[JALAN-JALAN] GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT : RUMAH BAGI SEMUA

Oleh : Reina Ayulia

Berkunjung ke Kota Bandung tak lengkap rasanya apabila tidak beromantisria dengan bangunan bersejarah dan berbagai peristiwa penting di dalamnya yang dapat menumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia. Banyak sekali peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yang begitu inspiratif dan dapat diaktualisasi ke kehidupan kita dewasa ini. Kota Bandung selalu mengingatkan kita kepada seorang proklamator kemerdekaan Indonesia yang tumbuh dan berkembang di tatar Priangan ini, siapa lagi jika bukan Presiden RI yang pertama, Soekarno.

Pada tahun 1930 terjadi sebuah peristiwa penting yang menjadi nafas baru pergerakan kemerdekaan Indonesia. Empat anak muda Indonesia bernama Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Soepriadinata diadili di muka pengadilan Landraad di Bandung atas tuduhan yang serius yakni makar, sebuah upaya merobohkan kolonialisme Hindia Belanda yang berkuasa pada masa itu. Soekarno membuat sebuah naskah pledoi yang menggambarkan situasi politik internasional dan akibatnya pada masyarakat Indonesia di bawah penjajahan kolonialisme. Naskah tersebut diberi judul ‘Indonesia Menggugat’, naskah pledoi yang luar biasa hebat dalam analisisnya. Umurnya waktu itu tidak lebih dari 29 tahun, ia tulis dalam sempitnya dinding penjara Banceuy, Bandung untuk ia bacakan di depan para pengadil Belanda.

Gedung ini telah ada sejak tahun 1907 yang berfungsi sebagai tempat tinggal (Hartono, 2006). Pada tahun 1917 atas instruksi pemerintah kolonial Hindia-Belanda rumah tinggal ini beralih fungsi menjadi pengadilan (landraad) hingga Jepang merebut Bandung dari Belanda. Pada masa Kemerdekaan Indonesia gedung ini sempat digunakan dengan berbagai fungsi seperti kantor Palang Merah Indonesia (1947-1949), kantor KPP Pusat (1949-1955), Bagian Keuangan Kantor Pelayanan dan Kas Otonom, Sekretariat Provinsi Jawa Barat (1955-1970) dan Bidang Metrologi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat (1970-2003). Setelah kosong satu tahun kemudian di tahun 2004 dilakukan pemugaran dan selesai tahun 2005 (Hartono, 2006).

Gedung ini berstatus sebagai aset Pemprov Jabar dan merupakan Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung yang pengelolaannya di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (Disbudpar). Atas inisiatif dari sekelompok masyarakat, gedung ini diajukan untuk bisa diaktivasi oleh publik sebagai monumen bersejarah, museum dan ruang publik. Di tahun 2005 ini juga menandai pemberian nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM), pemberian nama ini nampaknya untuk tetap menjaga bara semangat perjuangan dan perlawanan atas kesewenang-wenangan.

GIM sendiri terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, letak gedung yang agak menjorok ke dalam terkadang bisa mengecoh siapapun yang hendak datang namun tak awas pada plang yang terdapat di muka gerbang masuk. Di GIM ada sebuah ruangan yang tata ruangnya disesuaikan dengan saat Soekarno membacakan pledoi, kemudian agak masuk ke dalam ada sebuah ruang mirip aula besar yang sering digunakan untuk diskusi dan berbagai kegiatan lainnya. Sebenarnya jika sedang tidak terburu-buru mengejar agenda diskusi, di kiri-kanan menuju aula ada petikan-petikan pledoi Soekarno, lalu apabila sedikit cermat dalam membaca pledoi kita akan menemukan Soekarno muda gemar baca buku kiri. Sedang di sebelah kanan bangunan terdapat kafetaria kecil untuk sekedar mengisi perut jika jumud dengan diskusi formal di aula atau sekedar ngopi murmer ala sachetan yang bisa menjadi penghangat tukar wacana bersama kawan.

Muka bangunan Gedung Indonesia Menggugat Sumber : Koleksi Pribadi, 2017

Sebenarnya jika dibandingkan dengan diskusi di aula, kafetaria GIM lebih dapat menawarkan keakraban yang intens untuk bertukar pikiran dan menggagas sebuah kegiatan, bahkan tak jarang menjadi awal mula kisah asmara. Beragam topik pembicaraan yang mengemuka dari hal yang berbau kanan hingga ke kiri-kirian, dari yang tradisional hingga yang modern. Tanpa sekat, inklusif, dan hanya jam tutup yang bisa membatasi. Melalui diskusi terbentuk proses pembelajaran dan proses lahir gagasan baru, generasi muda yang berpikir luas, kritis dan semakin memahami budaya bangsanya.

Tahun 2011 menjadi kali pertama saya ke GIM, belakangan kunjungan itu saya refleksikan sebagai kali pertama saya bersentuhan dengan kawan-kawan yang berbeda lintas ilmu. Sebagai mahasiswa jurusan pendidikan arsitektur, menyimak wacana-wacana yang berkembang dalam obrolan yang ada di sana ibarat membukakan kotak pandora dalam diri saya.

Kegiatan Komunitas Aksakun di Aula Utama GIM Sumber Foto : Koleksi Pribadi, 2011
Selain diskusi-diskusi, beberapa komunitas sempat hidup di sana, satu diantaranya Komunitas Aksara Sunda Kuna yang disingkat menjadi Aksakun, komunitas yang juga sempat saya ikuti. Di komunitas tersebut saya berjumpa dengan mahasiswa lain yang berbeda jurusan seperti sejarah, sastra, geografi atau seniman, penyiar radio, budayawan, aktivis, dll. Intensnya saya bersentuhan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang di dalam komunitas membangun kesadaran jika sinergitas itu penting! Hari-hari selanjutnya di luar jadwal Kelas Aksakun, saya sering datang ke GIM karena banyak kegiatan-kegiatan yang menarik untuk menambah wawasan. Tak jarang jika sedang jenuh kuliah, saya sering ‘kabur’ ke GIM. Selalu ada hal yang baru dan orang-orang baru yang bisa untuk diajak berbincang dan selalu saja ada pembicaraan yang sangat inspiratif dan menggugah semangat saya sebagai mahasiswa untuk melakukan suatu perubahan. Keasyikan ini mulai meredup seiring hutang akademik yang harus dilunasi. Tahun 2016 saya datang kembali ke GIM kali ini bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai anggota Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau yang lebih dikenal sebagai Bandung Heritage. Meski sudah sekitar dua tahun berselang, saya tidak merasakan perubahan yang kentara. Kopi sachet masih setia menemani diskusi. Pemilihan meja bundar rasanya pilihan tepat. Dengan bentuk meja seperti itu, tidak ada sudut yag bisa menutup ruang diskusi, di antara kawan yang mengobrol kita bisa saling melirik. Saya bisa duduk sendirian di kursi bulat yang ada di kafetaria itu, tapi tak lama berselang ada saja yang ikut duduk di sana kemudian saling menyapa, berkenalan dan berbincang-bincang. Anehnya tak pernah ada rasa canggung, meskipun saya sendiri baru kenal hari itu.


Suasana diskusi di kafetaria GIM Sumber Foto : Koleksi Pribadi,2011 dan Facebook Nunun Nurhayati, 2017


Sempat terjadi perubahan pengelolaan di lingkungan GIM yang semula dikelola oleh komunitas kemudian diambil alih kembali oleh Disbudpar Jawa Barat. Namun semangat penggunaan ruang tidak berubah, Bu Nunun –staff Disbudpar, menganalogikan GIM ini sebagai rumah bagi semua orang, mereka bisa datang untuk berkegiatan, berbicara dan berbagi. Dan fungsi beliau sebagai pelayan publik seperti selayaknya ibu di rumah yang harus mampu mendengarkan, mengarahkan dan memahami berbagai keberagaman yang ada. Beliau meyakini bahwa generasi muda jangan dibatasi pemikirannya apalagi dicekal untuk mempelajari sesuatu hal namun harus selalu didukung dan diarahkan agar berkembang ke jalan yang lebih baik. Semakin banyak tahu, anak muda akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijaksana.

Itulah yang membuat saya mengerti, mengapa setiap datang ke GIM saya tidak pernah merasa asing, selalu ada senyum-senyum ramah dengan tangan yang terbuka lebar. GIM memang rumah tempat berkumpulnya segala pemikiran dan keberagaman. Nilai-nilai kebangsaan selalu menjadi nafas dalam berbagai kegiatan yang disajikan oleh GIM. Kemudian saya menjadi teringat dengan kata-kata Soekarno dalam naskah Indonesia Menggugat :

“Fadjar itu makin lama makin terang, dan walau dihalang-halangi oleh kekuatan manusia jang bagaimana djuga, walau ditjegah oleh kekuatan-wadag dari negeri manapun jua, walaupun ditjegah oleh kekuatan-duniawi dari pada segenap negeri di atas segenap bumi ini, ia tidak boleh tidak harus, tentu, pasti akan diikuti oleh terbitnja matahari jang meng-hidupkan segala sesuatu jang harus hidup dan mematikan segala sesuatu yang harus mati.”

Daftar Pustaka Hartono, D.(2006).Indonesia Menggugat, Pemugaran sebuah Monumen Perjuangan Bangsa.Geger Sunten :Bandung NN. (2005). Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Bandung.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...