Penulis :Nurul Azkiyah, Budi Rajab, Gaby Weiner, Budie Santi, Gaguk Margono, Gadis Arivia, Eko Bambang Subiantoro, M.B. Wijaksana
Penerbit :Yayasan Jurnal Perempuan
Tebal :171 halaman
Terbit :Mei, 2002
Pendidikan merupakan hal yang esensial dan krusial dalam hidup berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam negara yang mengakui demokrasi seperti misalnya Indonesia, di mana idealnya kesetaraan gender juga diakui secara moral dan bertanggung jawab. Namun masalahnya adalah bahwa pendidikan praksis yang selama ini berjalan pada dasarnya terbentuk atas konstruksi sosial yang sudah berakar dalam tatanan masyarakat yang bisa gender atau seksis. Padahal, suatu bangsa akan menjadi bangsa yang beradab dan berharkat apabila tolak ukurnya bahwa bangsa tersebut terdidik tanpa terkecuali., dalam hal ini perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki peluang dalam mengenyam pendidikan untuk saling bahu membahu membangun bangsa dan negara.
Dalam Jurnal Perempuan No. 23 ini membahas mengenai “Perspektif Gender dalam Pendidikan”, di mana para penulisnya memetakan pemikiran masing-masing yang sama-sama ditujukan pada focus utamanya pada masalah ketidaksetaraan kesempatan pendidikan perempuan dan laki-laki dalam berbagai pendekatan dan kasus yang berbeda.
Gadis Arivia dalam prolognya menegaskan bahwa kontribusi perempuan sangat penting dalam bidang pendidikan, mengingat bahwa dalam setiap sendi pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lainnya diperlukan partisipasi perempuan, apalagi populasi perempuan di Indonesia lebih banyak dibandingkan populasi laki-laki. Demikian halnya, Indonesia yang merupakan negara berkembang memprioritaskan pembangunan negara sebagai titik sentralnya.
Analisis data kuantitatif tahun 1980-1998 dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik oleh Nurul Azkiyah dipaparkan dalam tulisannya yang berjudul “Keterkaitan Pendidikan Formal Perempuan dan Dunia Pembangunan”. Dalam penelitiannya tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa korelasi antara pendidikan perempuan dengan pembangunan sosial menempati peringkat tertinggi, korelasi dengan pembangunan ekonomi menempati peringkat kedua, namun korelasi dengan pembangunan politik sangat kecil. Korelasi yang sangat kecil tersebut ternyata disebabkan oleh budaya patriarki yang masih kuat serta interpretasi agama yang seksis sehingga asertivitas dan progresifitas perempuan terhambat. Sehingga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah perlunya peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan dan sumber daya lainnya serta dekonstruksi interpretasi agama yang bias gender (misalnya Al-QurĂ¡n).
Membahas masalah kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam bidang-bidang tersebut di atas tidak akan lengkap tanpa kita mengingat kembali pada sejarah dari sosok pejuang wanita yang bernama R.A. Kartini. Budi Rajab, dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Sekolah dan Perubahan Kedudukan Perempuan” mengawalinya dengan mencoba flash back pada sejarah R.A. Kartini, yaitu sosok perempuan bersahaja yang pernah hidup dalam apa yang kita namakan Indonesia ini. Beliau seorang perempuan yang hidup pada zaman yang sarat akan budaya patriarki dan bergulat serta berjuang dalam memberikan penyadaran bagi kaummnya untuk eksis sebagai perempuan yang sebenarnya mampu untuk setara dengan kaum pria dalam mengenyam pendidikan, menentukan sikap, dan mengambil keputusan dalam hidup (mempunyai hak memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri). Selain, penokohan R.A. Kartini, Budipun melengkapi wawasan pembacanya dengan pemikiran dan kritikan tokoh-tokoh pendidikan lainnya, seperti Ester Boserup dan Kate Young, bahkan konsep Gramsci mengenai eksistensi ideologi patriarki karena berlakunya konsep hegemoni. Di samping itu yang cukup memberikan makna dalam proses kesadaran dengan pendekatan filsafat pendidikan, adalah Paulo Freire dengan Ivan Illich yang mengkritisi sistem pendidikan sekolah yang secara hegemonis dominatif merupakan penyelewengan yang dilakukan untuk menindas dan bahkan sebagai sarana doktrinasi propaganda ideologi untuk memperkuat kekuasan pemerintah yang bercokol.
Dalam dunia pendidikan formal, bagi kita tidak asing lagi dengan istilah kurikulum. Kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep pendidikan formal. Hal ini dikarenakan di dalam kurikulumlah materi-materi ajaran oleh para pendidik dikumpulkan, diklasifikasikan, disusun, diprioritaskan, dan disampaikan kepada murid-muridnya.
(Maria Clara Neti Veronica)
No comments:
Post a Comment