan. Dalam perkembangan sejarah kota Jakarta misalnya, kota pelabuhan dari masa kerajaan Tarumanegara hingga Kesultanan Banten itu dulunya sebagian besar berupa rawa-rawa , namun dalam beberapa abad saja berkembang sesak sejak dijadikan kota Batavia oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang kemudian berganti nama menjadi Jakarta pada masa Jepang hingga setelah kemerdekaan. Penduduk dari luar yang datang ke Jakarta (Batavia) umumnya menghuni kampung-kampung lama di luar kawasan bisnis di sekitar Kota Tua. Kita saat ini bisa mengenali nama-nama daerah yang masih mengandung unsur agraris yang khas seperti nama Sawah Besar, Rawasari, Kebon Kacang, Mangga Dua, Kebon Sirih, Menteng, dan lain sebagainya. Jakarta pada dasarnya merupakan sebuah kumpulan kampung yang sangat besar, banyak orang kemudian menyebutnya sebagai The Big Village.
Namun dalam perkembangan berikutnya, kampung-kampung ini perlahan banyak beralih fungsi karena melihat nilai tanah di dekat kawasan bisnis terlalu murah jika hanya untuk dijadikan sebagai hunian apalagi lahan pertanian. Pramoedya Ananta Toer dalam kumpulan cerpen yang ia beri judul Cerita Dari Jakarta , secara ironis mengisahkan perubahan ruang kota Jakarta pada masa-masa awal kemerdekaan. Dalam “Berita dari Kebayoran”, salah satu cerpen di bukunya itu, ia menceritakan penggusuran pertama dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, ketika lahan pertanian dan perkampungan beralih fungsi menjadi sebuah kawasan perumahan elit dan kota satelit Kebayoran Baru. Ada pola perubahan ruang yang kemudian menghilangkan lahan mata pencaharian banyak orang sekaligus menghilangkan rumah mereka, pola ini terus terjadi hingga sekarang. Sungguh mengherankan penggusuran-penggusuran kampung terus terjadi sementara pemerintah tetap gencar mengabarkan terus menerus bahwa kita mengalami backlog[1]perumahan. Bukankah sama saja?
Dengan dalih backlog perumahan itulah banyak pengembang perumahan (mengincar dan) membangun kawasan propertinya di dekat kawasan bisnis. Kita bisa lihat sebaran 478[2] apartemen di Jakarta sebagian besar memiliki kedekatan lokasi dengan kawasan perkantoran yang menjadi target pasarnya, demikian juga dengan sebaran 22 apartemen di Bandung yang memiliki kedekatan lokasi sebagian besar dengan kawasan perguruan-perguruan tinggi, atau 7 apartemen yang tersebar di kawasan wisata Kuta dan Seminyak di Bali. Grup Lippo pun berani jor-joran menginvestasikan Rp.278 triliun untuk membangun kota mandiri Meikarta, jumlah itu belum termasuk Rp.1,5 triliun yang dikeluarkan untuk promosi di berbagai media massa[3]. Meskipun luasnya hanya 500 hektar, kalah jauh hampir 5 kali lipat dari luas BSD atau bahkan 2 kali lipat kalah luas dari Kota Baru Parahyangan di Padalarang , keberanian Meikarta memilih lokasi berjarak 50 km (hampir antah berantah jauhnya) dari Jakarta bukanlah tanpa sebab. Lokasi di tengah-tengah jalur Jakarta-Bandung dan dikelilingi sekurangnya 7 kawasan industri di sekitar Cikarang ditambah infrastruktur transportasi seperti jalur kereta cepat, Tol layang Jakarta – Cikampek, Pelabuhan Laut Dalam di Patimban Subang, dan Bandara Kertajati membuat Meikarta menjadi kawasan dengan prospek yang sangat menjanjikan untuk menjadi hunian bagi ratusan ribu tenaga kerja. Tambahan kemudahan akses terhadap infrastruktur transportasi inilah yang kerap disebut konsep Transit Oriented Development (TOD)[4]. Konsep ini jugalah yang membuat PTPN VIII merencanakan mengubah perkebunan teh dan karet di daerah Cikalong Wetan menjadi kota mandiri Walini City seluas 2.873 hektar[5]. Tetapi pertanyaannya adalah,siapa yang mampu membelinya? Apakah buruh pabrik dengan gaji UMR mampu membelinya?
Konsep TOD mengandaikan jarak rumah dan tempat kerja yang jauh tidak akan jadi masalah asalkan ada kemudahan akses transportasi. Namun, apakah transportasi itu benar-benar mudah diakses (maksudnya murah) bagi siapa saja? Itulah satu masalah. Melihat nilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang kini membengkak hingga Rp. 80,7 triliun saja kita sulit membayangkan berapa besar harga tiketnya. Direktur PT.Wijaya Karya, BUMN yang ikut menggarap proyek tersebut bahkan mengatakan telah menghitung harga tiket untuk sekali jalan sebesar Rp.200 – 225 ribu per orang[6]. Untuk saat ini, bagi saya saja jumlah itu merupakan harga yang sangat mahal untuk perjalanan sejauh 140km. Perjalanan yang terlalu jauh dan lama antara tempat tinggal dan tempat kerja juga terlalu banyak menguras energi (dan uang) yang justru makin mengurangi produktivitas.
Mungkin karena alasan jarak itulah, masih banyak orang yang tetap mendekati lahan mata pencahariannya, tinggal di kampung-kampung padat di pusat kota meskipun sering mendapat ancaman penggusuran dan bencana lain seperti kebakaran atau banjir. Roanne Van Voorst, seorang antropolog asal Belanda dalam catatannya saat tinggal di kampung kumuh bantaran kali di Jakarta menunjukkan orang-orang yang tinggal di sana, dengan pendapatan yang sebagian besar tidak sampai Rp.60 ribu per minggu memang tidak punya pilihan lain. Harga sewa satu unit rusun 30 meter persegi yang sekitar Rp.300 ribu per bulan menurut mereka terlalu berat, apalagi menyewa apartemen yang harga sewanya bisa mencapai Rp.385 ribuan per meter persegi[7]. Sementara itu dengan tinggal di kampung-kampung kumuh itu mereka bisa menghemat paling tinggi setengah harga dari harga sewa rusun meskipun harus membiasakan diri dengan banjir, kebakaran, atau penggusuran. Beberapa orang bahkan pernah sekitar sepuluh kali kehilangan tempat tinggal namun tetap membangun kembali rumahnya di tempat yang sama atau di kampung-kampung kumuh lain. “Sudah biasalah,...[8]” kata salah seorang penduduk kampung itu.
Apakah saya juga akan bernasib sama dengan mereka? Melakukan urbanisasi, mendekati lahan mata pencaharian ke kota, menjadi penyewa yang sesungguhnya tidak memiliki rumah, kemudian bilang “sudah biasalah.”
Tidak! Saya, juga kita yang memiliki pendidikan dan jejaring yang baik jauh lebih beruntung karena punya lebih banyak pilihan. Pilihan untuk mampu membuat lahan mata pencaharian dan satu hal yang lebih penting lagi : pilihan untuk tidak menghilangkan lahan mata pencaharian orang lain dengan mengubah ruang hidupnya, termasuk halnya dengan buru-buru harus memiliki rumah sendiri.
Tidak! Saya, juga kita yang memiliki pendidikan dan jejaring yang baik jauh lebih beruntung karena punya lebih banyak pilihan. Pilihan untuk mampu membuat lahan mata pencaharian dan satu hal yang lebih penting lagi : pilihan untuk tidak menghilangkan lahan mata pencaharian orang lain dengan mengubah ruang hidupnya, termasuk halnya dengan buru-buru harus memiliki rumah sendiri.
Dengan jejaring misalnya, memungkinkan kita untuk bekerja di mana saja. Dengan begitu, tempat tinggal yang sekarang kita tempati; baik itu rumah milik orang tua, menyewa atau kos adalah juga rumah kita. Kebutuhan harus memiliki rumah dengan sendirinya menjadi tidak relevan dan bisa jadi merupakan ilusi yang sama dengan konsep backlog, dimana satu keluarga harus memiliki satu rumah, padahal nyatanya tidak, dalam satu rumah sangat memungkinkan untuk ditinggali beberapa keluarga. Jika demikian, pembangunan perumahan-perumahan baru yang sangat masif beberapa tahun ke belakang menjadi tidak tepat lagi, terlebih pembangunan yang menggusur lahan-lahan pertanian produktif atau kampung-kampung yang sudah lama menjadi rumah bagi banyak orang.
Tentu pilihan-pilihan tersebut tidak dapat langsung menyelesaikan masalah, perlu ada langkah-langkah strategis mengintervensi sistem yang sudah terlanjur parah.
Tentu pilihan-pilihan tersebut tidak dapat langsung menyelesaikan masalah, perlu ada langkah-langkah strategis mengintervensi sistem yang sudah terlanjur parah.
[1] Backlog Rumah adalah salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang terkait bidang perumahan untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia. Backlog rumah dapat diukur dari dua perspektif yaitu dari sisi kepenghunian maupun dari sisi kepemilikan. Backlog rumah dari perspektif kepenghunian dihitung dengan mengacu pada konsep perhitungan ideal: 1 keluarga menghuni 1 rumah. Rumus Backlog = ∑Keluarga – ∑Rumah.
Satu hal yang menarik, dalam perspektif BPS, orang tinggal di rumah yang layak huni, tapi menyewa, tetap dianggap backlog, sementara Kemenpera, sepanjang sudah tinggal di hunian yang layak, itu tidak dianggap backlog. Oleh sebab itu, angka backlog dari Kemenpera umumnya lebih rendah dibanding BPS. Pada tahun 2015 BPS menunjukkan backlog perumahan kita sebanyak 11,4 juta unit.
Namun yang perlu dipertanyakan, apakah dengan jumlah permintaan perumahan (backlog) yang sangat besar itu adalah ilusi untuk meningkatkan harga properti sehingga semakin banyak orang tidak mampu membeli rumah, semakin tinggi pula kenaikan harganya? Apakah dengan menyediakan unit rumah-rumah baru secara langsung ekuivalen dengan penurunan jumlah backlog?
[2] Dihimpun dari https://www.rukamen.com/district-populer-di-jakarta-dan-kota-besar-di-indonesia
[3] https://tirto.id/jorjoran-iklan-meikarta-di-tengah-kinerja-melorot-lippo-cikarang-cJeH
[4] Transit Oriented Development secara ringkas merupakan perencanaan kawasan perkotaan yang mengacu pada kemudahan akses transportasi massal, sehingga orang-orang dapat berpindah moda transportasi dari satu kawasan ke kawasan lain dengan cepat tanpa takut terjebak macet.
[5] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3204689/jadi-lokasi-stasiun-kereta-cepat-jkt-bdg-walini-segera-dipermak
[6] https://www.liputan6.com/bisnis/read/2341634/harga-tiket-kereta-cepat-jakarta-bandung-rp-225-ribu
[7] https://properti.kompas.com/read/2018/04/26/215341221/tingkat-hunian-apartemen-sewa-di-jakarta-stagnan
[8] Roanne van Voorst, Tempat Terbaik di Dunia, (Jakarta : Marjin Kiri, 2018), hlm.62.
No comments:
Post a Comment