[MASALAH KITA] MENGHADAPI KEBERAGAMAN SESAMA AKTIVIS

Oleh: Dhitta Puti Sarasvati

Tasya sangat tertarik dengan isu perempuan. Ketertarikannya ini membuatnya bekerja di sebuah LSM yang fokus pada pemberdayaan perempuan, khususnya dalam bidang ekonomi. Sehari-hari Tasya menghabiskan waktunya untuk melatih sekelompok ibu di sebuah kampung untuk menghasilkan produk yang bisa dijual seperti keset dari kain bekas, agenda yang dibuat dari kertas daur ulang, dan sebagainya. Kebetulan, Tasya memperoleh dukungan dari sebuah supermarket retail. Tasya boleh menitipkan karya-karya ibu-ibu di supermarket tersebut. Tasya berasumsi bahwa dengan mendukung ibu-ibu agar memiliki penghasilan sendiri, maka ibu-ibu tersebut akan lebih berdaya.

Suatu hari ada sebuah forum di mana aktivis-aktivis isu perempuan berkumpul. Tasya berkenalan dengan Juwita. Dengan semangatnya Tasya menceritakan apa yang dikerjakannya bersama ibu-ibu di kampung.

Juwita pun menanggapi, “Punya penghasilan tambahan tidak serta merta membuat perempuan berdaya. Saya pernah menemukan kasus di mana perempuan menghasilkan uang lebih banyak dari suaminya. Uangnya diambil, lalu digunakan untuk mabuk-mabukan. Perempuan tetap menderita. Lagi pula, dengan menitipkan produk itu di supermarket, yang diuntungkan adalah supermarket-supermarket itu. Mereka dapat produk dengan biaya murah, lalu dijual dengan harga yang cenderung tinggi. Yang untung? Pemilik modal. Perempuan perlu dibekali pengetahuan yang memungkinkannya melawan sistem patriarkisme dan kapitalisme yang mengekang mereka.” Ilustrasi di atas menggambarkan contoh dua orang aktivis yang merasa bergerak di isu yang sama, tapi sebenarnya berbeda. Walau keduanya sama-sama peduli pada isu pemberdayaan wanita, namun berbeda pandangan mengenai cara untuk membuat mereka lebih berdaya. Hal yang sama bisa terjadi di bidang lain. Ada aktivis pendidikan yang sangat peduli pada pengajaran nilai moral. Baginya, anak harus dibekali dengan kisah-kisah yang mencontohkan kebaikan. Di sisi lain, ada aktivis pendidikan yang merasa anak boleh dibekali dengan bacaan apa saja, yang penting anak diajak berpikir kritis sehingga bisa mengkritisi apapun yang bisa dibaca. Ada aktivis lingkungan yang tidak keberatan memperoleh pendanaan dari lembaga-lembaga internasional untuk kampanye menyelamatkan lingkungan. Di sisi lain, ada aktivis lingkungan yang lebih percaya untuk membangun kekuatan lokal dengan mengajak masyarakat hidup dari apapun yang dimilikinya, meskipun tanpa ‘bantuan luar’.

Dulu, ketika awal menjadi aktivis, dengan lugunya saya pikir semua aktivis sama saja. Yang membedakan hanya ‘fokus isu yang diperjuangkan’. Ada aktivis pendidikan, lingkungan, perempuan, kesehatan, dan banyak lagi. Tujuan yang mau dicapai sama saja. Semua ingin menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik.

Belakangan, saya baru sadar bahwa ‘dunia yang lebih baik’ bagi satu orang bisa sangat berbeda dari ‘dunia yang lebih baik’ menurut orang lain. Ada juga aktivis-aktivis yang punya gambaran serupa tentang ‘dunia yang lebih baik’. Tujuan yang mau dicapai serupa tetapi pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Misalnya, ada yang percaya pada peran negara. Sebaliknya, ada yang cenderung mengabaikan peran negara.


Suasana pertemuan peningkatan kapasitas LSM-LSM di Sumba, bulan Mei 2015, yang difasilitasi oleh KAIL bekerjasama dengan HIVOS. Beragam jenis aktivis, beragam tujuan dan cara masing-masing dalam memperjuangkan keberpihakan mereka. Sumber foto : KAIL

Menghadapi aktivis-aktivis yang berbeda tujuan, ideologi ataupun cara, bukanlah hal yang mudah. Sebagai contoh, dari dulu saya tidak bisa menerima penggusuran paksa. Ini berpengaruh pada pilihan politik saya ketika pilkada belakangan ini. Saya tidak setuju dengan calon pemimpin yang melakukan penggusuran paksa tetapi juga tidak percaya dengan calon lainnya. Saya memilih menjadi golput. Beberapa teman aktivis menuduh saya tidak berpihak pada rakyat karena tidak memilih pemimpin yang dianggap bisa membuat Jakarta lebih baik. Terlepas benar atau tidaknya, pilihan politik saya dilakukan dengan sadar. Tapi, mungkin tidak semua orang bisa mengerti.


Memilih menjadi aktivis, berarti berani untuk menghadapi perbedaan. Kita pasti akan bertemu atau berhadapan dengan orang-orang yang menentang pandangan kita, termasuk sesama aktivis. Bagaimana menghadapinya?

Pertama, berdialoglah dengan terhormat. Berdebat tentang isu yang kita pedulikan di forum diskusi itu sah-sah saja. Namun, biasakan fokus pada isu. Perkaya argumen kita dengan data dan analisis. Jangan menyerang pribadi lawan. Berdialoglah dengan terhormat. Sekalipun perdebatan akhirnya menjadi panas, namun tetap gunakan bahasa yang sopan dan tidak merendahkan lawan bicara Kedua, ada kalanya kita harus bersepakat untuk tidak bersepakat. Ketika dialog hanya menghasilkan jalan buntu, mungkin kita harus menyimpan energi kita untuk hal-hal lain yang lebih penting. Tidak semua dialog harus berakhir dengan para peserta memiliki sikap dan pandangan yang sama. Dialog sekalipun harus tetap memberi tempat pada adanya perbedaan. Pilih untuk bersepakat untuk tidak bersepakat tapi teruskan perjuangan dengan strategi berbeda.


Berjejaring antar aktivis membutuhkan dialog. Dialog memberi tempat pada keberagaman pendapat dan pikiran.
Sumber foto : KAIL

Ketiga, akui bahwa kita tidak tahu segalanya lalu belajar lagi. Tidak ada manusia yang tahu segalanya. Akui ini. Berendah hati bahwa ‘kita tidak tahu’ memungkinkan kita untuk belajar kembali. Buka lagi berbagai bacaan terkait, berdialoglah dengan orang yang sejalan maupun berseberangan dengan kita. Ujilah apa yang selama ini kita percaya. Ketika ada yang berbeda dengan kita, anggap itu kesempatan untuk memperdalam pemahaman.

Terakhir, perbedaan tidak boleh membuat kita memperlakukan orang lain semena-mena. Tetaplah baik hati. Seperti yang dikatakan oleh Dalai Lama ke-14, “Baik kepada orang yang percaya pada agama atau tidak, kepada orang yang percaya reinkarnasi atau tidak, tidak ada satupun [manusia] yang tidak menghargai kebaikan hati dan belas kasih.”


Beragam cara aktivis dapat dilakukan untuk memperjuangkan keberpihakan, salah satunya adalah melalui musik. Grup Rupa Bumi, saat memainkan musik mereka di kegiatan Ulang Tahun KAIL 2016.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...