[MASALAH KITA] Pergulatan dan Dialektika Aktivis Perempuan

Dengan makin kuatnya tuntutan arus demokrasi, dibarengi krisis yang melanda negeri ini, yang makin diperparah dengan tanggapan pihak penguasa lewat rekayasa dan teror kekerasan; kesadaran dan gerakan masa rakyat yang selama ini mengalami ketidakadilan dan ketertindasan menjadi makin terlihat. Termasuk para ibu yang tergabung dalam SIP (Suara Ibu Peduli) mulai memasuki kancah publik dengan memakai isu domestik untuk memperjuangkan keprihatinan mereka. Isu SARA yang dipakai untuk menghidupkan kerusuhan di berbagai wilayah di negeri ini, yang berpuncak pada tragedi Mei 1998 makin memperkuat solidaritas para perempuan dan juga laki-laki untuk bergerak. Aktivis-aktivis muda dan tua bangkit kembali, bersama-sama bergerak menantang teror, rekayasa dan kekerasan ini. Realita ketidakadilan sosial yang dialami mulai dikaitkan dan dimintakan pertanggungjawaban lewat ideologi negara dan agama serta budaya.

Kail berkesempatan mewawancarai 7 orang ibu yang aktif dalam JMP (Jaringan Mitra Perempuan) tentang pergulatan dan tanggapan mereka dalam menyiasati konstruksi sosial (melalui keluarga, budaya dan negara) mengenai Ke"ibu"an mereka, khususnya dalam menjalankan peran mereka sebagai aktivis.

Konstruksi sosial mengenai “Ibu”
Dari ketujuh responden, konstruksi sosial keluarga-lah yang pertama-tama mereka alami dan paling berpengaruh bagi pembentukan gender mereka, yang tercerap dalam wacana, pikiran, pemahaman, sikap dan tindakan mereka baik secara pribadi maupun sosial. Dari keluargalah (terutama dari ibu dan relasinya dengan ayah dan kakek mereka), mereka belajar untuk menjadi seorang perempuan, dan kelak menjadi seorang istri dan ibu. Ajaran, larangan dan nilai-nilai yang disosialisasikan kadangkala tidak eksplisit, tapi menjadi contoh hidup yang harus mereka teladani. Dari ketujuh responden ini kebetulan lima dari mereka kebetulan berasal dari Jawa Tengah (orang Jawa), sehingga budaya Jawa yang patriarkhis mendominasi skenario hidup mereka. Dua orang lainnya yang beretnis Tionghoa juga mengungkapkan bagaimana tradisi menjadi unsur yang dominan dalam konstruksi sosial mereka.


Sumber gambar: Kompas, 1 Oktober 2003, halaman 2.

Pada konteks Indonesia, negara mengambil alih pendefinisian makna warga negara perempuannya. Pada masa Orba, perempuan diideologikan dengan bahasa yang mempesona dan diberi peranan mendukung dalam (proyek) pembangunan. Pengideologian ini berhasil membentuk identitas perempuan dalam berbagai bentuk pemuliaan semu dengan ciri utamanya adalah kepatuhan. Konstruksi keibuan ini merupakan perpaduan konsep budaya Jawa dan Belanda (Sears, Laurie. Introduction: Fragile Identities, dalam Sears, L (Ed). Fantasizing The Feminine in Indonesia. London: Duke University Press. 1996. Hal 33). Selama ini negara cenderung memanipulasi konsep perempuan sebagai "istri", " ibu", atau keduanya, tergantung kebutuhan. Misalnya melalui Dharma Wanita, peran perempuan jelas-jelas secara struktural dianggap sebagai pendukung karir suami, seolah-olah perempuan tidak memiliki pekerjaan dan karir sendiri. Demikian pula mobilisasi massa perempuan untuk mensukseskan program pembangunan, baik secara sukarela maupun paksaan, melalui program PKK, Posyandu dan Keluarga Berencana.
Konstruksi sosial tentang perempuan, khususnya sebagai istri dan ibu ini disadari betul oleh para aktivis ini, dan banyak dari mereka yang menginternalisasinya selama ini. Misalnya, Bu Pratiwi harus siap dengan resiko dicerca atas pemberontakannya sebagai aktivis sebagai konsekuensi dari menjadi bagian dari keluarga yang termasuk birokrat.

Pergulatan dan Dialektikanya
Konstruksi sosial yang ditanamkan ternyata membawa dampak yang berbeda dan ditanggapi secara berbeda pada masing-masing individunya. Beberapa dari mereka bahkan seringkali dihinggapi rasa bersalah dan merasa bukan perempuan, bahkan menjadi "sakit jiwa" karena konsep ke-ibu-an yang dikonstruksikan bagi mereka.

Bagi Bu Pratiwi misalnya, konstruksi ini membuat dia frustasi dan sempat merasa bukan perempuan (sempurna) karena tidak bisa mengurus rumah dan tidak bisa masak; karena konsep perempuan ideal yang selama ini diajarkan adalah bahwa perempuan mesti bisa mengurus urusan rumah, memasak, mencuci dan menjahit. Perasaan ini makin kuat ketika belum kunjung punya anak. Tapi setelah ada perubahan pandangan, ternyata hidup menjadi perempuan dirasakan lebih nyaman, tidak ada keharusan yang ditentukan dari luar, sehingga tidak menjadi kaku. Proses perubahan paradigma itu membuat ia lebih menerima orang apa adanya. Perubahan ini diperoleh dari kecintaannya pada buku, lewat pergaulan dengan teman-teman aktivis perempuan, lewat pergaulan dengan JMP dan dengan mengobrol. Suami Bu Pratiwi yang orang Kalimantan, sedikit banyak juga berperan dalam proses penerimaan diri dan perubahan paradigma ini. Budaya dan pribadi sang suami yang tidak mengambil peran stereotipe dan kaku tentang seorang suami dan bapak, walaupun dengan kekeraskepalaannya sendiri, telah membangun sebuah dialektika tersendiri bagi kehidupan keluarga mereka sebagai sesama aktivis.
Bu Lim, sebaliknya, dengan suami yang sangat patriarkhis, mengalami pergulatan yang lebih berat untuk berdialektika dengan pemahaman barunya tentang relasi perempuan dan laki-laki. Aktivitas dan perjuangannya sebagai aktivis perempuan tidak berarti dia bisa mengubah atau mempengaruhi suaminya semudah itu. Perlu ada strategi dan negosiasi tertentu sehingga sedikit demi sedikit mereka berproses bersama menuju relasi yang lebih setara. Pengakuan akan eksistensi diri dan perjuangannya hanya bisa dicapai dengan strategi yang tidak frontal, tidak dengan marah-marah, tapi justru dengan kepekaan dan pengenalan diri pasangannya, fleksibilitas dan kelincahan berbahasa.
Strategi dan negosiasi yang cerdik ini juga diterapkan oleh Yani dalam menghadapi suaminya yang patriarkhis dan cenderung tidak setia. Hanya dalam hal pendidikan anak, mereka bisa mencapai kesepakatan, dan hal inilah yang menjadi titik berangkat bagi Yani untuk mempertahankan keluarganya. Pengalamannya hidup dalam konstruksi keluarga Jawa yang patriarkhis dan feodal, yang ia internalisasi pada paruh waktu kehidupan rumah tangganya, ternyata membuat ia merasa menjadi "sakit jiwa", terguncang dan capek sekali. Ia malah menjadikan dirinya orang lain, menjadi terasing dari dirinya sendiri. Kesempurnaan peran istri yang ia jalankan dari idealisasi konsep istri dan ibu yang dikonstruksikan budaya, keluarga dan negara tidak membuat ia terlepas dari korban ketidakadilan dari suaminya dan keluarganya. Pengalaman menyakitkan ini untungnya tidak ia tanggapi dengan berputus asa dan pasrah saja. Didukung oleh rekan-rekan aktivisnya, ibunya dan terutama keyakinan dan kemauan dirinya, Yani bisa mengubah pengalaman ketertindasannya menjadi momen untuk memberdayakan kembali dirinya. Proses jatuh bangun yang ia alami tidak menyurutkan langkahnya untuk terus bertahan dan membantu orang lain untuk berjuang juga. Kunci dari proses pendewasaannya adalah kerelaan dan kerendahan hati untuk memberi kesempatan bagi dirinya dan orang lain untuk mendapatkan yang terbaik, kerendahan hati untuk belajar dan tetap memiliki harapan. Semuanya berasal dari kekuatan Iman dan Kasih.
Lain lagi dengan Bu Wati, dialektika relasinya dengan suami dan anak, serta dengan keluarga kedua belah pihak terjadi lewat percakapan yang muncul karena kebutuhan praktis. Misalnya masalah pembagian peran dalam rumah tangga serta tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Beruntung memang, suaminya relatif mudah diajak berkompromi dan berproses bersama, walaupun proses ini tidak terlepas dari konflik dan tegangan. Masalah aktivitas di luar rumahnya yang menuntut mobilitas tinggi telah dinegosiasikan jauh sebelumnya dengan suaminya, sehingga tidak lagi menjadi potensi konflik di kemudian hari.
Perasaan bersalah seringkali kali menjadi bagian dari diri Bu Ambar ketika konstruksi itu ia internalisasi. Otonomi diri dianggap identitik dengan egoisme, dan itu berlawanan dengan kasih - yang seharusnya dimiliki oleh seorang ibu. Tuntutan-tuntutan yang diberikan pada seorang ibu dirasakan olehnya terlalu berat dan membebani, merasa terbelenggu, tertekan dan merasa "diperbudak". Kesadaran akan ketidakadilan gender akibat konstruksi budaya khususnya, mulai dirasakan lewat bacaan dan cerita tentang perempuan Jawa; terutama juga lewat pengalaman konkretnya. Selanjutnya kesadaran itu mulai disosialisasikan lewat tulisan-tulisan dan lewat aktivitasnya di JMP.
Perasaan bersalah juga hinggap di hati Bu Sri, karena ia tidak bisa memasak. Tapi ini harus ia bayar dengan mengkompensasikan dengan kesempurnaan pekerjaan rumah tangga lainnya dan dengan memberikan pekerjaan memasak ini pada pembantunya. Ketakutan kalau-kalau ia tidak bisa membahagiakan suaminya serta ketakutan untuk menentukan, serta keharusan untuk berbasa-basi makin dirasakan melelahkan. Keterlibatannya di JMP telah membawa perubahan, termasuk cara berelasi dengan suaminya. Ia menjadi lebih berani untuk menentukan sikap, lebih terbuka dan bisa mengambil posisi sebagai pribadi. Perubahan ini dirasakan lebih membebaskan, tidak lagi tertekan; bisa mendengarkan orang lain dan menghargai mereka. Selain itu juga belajar menerima perbedaan dan tidak memaksakan kehendak, lebih inklusif dan tidak feodal. Yang penting bagaimana aktivitas di luar rumah tidak membuat keadaan di rumah menjadi berkonflik.

Bagi para ibu yang aktivis ini, perjuangan visi mereka sebagai aktivis tidak terlepas dari proses dialektika mereka dalam rumah tangga mereka sendiri. Keberhasilan mempengaruhi dan membawa perubahan yang lebih baik dalam relasi mereka sendiri, tidak berarti bahwa sekarang giliran mereka untuk mendominasi atau sewenang-wenang, tapi justru lebih pada penghormatan, kesetaraan dan penerimaan serta keterbukaan akan orang lain.

Akhir Kata….
Pilihan menjadi seorang aktivis tidaklah mudah. Dilahirkan menjadi seorang perempuan dalam budaya dan sistem yang patriarkhis juga tidak mudah. Maka, menjadi perempuan sekaligus aktivis menjadi kesulitan dan tantangan tersendiri, apalagi jika ia memperjuangan keadilan dan perubahan bagi ketertindasan kaumnya sendiri. Konflik dan pergulatan yang dihadapi membutuhkan proses panjang dan kerjasama dari pasangannya, dari masyarakat dan perlu dukungan dari institusi negara, budaya dan juga agama. Siasat dan strategi yang tidak konfrontatif, kreatif dan fleksibel dibutuhkan dalam usahanya untuk mendekonstruksi simbol dan pemaknaan konsep yang terlanjur dianggap kodrat selama ini.

Upaya transformasi dan perubahan paradigma ini hanya mungkin ditempuh dengan berjejaring dan membangun solidaritas bersama dalam gerakan bersama: perempuan dan laki-laki. Semuanya mungkin untuk dilaksanakan dan bertahan, karena ada roh yang menggerakkan mereka. Seperti yang dikemukakan Pratiwi, bahwa ia melakukan semuanya ini karena dorongan hati, serta kepedulian terhadap manusia. Kepedulian ini juga yang menggerakkan Wati, karena ia ingin lebih banyak orang yang punya kepedulian terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, sehingga tercipta dunia baru yang lebih adil. Visi ini diteguhkan oleh semangat dan ajaran yang ia yakini, yaitu tentang Kasih dan pengampunan.

Semoga saja semangat kasih yang demikian kuat didengungkan dan dimaknai dalam rekonstruksi konsep ke-ibu-an para aktivis ini juga bergema dan menyemangati kita dan para aktivis lainnya, tidak hanya terbatas pada relasi antar perempuan dan laki-laki, tapi juga relasi kita dengan alam lingkungan kita!

(Intan Darmawati)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...