Menarik atau tidaknya hidup berbanding lurus dengan menarik atau tidaknya pertanyaanmu
Tahun 2016 menjadi tahun istimewa dalam dunia arsitektur, dimana seorang Alejandro Aravena, berturut-turut, tampil dalam dua panggung prestisius arsitektur dunia, yaitu dengan menjadi kurator Venice Architecture Biennale 2016 dan menerima penghargaan Pritzker dalam waktu yang berdekatan. Hal ini cukup mengejutkan karena baru kali ini seorang arsitek yang mempunyai pandangan sosialis mendapat kepercayaan setinggi itu. Apalagi di tengah konteks praktik berarsitektur yang masih didominasi pengaruh neoliberalisme. Dunia arsitektur global seperti mendapat kegairahan baru dengan pertanyaan-pertanyaan kritis Araven yang mencoba “menggoyang” karakter praktik arsitektur hari ini, yang steril dan elit. Tema kuratorialnya pun cukup mengigit dengan mengambil judul, “Reporting from the front.”
Tentu, sebuah pameran tidak serta merta menjawab semua permasalahan global saat ini. Meskipun tema biennale menyerukan ajakan untuk berjejaring, pada kenyataannya jejaring justru adalah alat yang dipakai sistem neoliberalisme untuk mengakumulasi semua sumber daya ke puncak-puncak piramida. Seorang kritikus seni dari Perancis, Nicolas Bourriaud, menulis dalam bukunya Relational Aesthetics (1998) mengenai fenomena globalitas beserta eksesnya, yaitu matinya relasi-relasi sosial dalam masyarakat akibat komodifikasi. Ya, kita harus mengakui bahwa di masyarakat modern seperti sekarang pun, sekat dan kelas sosial itu masih begitu nyata. Perbincangan dan kolaborasi lintas batas masih menyisakan pertanyaan besar yang belum bisa dijawab dengan terbuka, mengenai siapakah yang diuntungkan dan siapakah yang dirugikan. Pertanyaan ini seringkali enggan dijawab karena kita sering kali terjebak pada batas, baik batas secara fisik maupun batas-batas imajiner secara sosial.
Hal ini juga terjadi di dunia arsitektur. Ketika peristiwa berarsitektur harus melibatkan komunitas, yang terjadi justru komunitas berakhir “menjadi” objek, sesuatu yang harus dibantu, masalah yang harus dipecahkan, sebuah tujuan. Komunitas jarang dilihat sebagai pelaku dari kolaborasi itu sendiri. Arsitektur di era modern hanya percaya diri ketika dia dibicarakan sebagai kerja-kerja keteknikan. Dengan kata lain arsitektur dibatasi hanya untuk arsitek. Di sini arsitektur menjadi sebuah ilmu yang sangat elit, punya bahasa yang tinggi, juga sangat otonom. Arsitektur menjadi monopoli arsitek, seakan tidak ada orang lain yang bisa mengerti dan menguasainya selain arsitek. Dan ini sebenarnya sangat aneh mengingat ilmu ini adalah sintesa dari seni dan keteknikan, yang artinya di dalam ilmu ini terkandung aspek-aspek sebagai ilmu sosial sebagaimana juga aspek-aspeknya sebagai ilmu terapan.
Di dunia arsitektur Indonesia sendiri, karakter praktik berbasis komunitas ini cukup banyak mendapat perhatian, baik dari kalangan mahasiswa dan kalangan praktisi. Arsitek dan organisasi yang memilih jalur ini juga bentuknya sangat cair dan lebur dengan organisasi kemasyarakatan. Kita bisa melihat contoh di Ciliwung Merdeka, yang lebih banyak bergiat di jalur advokasi dan politik. Juga ada Arkom Yogya yang memilih bergiat di jalur fasilitasi dan pendampingan masyarakat. Tak ketinggalan ASF-Indonesia yang masih setia bergerak di jalur arsitektural, walau karakter praktiknya sangat lentur dan mensyaratkan kemandirian dan partisipasi aktif dari komunitas yang dilayaninya.
Kegairahan seperti ini tentu mendapat respon yang beragam. Sebuah kelompok riset arsitektur mandiri, REMBUK!, pernah melakukan pemetaan terhadap jejaring praktik dengan karakter partisipatoris, salah satunya adalah praktik arsitektur yang berbasis komunitas. Dari penelitian di 3 kota, Bandung, Solo, dan Jakarta, terlihat bahwa praktik arsitektur komunitas ini lahir dengan dilatari oleh beberapa sebab, yaitu peristiwa bencana tsunami di Aceh, penggusuran yang semakin marak, dan krisis perumahan yang semakin tidak terkendali. Ketiga motif ini juga yang menjadi alasan mengapa praktik arsitektur komunitas lebih banyak ditemui di kota-kota besar di wilayah Jawa.
Dari kalangan arsitek muda, tawaran untuk terjun ke masyarakat menjadi suntikan semangat di tengah kejenuhan karakter praktik khas biro. Ada sebuah “ruang main” baru yang sangat cocok dengan darah muda mereka. Pun begitu dengan asosiasi seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) yang mulai melirik karakter praktik seperti ini sebagai sebuah industri baru, yang diperkirakan akan lebih banyak mengambil peran di dunia rancang bangun di masa depan.
Meski demikian, kekhawatiran tak urung hadir, terutama dari kalangan akademisi, yang melihat bahwa praktik ini sebagai ekses dari ilmu arsitektur yang ekspansif. Tidak adanya batas jelas mengenai “kapan arsitek masuk dan kapan arsitek berhenti” membuat semua peran seakan diambil oleh arsitek. Alih-alih berbagi tugas dan berkolaborasi, arsitek dan masyarakat menjadi satu entitas yang sama, tanpa ada keragaman keahlian yang sebenarnya disyaratkan dalam partisipasi aktif di praktik arsitektur komunitas. Konsekuensinya, semua hal yang dilakukan oleh arsitek dianggap sebagai arsitektur. Dan masyarakat yang ikut membangun juga dianggap sebagai arsitek. Etik dalam gelar “arsitek” kemudian menjadi sumir karena tidak adanya justifikasi mengenai “apakah arsitektur” dan “siapakah arsitek”.
Kendala lain yang juga mengemuka adalah kecenderungan dunia rancang bangun untuk menstandarkan praktik berarsitektur yang ada. Kecenderungan dari globalisasi memang akhirnya akan mendorong arsitektur komunitas untuk menjadi sebuah industri baru di masa depan. Ini juga terlihat dari usaha IAI yang mulai memasukkan pola dari praktik ini ke dalam materi penataran strata. Usaha ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai sebuah pembacaan yang berlebihan mengingat motif “kebangkitan” kembali praktik ini adalah sebuah kebutuhan yang sementara (kebencanaan, dan ketidakadilan ruang). Dengan memaksakannya menjadi sebuah industri, secara tidak langsung kita juga memelihara motifnya untuk terus ada demi keberlangsungan indutrinya, hal yang akhirnya menjadi sesuatu yang ironis.
Andrea Fitrianto, salah seorang arsitek yang banyak terjun bersama masyarakat, pernah mengungkapkan bahwa keragaman karakter praktik dalam arsitektur di Indonesia saat ini seharusnya dilihat sebagai perluasan “ruang main” saja, tanpa harus “menggoyang” dasar-dasar etika praktik arsitek konvensional. Ketika di masa depan, karakter praktik ini tidak relevan lagi, maka dasar-dasar etik seorang arsitek seharusnya tidak harus ikut berubah. Yang perlu diapresiasi adalah, praktik arsitektur komunitas mampu memperkaya perspektif berarsitektur, yang tadinya sangat otonom menjadi egaliter, yang tadinya sempit (sebagai ilmu membangun) menjadi luas (sebagai ruang partisipasi dalam pembangunan), dan yang paling penting, arsitektur kembali ke fitrahnya, sebagai ilmu yang mengakomodasi kebutuhan semua pihak. Arsitektur harus kembali dipandang sebagai platform yang memungkinkan orang-orang berpartisipasi dan berkolaborasi secara aktif. Arsitektur adalah alat, bukan tujuan.
Dengan kompleksitas permasalahan yang kita hadapi sekarang, dimana satu masalah berpilin erat dengan masalah lain, sulit untuk melihat masa depan yang lestari jika kita masih bergantung pada satu sosok pahlawan untuk menyelesaikan semua permasalahan kita. Kita adalah bagian dari masalah, dan dengan kesadaran ini juga kita mengakui bahwa kita adalah bagian dari solusinya. Kita semua, sebagai bagian dari komunitas.
Ironi masyarakat informasi adalah, keterhubungan tidak berbanding lurus dengan kedekatan. Peristiwa ‘terhubung satu sama lain’ bukanlah peristiwa yang didasari oleh inisiatif individunya, tapi sebagai kondisi yang tak terhindarkan. Kualitas relasi tidak semakin baik karena tidak ada tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai. Globalisasi menjadi keniscayaan dan kita semua ikut bergulir bersamanya. Banyak ahli berpendapat bahwa masa depan ada di komunitas. Komunitas bukan saja sebuah bentuk “perlawanan” terhadap sistem global. Komunitas juga adalah arena belajar nyata, dimana kita bisa terhubung langsung dengan tantangan praktis dan isu-isu lokal. Ini adalah jangkar yang membawa kita menjejak kembali ke akar-akar masalah kita, pangkal yang harus kita tilik sebelum meloncat ke pencarian solusi. Berjejaring tidak lagi harus dipandang sebagai sebuah mesin besar dimana kita semua berada di dalamnya. Berjejaring seharusnya dilihat sebagai kumpulan komunitas-komunitas berdaya yang saling menguatkan satu sama lain.
No comments:
Post a Comment