Oleh: Jaladri
Di era keemasan kapitalisme seperti sekarang, hampir semua hal bisa dinilai dengan uang. Bahkan hal-hal yang imateriel seperti karya seni atau kasih sayang sekarang sudah ada indikator untuk menilai berapa harganya jika dinilai dengan uang. Termasuk pula bahwa untuk bisa dipercaya di zaman sekarang, setiap pengeluaran sebisa mungkin tercatat dalam pembukuan akuntansi.
Uang tidak lagi menjadi sekedar alat tukar, tapi sudah menjadi indikator kesejahteraan. Pendapatan domestik negara, garis kemiskinan, strata sosial, semua dinilai oleh uang . Dari kebutuhan dasar, tempat tinggal, sampai aktualisasi diri semua harus dibeli dengan orang.
Namun banyak orang yang tidak tahu bahwa uang tidak datang semerta-merta dari ketiadaan. Sebagai alat tukar, uang berasal dari komoditas yang diubah wujudnya menjadi "uang". Ia datang dari padi yang ditanam petani, pohon yang dijual sebagai kayu, bahan alam yang ditambang dari perut bumi, atau keringat yang diperas sebagai jasa. Untuk setiap "uang" yang bertambah di muka bumi, ada yang harus dieksploitasi.
Tidak hanya nilainya, tapi untuk memproduksi bentuk fisik uangnya pun perlu eksploitasi.
Rantai eksploitasi ini semakin hari semakin menjadi-jadikarena semakin banyak yang harus dibeli dengan uang. Bahan makanan yang dahulu tinggal mengambil dari kebun belakang, harus dibeli dulu dari pasar. Tempat-tempat yang dahulu bisa dijangkau oleh langkah kaki, sekarang harus menggunakan transportasi yang tenaganya dari bahan bakar fosil. Internet dan telepon sekarang sudah menjadi kebutuhan dasar yang lagi-lagi untuk menikmatinyaharus dibeli dengan uang. Hasilnya orang-orang harus bekerja lebih keras, untuk mendapatkan uang lebih banyak, demi sekadar memenuhi kebutuhan dasar.
Memutus Rantai Eksploitasi
Sayangnya tidak semua orang bisa memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya dengan sekedar bekerja keras. Banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan setiap hari bekerja keras tapi tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kalau pun kebetuhan dasar terpenuhi, sebagian orang tidak memiliki tabungan kerena gaji bulanan sekadar numpang lewat setelah digunakan untuk membayar tagihan listrik, air, internet, kartu kredit, pajak ini itu, cicilan mobil, motor, kredit kepemilikan rumah, kredit peralatan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Lantas bagaimana solusinya? Mungkin sebagian besar orang akan menjawab dengan mengirit atau menghemat. Tapi irit seperti apa?
Kita selalu terjebak pada dogma pasar bahwa kita punya kebebasan antara membeli satu produk atau produk lainnya. Tapi kita tidak bebas untuk tidak membeli. Pilihan kita sepertinya terbatas antara, 1) Membeli barang mahal berkualitas baik, atau; 2) Membeli barang yang lebih murah dengan kualitas yang lebih buruk. Karena keterbatasan daya beli akhirnya kita terpaksa mengkonsumsi barang-barang berkualitas buruk, dengan maksud menghemat, yang sesungguhnya menurunkan kualitas hidup kita.
Tidak jarang dengan mengirit saja masih jauh dari cukup untuk kita bisa mengumpulkan uang muka untuk KPR. Membeli sepetak tanah seringkali jadi pilihan sulit karena tingginya harga tanah saat ini. Apalagi membeli rumah utuh secara tunai, seringkali di luar kemampuan orang kebanyakan saat ini.
Namun kita sering lupa selalu ada pilihan lain,yaitu untuk tidak membeli. Pilihan yang barangkali tidak akan terasa nyaman pada awalnya, yakni memproduksi sendiri. . Dengan memproduksi sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hidup kita dengan memilih bahan yang terbaik dan memaksimalkan apa yang kita punya. Mengurangi membeli juga memungkinkan kita untuk menghemat lebih banyak uang yang akhirnya bisa dialokasikan untuk hal yang lebih krusial seperti kepemilikan papan.
Frugal Living, atau Gaya Hidup Hemat, sebenarnya bukan hal yang baru. Hal yang kita sebut hemat di masa kini, bisa jadi hal-hal yang sangat biasa di lakukan di masa muda orangtua kita. Gaya Hidup Hemat jadi luar biasa karena kemudahan teknologi dan sistem transaksi perbankan yang super cepat,membuat kita mudah untuk berperilaku konsumtif. Padahal, Gaya Hidup Hemat adalah hal yang sangat mungkin untuk dilakukan.
Melatih diri untuk memproduksi sendiri barang kebutuhan kita tentu memerlukan tahapan. Latihan yang sangat dianjurkan adalah dengan memulai memproduksi santapan kita sendiri, belum menanam bahan makanan tapi memasak sendiri. .Memasak selain dapat mengurangi biaya, kita juga bisa memilih gizi yang ada di makanan sesuai dengan kebutuhan kita.
Memasak selain dapat mengurangi biaya, juga bisa menyesuaikan pilihan gizi sesuai kebutuhan kita.
Membagikan Apa yang Tidak Kita Gunakan
Selain menanam dan mengolah, dalam hidup kita perlu juga untuk merawat. Ini pun diterapkan pada kepemilikan barang-barang kita. The Life-Changing Magic of Tidying Up karya Marie Kondo bisa jadi acuan bagi orang yang ingin memulai Frugal Living.
Seringkali kita terlalu banyak memiliki barang sehingga membuat kita tidak memanfaatkannya secara maksimal . Bahkan kita tidak ingat sama sekali kalau mempunya barang tersebut. Hal ini membuat kita belanja lagi, padahal kita sudah punya, atau terpaksa membeli barang baru karena luput merawat yang sudah ada.
Bab-bab pertama buku The Life-Changing Magic of Tidying Up ini mengajarkan kita bagaimana caranya “membuang”. Kita harus merelakan apa yang tidak kita butuhkan. Daripada memiliki barang terlalu banyak yang belum tentu kita pakai, yang hanya memenuhi ruang di rumah kita. Membuat rumah kita sesak. Cara membuangnya, menurut saya, dengan mendonasikan pada yang membutuhkan.
Lebih baik kita memiliki sedikit barang, tapi pastikan barang itu dapat termanfaatkan seluruhnya. Orang seringkali sulit bersyukur dengan apa yang dipunya karena tidak paham manfaat apa saja yang terdapat pada barang-barang yang dia punya. Dengan memiliki lebih sedikit, membantu kita memahami lebih banyak manfaat pada barang-barang di sekitar kita. Bersikap ugahari dengan apa yang kita punya. Selain itu memudahkan kita untuk merawatnya karena tidak terlalu banyak yang perlu dirawat.
Tidak Membeli Apa yang Belum Kita Butuhkan
Seringkali orang membeli barang dengan alasan barang tersebut akan dibutuhkan di kemudian hari. Orang seringkali lupa kalau barang pun memiliki usia. Meski kita tidak menggunakannya, umurnya terus bertambah. Besi bisa berkarat, pakaian bisa berjamur, makanan bisa basi. Masih mending jika kita ingat untuk merawat dan memperpanjang usia benda-benda tersebut, kalau tidak, akhirnya kadaluwarsa dan harus dibuang tanpa sempat dimanfaakan. Mubazir jadinya.
Kalau pun barang yang kita beli dirawat, alangkah lebih berguna jika waktu dan tenaga untuk merawat barang yang belum pernah kita pakai tersebut kita pergunakan untuk hal produktif lainnya. Jika kita tidak memiliki benda-benda itu, kita punya waktu luang untuk melakukan hal lain. Bahkan beristirahat meditasi pun jauh lebih bermanfaat daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk merawat barang yang belum atau bahkan tidak akan pernah kita pakai.
Ini bisa jadi solusi sementara untuk orang yang belum memiliki rumah. Dengan sedikitnya barang yang kita punya, memungkinkan kita untuk mengontrak tempat tinggal yang lebih kecil yang biayanya lebih murah.
Termasuk di dalam upaya “Tidak membeli apa yang tidak kita butuhkan” adalah dengan tidak mengambil barang yang usia manfaatnya jauh lebih pendek dari usia tidak bermanfaatnya. Seperti kantong keresek atau sedotan plastik, yang hanya sekali pakai lalu menjadi sampah. Meski sebisa mungkin kita gunakan lebih dari sekali, satu kantong plastik membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terurai kembali. Apalagi dengan sistem daur ulang di Indonesia yang masih sangat buruk, plastik yang terdaur ulang terlalu sedikit untuk bisa berdampak signifikan. Hampir seluruhnya hanya menjadi sampah yang memenuhi ruang kita, termasuk di laut dan di udara (dalam bentuk gas racun hasil pembakaran plastik).
Jika berbelanja ke pasar, saya selalu membawa tas belanja sendiri. Hal ini membantu saya untuk tidak membawa pulang kantong plastik dari pasar. Setidak-tidaknya ini bisa mengurangi sampah pribadi saya sendiri. Syukur-syukur semakin banyak orang mempraktikkan ini dan mengurangi jumlah sampah plastik harian secara signifikan.
Meningkatkan Kualitas Hidup
Bagi kawan-kawan yang tumbuh di akhir abad 20 dan awal abad 21 tentu familiar dengan isu global warming. Sebagian dari kita ada yang punya mimpi untuk bisa berkontribusi menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Seiring bertambahnya waktu, ada yang melupakan mimpinya tersebut dan ada yang menjadi skeptis karena dirasa terlalu mustahil mimpi tersebut bisa diwujudkan. Padahal mengubah kondisi lingkungan sangatlah mungkin jika kita mengadopsi gaya hidup hemat atau bahkan menuju zero waste (nol sampah).
Tentu masih banyak gaya hidup hemat yang bisa kita praktikkan. Ada banyak contoh cara dan kemungkinan pilihan hidup untuk frugal living atau zero waste. Salah satu yang saya ikuti adalah cara mbak Siska Nirmala (instagram.com/zerowasteadventure) dan Astri Puji Lestari (instagram.com/atiit). Teman-teman bisa mengambil contoh dari ribuan orang lainnya yang mengadopsi gaya hidup hemat, minim sampah, bahkan nol sampah.
Sikap ugahari (sederhana atau bersahaja) juga memungkinkan kita untuk membutuhkan lebih sedikit ruang tempat tinggal. Kita bisa berbagi ruang (co-living) bersama keluarga lain atau teman-teman sendiri. Kebutuhan papan dapat terpenuhi karena selain kita tidak perlu ruang terlalu besar, kita juga terbiasa berbagi dengan orang lain. Sedikitnya kepimilikan pribadi, bisa ditingkatkan dengan banyaknya kepemilikan komunal. Semua barang termanfaatkan dengan efisien karena kita bisa berbagi. Kualitas hidup juga meningkat karena kita bisa berbagi tugas dalam merawat.
Gaya hidup hemat dan minim sampah tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tapi juga bermanfaat bagi lingkungan. Dengan meminimilasir penggunaan uang, kita tidak saja berhenti mengeksploitasi diri untuk mengerahkan segala daya untuk berupaya mencari uang, tapi juga bisa meningkatkan kualitas diri untuk melihat berbagai pilihan cara berkehidupan. Kita juga bisa hidup berkesadaran dan terhubung tidak saja dengan manusia sekitar kita, tapi juga lingkungan dan alam secara keseluruhan.
. . .
Thanks infonya. Oiya ngomongin hidup hemat, ternyata keluarga kerajaan juga menerapkannya loh dalam kehidupannya. Kalo kita ga nerapin, malu dong sama mereka. Mau tau keluarga kerajaan mana yang sehari-harinya hidup hemat? Cek di sini: kebiasaan hemat keluarga kerajaan
ReplyDeleteSangat bermanfaat dan membantu sekali, coba di cek juga ya http://ntdindonesia.com/keluarga/kta-untuk-tambahan-dana-darurat/
ReplyDelete