"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan."
Pembukaan UUD 1945 menegaskan kemerdekaan sebagai dasar terpenting bagi terbangunnya Bangsa Indonesia. Kata 'kemerdekaan' adalah titik berat dalam setiap paragraf, terus menerus diingatkan dan ditulis berulang agar menjadi catatan bagi seluruh pergerakan kita menuju sebuah negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gagasan kemerdekaan ini kemudian dimeterai dengan dasar negara, Pancasila, yang pada dasarnya mengandung kedalaman filosofi tentang kemanusiaan universal suatu bangsa Indonesia yang merdeka.
Kemanusiaan yang universal. Sumber foto : KAIL |
Menggali Makna Kemanusiaan Universal di Dalam Indonesia Merdeka
Lantas apakah itu suatu kemanusiaan universal yang akan ditumbuhkan dalam Indonesia yang merdeka?
Para Bapak Bangsa, pejuang kemerdekaan dan kaum pergerakan sejak RM Tirto Adhi Soerjo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Soetomo dan kawan-kawan dari Boedi Oetomo, sampai kepada para penyusun Pembukaan UUD 1945 adalah para perenung kemanusiaan universal tersebut. Sebelum negara Indonesia lahir melalui proklamasi, sejarah negeri kepulauan ini senantiasa menghujani benak para perintis tersebut dengan riwayat kemanusiaan yang tertindas oleh kolonialisme, intimidasi, intrik kekuasaan, politik kotor adu domba, kerja paksa, dan berbagai cerita yang memberi beban berat bagi bangsa kita. Dari situ tumbuh cita-cita untuk mengubah arah sang sejarah, dari perbudakan menuju kemerdekaan; Para Bapak Bangsa mulai menuliskan masa depan, suatu doa dan pengharapan akan kemanusiaan universal Indonesia yang merdeka.
Kemanusiaan universal Indonesia bukan sekedar definisi atau ketetapan seperti sebuah nama yang tercantum di KTP maupun akta kelahiran, melainkan merupakan pengalaman nyata manusia-manusia yang hidup, bernapas dan berjuang di bumi Indonesia. Kemanusiaan yang demikian lahir dari sejarah yang kaya akan pengalaman dan perenungan, otentik dan berdenyut bersama jatuh bangunnya para pelakon. Itulah rakyat yang sebenarnya, Marhaen, kata Bung Karno, menunjuk pada seorang petani muda berpeluh di tanah Jawa, “Saidjah dan Adinda”, karya Multatuli, “Minke” atau “Kartini” dalam karya Pramoedya, semua yang ditindas oleh permainan politik kaum oportunis, satu rakyat yang disatukan bukan atas dasar apa pun selain penderitaan.
Pesan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Sumber foto : www.gmniunp.blogspot.co.id |
Itulah rakyat satu bangsa yang ditindas, dari satu tanah air yang dijajah, suatu daya bahasa yang dibungkam. Bagi para pemuda yang bersatu menyatakan Soempah Pemoeda 1928, Indonesia adalah pengalaman konkrit, adjective realistis, berupa cita-cita kemerdekaan bagi rakyat, tanah air dan bahasa yang dibungkam. Indonesia adalah situasi sedih yang disatukan dalam penderitaan dan pembisuan. Indonesia pun adalah energi yang berangkat bangun untuk menempuh jalannya, mengubah takdir dan merancang peluangnya sendiri. Inilah Indonesia yang darinya seluruh titik berat makna kemerdekaan dikontemplasikan ke dalam pembukaan UUD 1945. Suatu humanitas yang berbagi penderitaan, yang harus dipulihkan ke dalam martabat asali yang universal, bebas dan merdeka, setara dengan segenap bangsa di dunia.
Lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, integritas kebangsaan ternyata perlu dinyatakan kembali dalam konkretisasi yang cukup berbeda: pertanyaan tentang humanitas universal kita datang dari tantangan terpenting, apa itu identitas Indonesia? Sejarah kemerdekaan dicatat dengan berbagai kesedihan kendati begitu banyak kemajuan telah dicapai. Kita telah menyaksikan begitu banyak penyalahgunaan kekuasaan, penganiayaan oleh penguasa pada rakyat atas nama negara, korupsi yang begitu merajalela, hasrat berkuasa yang vulgar dan degradasi karakter politik mencapai taraf paling rendah: hilangnya pola pikir kritis negarawan. Tetapi sebuah gejala juga telah muncul seakan tanpa preseden, pengingkaran kebhinnekaan, fragmentasi identitas kebangsaan ke dalam pecahan-pecahan egoisme narsistik yang akut. Pertanyaan yang konyol dan menguras akal sehat sekarang berkumandang: siapa-siapa saja, ras mana saja, agama mana saja, kelompok mana saja, dan seterusnya, yang pantas menyandang atribut Indonesia?
Indonesia yang diproklamasikan dulu, adalah rakyat tertindas yang bergerak merdeka dan berdaya independen merintis harkat dan martabat kemanusiaannya menjadi komunitas bangsa - negara yang berbagi ruang humanitas di antara segenap bangsa di dunia beradab. Kita dibangun oleh penderitaan dan perjuangan yang sama, bukan oleh perkumpulan sesama jenis manusia, sesama ras, sesama agama atau sesama suku dalam suatu keadaan normal yang relaks untuk membuat kategorisasi. Humanitas para pendiri bangsa, dan para pejuang, adalah kemanusiaan yang menolak ditindas, sejarah yang bergerak mengubah nasib pelakonnya. Mengingkari kebhinnekaan kita adalah sama absurdnya dengan mengingkari riwayat kemanusiaan Indonesia.
Ketika para bapak bangsa merumuskan haluan bangsa ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, mereka memahami kemanusiaan Indonesia merdeka dalam perspektif humanitas universal yang memberi tempat pada harkat martabat manusia di atas golongan, pandangan politik, asal-usul geografis, agama, ras, suku-bangsa dan sebagainya. Hanya dengan begitu bangsa Indonesia bisa sejajar dan mengambil peran dalam persaudaraan bangsa-bangsa untuk membangun tatanan dunia yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.
Indonesia yang Merdeka, Indonesia yang Bhinneka
Kebhinnekaan atau pluralitas adalah fakta inheren dalam keseluruhan semesta. Setiap unit utuh kehidupan, setiap anasir keberadaan, pasti saling berbeda, Pluralisme adalah pergerakan menuju unitas yang dinamis, paham untuk menghargai pluralitas dan memberi tempat bagi kebersamaan. Bhinneka Tunggal Ika yang dikutip dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa = Berbeda-beda manunggal, menyatu, sebab kebenaran tiada mendua) yang dijadikan metafor keutuhan bangsa pada lambang negara mengisyaratkan pemahaman yang jauh lebih mendalam dari sekadar memberi ruang bagi pluralitas.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan untuk melakukan satu perjalanan bersama, sebagai manusia bersaudara menuju kebaikan bersama. Semboyan ini melampaui isi kata toleransi yang selama ini kita andalkan sebagai medium kebersamaan. Toleransi hanya memberi ruang secukupnya untuk sekadar ada bersama, saling menghormati dan tidak saling menggangu. Sekadar demikian tidak kan cukup buat meniupkan energi kebangsaan, karena kebersamaan sebagai bangsa meminta kerelaan untuk saling membantu, bekerjasama bahu-membahu demi cita-cita bersama. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dengan energi yang kuat, dengan perbedaan kita manunggal sebagai pernyataan kemanusiaan yang bersaudara, sebangsa, setanah air dan seia-sekata sebahasa.
Lantas apa yang perlu kita lakukan dengan perbedaan? Bukankah di masa ini perbedaan, pluralitas, diversitas menjadi senjata, dan sekaligus duri dalam daging?
Perbedaan adalah alamiah, hukum dasar keberlangsungan hidup. Setiap organisme, setiap spesies, setiap individu melakukan diferensiasi, diverting, mengubah jalannya agar mampu menjawab tantangan perubahan dalam hidup. Dinamika adaptasi yang menggerakkan daya kreatif semesta adalah bentuk kehidupan itu sendiri. Kehidupan berjalan menuju diversifikasi, menjadi kaya dan bervariasi, beragam. Diversitas, keberagaman melalui diferensiasi cara hidup, itulah yang memperluas horison kehidupan dalam semesta raya.
Diversitas dalam bahan pembuatan jamu. Sumber foto : KAIL |
Melawan keberagaman adalah melawan daya hidup. Kelompok manusia zombie yang berusaha melakukan radikalisasi diri dengan melawan diversitas sebetulnya sedang melakukan regresi menuju kehampaan. Perbedaan begitu mudah dihadirkan, itulah fakta kehidupan yang memenuhi segenap semesta. Melawan adanya perbedaan artinya mereduksi fakta hidup terus menerus sampai pada absurditas.
Indonesia adalah atribut penuh kenangan sejarah, bertabur mimpi dan harapan, sebuah kata yang menerangkan jati diri yang kaya dari komunitas manusia merdeka dari Sabang sampai Merauke. Itulah untaian kepulauan di tenggara semenanjung Asia, Nusantara, Insulinde, Indische Archipel, Zamrud Khatulistiwa, Ibu Pertiwi, Indonesia (sebutan oleh James Richardson Logan, 1847), begitu banyak nama untuk sebuah kebenaran kemanusiaan yang menderita di tanah air yang sedemikian indah dan kaya -- nama yang kemudian menggerakkan para pemuda, para perintis kemerdekaan dan para proklamator untuk menegaskan kemerdekaan. Kita sekarang, pelanjut semangat mereka, harusnya berjuang juga. Membangun, memajukan kehidupan, meluaskan wawasan, merayakan kemanusiaan dan merencanakan hari esok.
Kita memang direpotkan oleh para koruptor, politisi rendah kualitas, dan kaum oportunis yang tak pernah surut. Tetapi melawan arus radikalisasi narsistik yang meneror diversitas adalah tantangan yang melelahkan karena sangat mengikis moril dan akal sehat. Kita harus berangkat terus menerus, dari pluralitas menuju pluralisme, menegaskan kembali semboyan kakawin Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika sebagai kebenaran kehidupan. Kita seyogianya terus menerus menjadi Indonesia; mengenakan nama itu sebagai atribut yang melekat pada energi kebangsaan kita yang manunggal dari beribu suku, beragam agama dan kepercayaan, banyak ras, banyak cerita, legenda geografis dan dongeng asal-usul; pada kesadaran bertanah air satu yang terdiri dari mosaik beribu pulau, beratus gunung, jutaan tanjung - teluk, yang menyimpan limpahan kekayaan ratna mutu manikam; satu tutur kata, satu budi bahasa dari bermacam langgam bahasa budaya yang tak mungkin lagi dibungkam: Indonesia.
***
No comments:
Post a Comment