[JALAN-JALAN] NUN DI BALIK JALINAN KABUT DAN LIRANG (CATATAN KECIL JELAJAH GEOTREK MATABUMI GUNUNG PATUHA #2)

Oleh : Ayu Wulandari


Jelajah Geotrek Matabumi Gunung Patuha (Dokumentasi Pribadi)
Pagi itu menjadi pagi ke sekian kalinya matahari banyak bersembunyi di balik awan-awan mendung. Terbuka lembar Oktober tahun 2016 di almanak, tertunjuk angka 22, itulah harinya Keluarga Matabumi kembali mengadakan Jelajah Geotrek – serangkaian singkat perjalanan belajar; perjalanan menyapa berbagai gejala kebumian sepaket dengan keragaman hayati, sejarah, juga budaya – ketiga tempat yang terbilang berdekatan beberapa puluh kilometer arah barat daya meninggalkan Bandung. Bahwa suasana akan sekelabu langit, tampaknya tak menjadi kecemasan. Sebab benih keceriaan telah dengan sendirinya bertaburan di pelataran Museum Geologi seiring ramai terulur senyum sapa berikut hangat tangan-tangan yang kembali berjabat erat.
#  # #
Sebelum keindahannya digaungkan oleh Franz Wilhem Junghuhn pada tahun 1837, Gunung Patuha telah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat sekitarnya sebagai tempat yang disucikan. Tidak banyak orang bersedia menuai keberaniannya dengan sembarang melintas, utamanya di sepanjang kawasan kawah utama berona putih cerlang mempesona dan rawa yang berada di  sebelah utara sebab kuat dugaan beracun akibat tingginya kandungan belerang.
Kawah Putih Gunung Patuha (Dokumentasi Pribadi)

Meski demikian, potensi belerang di kawasan tersebut pun tercatat pernah membuat berdirinya dua Pabrik Belerang di dua masa pemerintahan, Belanda dan Jepang. Pada kisaran abad ke 15, seorang rahib pengelana yang dikenal dengan nama Bujangga Manik bahkan menggenapkan perjalanan ziarahnya ke sepanjang Pulau Jawa dan Bali di mandala yang dalam catatan lontarnya disebut sebagai Bukit Patuha. Lalu lebih dari seabad sejak kunjungan Junghuhn, tepatnya pada tahun 1991, Perhutani (Perusahaan Hutan Negara Indonesia) Unit III Jawa Barat dan Banten mengembangkan kawasan kawah yang dikeramatkan itu sebagai Kawasan Wisata Kawah Putih Ciwidey.

Di sanalah kegiatan belajar Keluarga Matabumi bermula dengan interpretasi yang digulirkan bergantian oleh Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar selaku dua interpreter tetap.

Gerak mencapai Kawah Putih pada dasarnya tak membutuhkan tenaga ekstra. Bagi anggota Keluarga Matabumi telah tersedia Ontang-anting – kendaraan roda empat yang didesain khusus agar para pengunjung tak perlu membawa sendiri kendaraannya mendekat ke arah kawah – di pelataran parkir utama kawasan yang letaknya tak jauh dari sisi Jalan Raya Ciwidey – Patengan. Namun, selayaknya masa akhir pekan, baik itu di saat hendak menuju kawah atau ketika berada di kawah, semua harus kenal berbagi dengan lebih dari puluhan pengunjung lain dari macam-macam daerah yang hendak menikmati keindahan Kawah Putih dalam beragam cara.  Walau pada akhirnya, kehadiran Keluarga Matabumi dan gelaran Kelas Kebumian Terbuka yang ada malah lebih mampu menarik perhatian.

Jelajah Geotrek Matabumi Gunung Patuha (Dokumentasi Pribadi)

Ada berkali-kali “ooo..” panjang terdengar dari luar lingkaran peserta Jelajah Geotrek Patuha #2 ketika cerita tentang Gunung Patuha (merupakan Gunung api Strato Tipe B, terakhir kali meletus di kisaran 1600) dan proses terbentuknya Kawah Putih mengudara. Ada sejumlah langkah dan kegiatan swafoto terhenti ketika kisah berjatuhannya burung-burung yang melintasi kawah yang berada di ketinggian 2.194 m.dpl itu disampaikan, lengkap dengan faktor apa saja yang menyebabkan warna-warninya mudah memikat mata, tanpa terkecuali apa yang menjadi alasan sehingga para pengunjungnya diwajibkan menggunakan masker dan tak boleh berlama-lama berada di sana. Ada sejumlah tangan yang ikut menjumput satu-dua lembar daun Cantigi berwarna merah agar merasakan sendiri sesepat apa daun tumbuhan yang selama beberapa saat menjadi perbincangan karena dinyatakan dapat memberikan efek awet muda. Tak sedikit pula pengunjung yang ikut mengambil beberapa bongkah batuan kecil berwarna putih dengan permukaan agak kasar (dikenal dengan nama tuf, memiliki sifat menyerap air) yang mampu memberi efek terisap jika ditempelkan di ujung lidah untuk menyamakan persepsi.
Kawah Rengganis (Dokumentasi Pribadi)

Hal itu secara gamblang memberikan gambaran nyata betapa kian tak sedikitnya orang-orang bepergian ingin pulang dengan membawa pengetahuan, bukan sekadar rasa senang dan foto-foto yang mengundang kekaguman. Bahkan di balik tebal jalinan kabut dan lirang yang tak henti saling berkejaran.

Lepas tengah hari, seusai makan siang, Keluarga Matabumi kembali bergerak sekitar 14 kilometer ke arah barat – barat daya Kawah Putih. Tujuan berikutnya berada di kaki Gunung Patuha dan masih kawah bentuknya: Kawah Cibuni yang kemudian dipopulerkan dengan nama Kawah Rengganis – yang membangkitkan ingatan akan Pemandian Air-panas Alami di Negeri Sakura.


Kawah Rengganis (Dokumentasi Pribadi)

Tak ada warna-warni mencolok di persinggahan kedua. Namun tampak lebih banyak aktivitas yang dapat dilakukan bersama di kawasan wisata yang terbuka selama 24 jam ini disebabkan lebih rendahnya kandungan belerang dan tingkat keasaman air di sekitarnya. Di beberapa sudut terlihat ada pengunjung yang tengah berendam dan membiarkan tubuhnya menerima curahan air hangat di pancuran-pancuran yang disediakan. 
Di sudut lain terlihat ada pengunjung yang menampung air di pertemuan aliran panas dan dingin untuk dibawa pulang. Sayangnya pada hari itu tak tampak ada yang mencerap khasiat lumpur hitam dengan berendam dalam kolam lumpur atau sebatas memoles wajah dengan materi masker alami tersebut sembari berharap kulit menjadi kencang serta mulus sesudahnya. Keluarga Matabumi menempati satu sudut yang cukup lapang dan tak banyak terpapar asap lirang (welirang, belerang) untuk kembali menyimak pemaparan muasal terbentuknya Kawah Rengganis juga gambaran besar tentang pemanfaatan potensi panas bumi yang dapat digunakan seluas-luasnya bagi masyarakat apabila dikelola dengan tepat. Perhatian tak banyak terpecah sebab pengunjung kawasan wisata yang kini dikelola Agrowisata Rancabali itu tak seramai Kawah Putih adanya.

Sebagai penutup, seluruh rombongan Jelajah Geotrek Patuha #2 berpindah ke Situ Patengan yang berjarak sekitar 15 menit berkendara ke arah barat – baratdaya meninggalkan Rengganis, ikut meriuhkan suasana di Pinisi Resto yang baru mulai beroperasi sejak pertengahan 2016. Satu sama lain terlihat bergantian saling memotretkan karena nyaris tak ada yang hendak melewatkan kesempatan berfoto bersama ataupun sendirian di atas Kapal Layar Kayu berlatar gagahnya Patuha menjulang di timurlaut kendati harus rela turut antrian, membaur dengan tamu-tamu lainnya.

Pinisi Resto (Dokumentasi Pribadi)


Angin dingin di petang berkabut 22 Oktober itu sepertinya gagal menghilangkan kehangatan yang  tercipta ketika setiap anggota Keluarga Matabumi berusaha mengekalkan kesan akan perjalanan belajar yang baru saja usai dilangsungkan dengan cara kesukaan masing-masing. Tatkala sesi bertukar tanya-jawab usai dan hadiah-hadiah menarik dibagikan, selepas doa bersama dilangitkan seiring kabut yang semakin menebal, dari dua peserta termuda – Raihan dan Farhan – dengan ringan segera lahir pertanyaan ditujukan pada Pak Bachtiar, “Terus nanti kita geotrek-nya ke mana lagi, Aki? Jadi naik kapal betulannya? Lihat batu-batu yang lebih besar?”

Kian gamblang sudah kenyataan terpapar, betapa perjalanan-perjalanan belajar yang menyenangkan dan sarat tulus hangat persahabatan bukan mustahil mudah dirindukan. Bahkan selepas meninggalkan tebal jalinan kabut dan lirang yang masih saja terus berkejaran.
#  # #

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...