Menjelang Pemilu 2004 yang lalu, seorang staff Kail, Intan Darmawati, berkesempatan menjadi fasilitator pelatihan untuk pemilih perempuan di Makassar, Manado dan Tahuna. Berikut ini cerita lengkapnya.
Menjelang pemilu 2004 yang lalu, saya berkesempatan bergabung dalam tim kerja Panitia Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan, sebagai koordinator fasilitator. Program ini merupakan kerjasama JMP-KWI dan Bipelwan PGI, yang dilakukan dalam empat tahap, di 23 kota dan 1090 lokasi di seluruh Indonesia.
Pelatihan diawali dengan TOT (pelatihan untuk para calon fasilitator) yang diadakan di tiga kota, yaitu Jakarta, Makassar dan Denpasar. Ketiga pelatihan ini melibatkan sekitar 150 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta inilah yang akan menjadi fasilitator lokal dan panitia lokal serta sosialisator pada pelatihan-pelatihan tahap selanjutnya.
Saya sendiri berkesempatan untuk memfasilitasi di Makassar, di mana para pesertanya berasal dari daerah Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku dan Maluku Utara, serta Papua. Hanya ada satu orang peserta laki-laki di antara 49 orang peserta perempuan dari berbagai usia dan latar belakang. Keberagaman ini sungguh memperkaya dinamika proses pelatihan, terutama ketika penggalian dan pemetaan masalah serta kebutuhan. Perbedaan wawasan dan kepekaan akan persoalan gender untungnya bisa dijembatani melalui sesi ini, sehingga peta permasalahan yang muncul sungguh bisa menjadi bahan yang signifikan dan membantu dalam sesi selanjutnya, yaitu ketika mereka menyusun kriteria untuk partai politik dan calon legislatif; serta diharapkan dapat menjadi tawaran agenda untuk mereka perjuangkan.
Walaupun masalah yang muncul ada yang berbeda, tapi ada beberapa masalah, terutama yang menyangkut kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, secara spesifik muncul dan menjadi keprihatinan utama di masing-masing wilayah. Masalah-masalah di satu wilayah ternyata juga punya kaitan dengan wilayah lainnya. Misalnya masalah HIV/AIDS dan prostitusi di Papua, tidak terlepas dari permasalahan di Minahasa. Keprihatinan bersama ini pada gilirannya menggugah kesadaran dan kebutuhan akan pentingnya solidaritas dan terbentuknya jaringan kerjasama para perempuan, serta terbangunnya komunitas basis perempuan.
Selain di Makassar, saya juga memfasilitasi proses pelatihan di Manado dan Tahuna. Saya merasa pelatihan ini disambut dengan antusias oleh para peserta di ketiga kota yang saya terlibat langsung tersebut. Demikian pula dengan yang dialami kawan-kawan fasilitator mitra di 20 kota lainnya. Jadwal dan materi yang padat tidak mengendorkan semangat atau membuat mereka menyerah. Mereka tetap semangat sampai akhir sesi, dengan keinginan yang kuat untuk bisa mensosialisasikan kembali apa yang mereka peroleh ke komunitas mereka masing-masing. Memang sepulang dari pelatihan ini setiap peserta bertanggungjawab untuk mensosialisasikan materi pelatihan ini ke minimal 60 orang.
Di Tahuna, sebuah kota di Kepulauan Sangihe, para perempuan yang hampir semuanya adalah ibu-ibu, antusiasmenya tidak kalah dengan mereka yang ada di Manado dan Makassar. Walaupun pada awalnya banyak yang masih takut untuk berbicara, tapi mulai sesi pemetaan masalah, mereka mulai berani bicara dan mengemukakan pendapat.
Untuk menjamin berlangsungnya proses yang sungguh-sungguh partisipatif dan dari perspektif peserta, metodologi pelatihan menjadi sangat penting. Alur pelatihan dibuat dengan mulai dari peta masalah dan kebutuhan lokal (dan perempuan); lalu dikaitkan dengan signifikansinya dengan Pemilu. Kemudian dilanjutkan dengan sesi tentang Pemilu 2004 itu sendiri dan Kepentingan Perempuan di dalamnya. Setelah itu mereka merefleksikannya berdasarkan pertimbangan etis politis. Dari semua itu, mereka memperoleh bekal untuk membuat kriteria ideal partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg). Berdasarkan kriteria inilah mereka kemudia bersama-sama belajar menganalisis parpol dan caleg; sehingga mereka bisa menentukan pilihannya secara bebas dan kritis. Tentunya, peluang dan tantangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan membuat strategi jangka pendek maupun jangka panjang.
Pendidikan Pemilih ini dalam jangka panjang bertujuan mempersiapkan perempuan dalam pendidikan politik. Pelatihan yang mengambil tema "Suara Perempuan untuk Perubahan" ini memang ingin konsisten dengan tujuannya, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi.
Secara keseluruhan, pelatihan ini boleh dikatakan berhasil, walaupun di sana-sini ada keterbatasan dan kelemahannya. Apalagi respon yang hangat dan penuh semangat dari para peserta, terutama yang di daerah-daerah, telah menjadi pemacu semangat juga bagi para fasilitator yang telah menempuh perjalanan jauh. Semoga saja pendidikan dan penyadaran seperti ini tidak berhenti sebatas program apalagi hanya sebuah proyek saja!
(Intan)
No comments:
Post a Comment