Selama ini umumnya Konsep Ibu hanya melekat pada seorang perempuan, dan dikaitkan pada fungsi-fungsi tradisionalnya serta kemampuan mempunyai anaknya. Sharil Thurer dalam bukunya: The Myths of Moherhood (1994) memaparkan bagaimana budaya manusia telah mengintervensi konsep ibu yang baik/ideal ini, serta apa dampaknya bagi perempuan. Ada yang dimaknai dan didefinisikan oleh perempuan sendiri, tapi ada juga yang didefinisikan dan dikonstruksikan oleh mereka yang bukan perempuan untuk perempuan.
Bagaimana Konsep Ibu menurut aktivis perempuan yang juga sekaligus ibu? Bagaimana dalam budaya saat ini ibu-ibu, para aktivis kita ini mendefinisikan ke-ibu-an mereka? Apa yang mereka idealkan dari konsep ini? Berikut ini rangkuman wawancara Kail dengan tujuh orang aktivis yang juga ibu dari Jaringan Mitra Perempuan.
Pratiwi: Siapa saja bisa disebut ibu, kalau dia punya rasa cinta, rasa sayang, open, punya kemampuan memelihara (roh, jiwa, badan), yang dengan sendirinya akan lembut, murah hati. Maka Keibuan dan Pengibuan tidak hanya melekat pada perempuan (secara fisik), tapi juga bisa ada di laki-laki. Kemampuan dan fungsi untuk memelihara dan merawat, yang menjadi sifat yang melekat pada ibu, bisa juga dimiliki oleh laki-laki, dimiliki oleh mereka yang tidak menikah dan tidak punya anak, tua maupun muda. Ibu yang baik adalah ibu yang mempunyai cinta, yang bisa mengekspresikan cintanya pada kehidupan nyata dengan perbuatan nyata dan menularkannya dengan memberi contoh berbuat baik pada orang sekitar (menjadi panutan) dalam menyebarkan cinta.
Lim: Yang disebut ibu tidak harus merupakan ibu biologis, dan tidak harus mencurahkan kasih sayang hanya ke anaknya sendiri (relasinya tidak monopoli ke anaknya saja); dan tidak harus hadir dalam sebuah "keluarga". Tapi lebih merupakan relasi kasih sayang dan saling mengisi. Ini bisa dilakukan oleh baik oleh perempuan maupun laki-laki, melampaui batas usia, dan tidak harus sudah pernah menikah. Panggilan "ibu" juga bisa dilekatkan pada orang kita kita hormati dan karenanya kita rasa layak dipanggil sebagai ibu. Keberhasilan menjadi seorang ibu adalah kalau berhasil mengantar anak kita untuk menjadi orang, yaitu dari kualitas manusianya.
Yati: seorang ibu bertanggung jawab pada keluarganya, yang besarnya sama dengan suaminya. Yang kedua ia sebagai warga negara, menyumbangkan apa yang ia miliki demi kesejahteraan negara, masyarakat dan lingkungan sekitar di mana ia berada. Konsep ke-ibu-an lebih merupakan sesuatu yang menciptakan suatu keadaan (fisik dan non fisik) yang lebih indah, lebih sejahtera, lebih harmonis. Ciri ini tidak hanya melekat pada perempuan, tapi juga pada laki-laki. Dalam konteks keluarga, ibu tidak harus punya anak. Ia bisa menikmati diri dan memiliki dirinya sediri, dengan tetap memikirikan kepentingan orang lain. Seorang ibu tetap harus peduli dengan lingkungannya, karena ia harus menciptakan kesejahteraan, keharmonisan dan membuat orang lain bahagia dan tenang; tanpa menegasi pribadiya sendiri. Tetap harus ada waktu untuk dirinya sendiri.
Wati: Ibu adalah orang yang mengayomi, seorang perempuan yang mengasuh. Seseorang juga bisa dipanggil ibu karena punya karisma tertentu, yang dikagumi karena kepakarannya atau karena pengetahuannya. Konsep ibu pertama-tama dilihat lebih ke arah sifat, yang sangat erat berhubungan dengan biologisnya (perempuan), karena dia sudah melahirkan anak. Tapi dalam perkembangannya, ke-ibu-an lebih merupakan sifat -sifat yang dari segi afektif dan kognitifnya; meskipun Ia tidak menikah dan tidak punya anak. Sebagai sebuah sebutan, "ibu" melekat pada jenis kelamin perempuan, walaupun sebagai sebuah sifat dan ciri-ciri, bisa juga dimiliki dan dipelajari oleh laki-laki.
Menurut Yani, istilah ibu itu melekat pada perempuan, yang punya anak (baik anak kandung maupun bukan) dan menjalankan fungsinya sebagai ibu. Ia mengandung, melahirkan, merawat anak dan mendampingi anak. Fungsi keibuan ini sebetulnya bukan hanya dijalankan oleh perempuan (ibu), tapi juga oleh laki-laki (bapak). Yang ditekankan di sini adalah funsi nurturing (merawat, mencintai, mengasihi, membimbing, dsb) yang dijalankan dan ikatan emosianal yang dibangun dengan orang yang di-nurture itu. Ibu yang ideal adalah ibu yang sayang dan mencintai anaknya sepenuh hati serta mengabdikan dirinya pada anak dan keluarganya. Di sini dituntut pengorbanan, tapi dia tetap harus punya kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri dan mengembangkan dirinya sendiri serta mengaktualisasikan diri. Sebisa mungkin ia proporsional menjalankan fungsinya sebagai ibu dari anaknya dan fungsinya di tempat lain. Proporsional di sini berarti seimbang, di mana ukurannya bisa berbeda antara ibu yang satu dengan ibu yang lainnya.
Ambar mendefinisikan seorang ibu itu sebagai orang yang melahirkan anak, menyusui, dan sebagai efek psikologisnya memiliki kepedulian terhadap anak. Dia menambahkan juga bahwa sifat caring dan kepedulian serta peka terhadap orang lain itu juga bisa dilatih, sehingga bisa juga dimiliki oleh laki-laki. Si ibu itu menjadi satu-satunya tumpuan seseorang (anak) dan menjadi tempat mengadu. Walaupun ibu itu juga memiliki dirinya sendiri (bukan hanya milik anak dan suaminya). Ibu yang ideal adalah yang bisa bebas mengaktualisasikan diri, dan mengembangkan potensinya; sekaligus bisa menempatkan peran-perannya sebagai identitas diri. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dia bahwa anak dan suaminya tidak pernah menghalangi bagian dirinya yang lain, yang tidak sebagai ibu dan istri, tapi sebagai seorang individu, untuk bisa menggunakan kebebasannya. Keberhasilan seorang ibu bagi Ambar adalah kalau ia dicintai dan mencintai anak-anaknya.
Sri: Ibu adalah seorang istri yang punya suami, punya pendamping, dan mungkin punya anak atau tidak. Dia melengkapi suaminya, saling memberi dan bersama-sama bertanggungjawab untuk kehidupan keluarga. Ibu juga harus bisa menjadi teladan bagi anaknya, menjadi panutan, mandiri dan pandai mengendalikan ekonomi, serta bisa mengambil sikap. Panggilan "ibu" juga bisa diberikan bagi perempuan yang tidak menikah, sebagai penghormatan karena ia mempunyai posisi atau jabatan, atau karena usianya. Ibu yang sukses adalah ibu yang bisa menghantarkan anak-anaknya menyelesaikan tugasnya, menjadi anak yang punya kepribadian yang baik, antar anak bisa hidup rukun dan cara hidupnya baik.
Ketujuh aktivis perempuan ini menginterpretasikan dan mendekonstruksi konsep dan simbol “Ibu”. Menurut mereka yang kebetulan memiliki anak, pengalaman keibuan yang paling berkesan dan penting adalah relasinya dengan anak. Tapi pemaknaan terhadap konsep ini serta relasinya dengan suami dan anak, dipahami secara lebih luas dan inklusif. Hampir semua berpendapat bahwa sifat-sifat keibuan ini tidak hanya dan tidak otomatis melekat pada perempuan secara biologis, tapi juga bisa dipelajari dan melekat pada laki-laki. Pemaknaan yang paling menonjol dari fungsi pengibuan ini adalah Cinta Kasih pada kehidupan, yang mau tidak mau berkaitan dengan pemeliharaan bagi keberlangsungan sang kehidupan itu sendiri.
Keberhasilan ataupun konsep ideal tetang ibu ini memang tidak mungkin diukur secara kuantitatif. Bahkan beberapa dari mereka sepakat untuk tidak membuat definisi dan kriterianya, karena setiap orang punya ukurannya sendiri-sendiri. Ukuran itu tidak bisa dipaksakan pada orang lain, apalagi dipaksakan dari luar diri si ibu itu sendiri. Gambaran ibu yang ideal itu sendiri berkembang dan mengalami perubahan dari masa ke masa.
Tidak ada yang dapat menilai keidealan seorang ibu. Semua akan dimaknai ulang sesuai dengan pengalaman eksklusif masing-masing.
Wajah keibuan akan terlihat yang disebut dengan inner beauty bagi seorang wanita yang memancarkan batin seoran wanita
ReplyDelete