Oleh : Fictor Ferdinand
Memasuki Kampung Sepat sebenarnya tak jauh beda dengan memasuki kampung lain di sekitaran Surabaya. Di akhir pekan saat saya berkunjung, orkes dangdut lokal sedang menggelar latihan ditonton puluhan tetangga. Request lagu dangdut, nyanyi dan tertawa bersama. Namun di balik kegembiraan itu, ada kesiapsiagaan warga. Siap siaga bila suatu saat perusahaan pengembang perumahan datang mengurug Waduk Sepat, icon yang menjadi asal nama Kampung Sepat.
Beberapa bulan sebelum kedatangan saya, tahun 2015 lalu, krisis di Waduk Sepat mencapai puncaknya. Petugas keamanan mendampingi pekerja dari perusahaan pengembang mendirikan pagar beton yang membatasi Kampung Sepat dengan waduknya. Warga yang bertahan dan menolak pendirian tembok, ditangkap. Tak terkecuali ibu-ibu.
Tak terbilang berapa banyak demonstrasi digelar warga sebelum kejadian pendirian tembok itu. Bahkan warga mengajukan tuntutan pada Pemerintah Kota Surabaya. Intinya, mereka menolak pengalihfungsian Waduk Sepat menjadi apartemen. Mereka merasa pengalihfungsian itu tindakan sewenang-wenang pemerintah, dan pemerintah telah melakukan kebohongan dengan menuliskan di atas kertas status lahan sebagai tanah tegalan (tanah yang kering)
Gambar: Pendirian tembok pembatas, dan warga yang menolak (sumber: surabaya.tribunnews.com) |
Status lahan di Waduk Sepat itu di atas kertas memang milik Pemerintah Kota Surabaya, yang ditukar-guling dengan tanah milik sebuah perusahaan pengembang di Kota Surabaya. Bagi warga, proses tukar guling dan pemindahan kepemilikan itu tak punya makna nyata. Sejak turun temurun, Waduk Sepat sudah menopang kehidupan warga di Kampung Sepat. Namun, satu demi satu fungsi penopang itu hilang. Disengaja atau tidak, proses penghilangan itu tidak disadari warga sampai saat mereka tahu bahwa Waduk itu akan diurug dan dijadikan apartemen.
Bagaimana proses penghilangan makna itu yang bagi saya menarik untuk dikupas. Karena prosesnya tidak disadari dan wajar, sewajarnya proses pembangunan dan pengembangan daerah di tempat lain, bila dilihat dari kacamata pembangunan-seperti-biasanya (konvensional).
------***-----
Wilayah Surabaya Utara, dahulu kala, adalah kawasan rawa tempat air parkir sebelum masuk ke sungai. Beberapa kemudian beralih fungsi menjadi lahan persawahan dengan waduk alami dan buatan untuk menampung air dan mengairi persawahan itu. Salah satu kawasan itu adalah Waduk Sepat di daerah Wiyung, Surabaya Utara.
Gambar: Lokasi Waduk Sakti Sepat (sumber: maps.google.com) |
Tak ada yang tahu, kapan Waduk Sepat muncul. Yang jelas, sejak Pak Bani (saat ini 66 tahun) masih kecil, kakeknya bilang, saat sang kakek lahir waduk itu sudah ada. Mungkin buatan, mungkin juga bukan. Yang jelas Waduk Sepat telah memberi banyak pada warga Kampung Sepat.
Waduk itu pernah menjadi sumber air untuk sawah-sawah warga Kampung Sepat. Juga menjadi sumber air minum, mandi dan mencuci warga. Kerbau-kerbau juga dimandikan di waduk tersebut setelah lelah membajak sawah.
Pada tahun 80-an, saat status Kampung Sepat berubah dari Desa Sepat menjadi Kelurahan Sepat Lidah Kulon, banyak hal yang kemudian terjadi. Tak lama setelah peralihan status tersebut, tanah-tanah desa yang sejatinya adalah milik bersama warga Sepat (tanah bengkok) dialihkan kepemilikannya dari tanah desa menjadi Tanah Negara di bawah pemerintahan Kota Surabaya. Sang Mantri Air (petugas yang ditugasi mengawasi pengairan sawah di kampung oleh komunitas), diambil alih oleh Kelurahan, diangkat menjadi pegawai kelurahan.
Wilayah persawahan di sebelah selatan Kelurahan Sepat juga satu demi satu beralih kepemilikan. Perlahan, waduk dan semua perangkatnya (pintu dan saluran irigasi) tak lagi berfungsi sebagai pengairan. Beberapa pintu air, masih ada sampai sekarang di antara perumahan warga, menandakan fungsinya dahulu. Sampai saat ini, meskipun tak lagi banyak sawah yang diairinya, Waduk Sepat masih berfungsi sebagai penahan air hujan agar tak membanjiri Kampung Sepat, karena posisinya yang memang lebih tinggi dari kampung.
Saat orang menjual sawah-sawahnya, kerbau-kerbau yang juga biasa mandi di Waduk Sepat satu persatu kehilangan pekerjaannya. Si empunya kerbau, pun berganti pekerjaan: dari petani ke tukang bangunan.
Tak lama terdengar berita tentang lahan-lahan sebelah selatan kampung yang akan dibangun menjadi perumahan-perumahan. Tukang bangunan di Kampung Sepat memandang masa depan cerah. Meskipun mereka mesti bergantung dari proyek ke proyek.
Dekade 90-an, air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya mengaliri Kampung Sepat. Warga senang, karena tak perlu lagi mengantri di sumur dekat Waduk Sepat untuk mengambil air. Dulu, antrian ember di dekat sumur bisa panjang sekali. Apalagi di musim kemarau. PDAM membuat Waduk Sepat perlahan mulai kehilangan makna lain kehadirannya.
Dahulu, warga bergiliran memelihara waduk, membersihkankan dan menjaga kedalaman waduk. Setiap orang yang punya sawah, mendapatkan bagian dua meter persegi dari waduk. Anak-anak muda yang tak punya garapan, membersihkan satu meter persegi. Tradisi ini disebut gugur gunung. Waduk itu juga dipakai untuk memelihara ikan bersama. Sebelum panen, warga melarungkan sesaji tanda terimakasih untuk berkah Yang Maha Kuasa, dalam bentuk ikan yang mereka panen. Hasil panen dibagi untuk penduduk yang tak berpunya dan anak-anak yatim. Tahun 2000-an, warga membuka usaha wisata kolam pancing yang hasilnya masuk untuk kas desa, yang lagi-lagi sebagian diberikan untuk warga yang kurang mampu dan anak-anak yatim.
Tradisi ini masih bertahan hingga sebelum kabar tiba: Waduk Sepat diambil alih oleh perusahaan pengembang untuk dijadikan perumahan mewah. Statusnya sebagai tanah negara, membuat Pemerintah Kota Surabaya merasa punya kewenangan untuk menukar-guling lahan dengan perusahaan. Bahkan deskripsi lahan, yang jelas-jelas waduk hingga saat ini, berubah menjadi tanah tegalan di atas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota Surabaya.
-----
Kisah Waduk Sepat menggambarkan kegagalan proses perencanaan pemerintah. Perencanaan wilayah mestinya mengangkat status lahan dari fungsi dan penggunaan lahan, atau minimal menggambarkan pemanfaatan riil dari setiap petak lahan. Sesederhana karena kita tidak sedang merencana di ruang hampa. Ada manusia dan seluruh kisah hidupnya, jejalinan hubungan sosial dan hubungan dengan alam yang rumit. Bahkan berusia lebih dari satu generasi. Dimanakah, di kepuluauan ini, lahan kosong yang tanpa jalinan hubungan dengan manusia di sekitarnya?
Namun jalinan hubungan yang membangun makna tersebut, secara tidak sadar dibongkar satu per satu, dilucuti dari manusia-manusianya. Tak ada yang sadar soal ini, ketika status Desa berpindah menjadi Kelurahan dan sang Mantri Air diangkat jadi pegawai negeri. Tak ada yang tahu apa dampaknya ketika mereka menjual lahan-lahan sawah yang diairi Waduk Sepat dan telah memberi makan mereka. Tak ada yang mengerti apa dampak jangka panjangnya ketika air PDAM mengaliri rumah-rumah warga. Semuanya tampak tak saling berhubungan.
Jauh di bawah alam pikiran sadar, begitulah mimpi pembangunan: manusia yang berdiri sendiri, terbebas dari manusia lainnya, terbebas dari alam sekitarnya. Hubungan-hubungan diganti menjadi transaksi rupiah. Tak butuh maksud yang terang-terangan, atau teori konspirasi. Semuanya akan terhubung dengan sendirinya mengikuti skenario bawah sadar itu. Dan cara pandang ini yang menjelma dalam proses perencanaan di waduk sepat: warga Kampung Sepat tak ada urusan lagi dengan Waduk Sepat.
Ini yang terjadi di Kampung Sepat selama empat dekade ke belakang. Namun, hubungan-hubungan itu tak sepenuhnya terputus. Waduk Sepat masih punya makna bagi warga Kampung Sepat. Warga kampung masih punya ikatan antar sesamanya yang membuat mereka melawan dengan gigih. Bahkan salah seorang tokoh di kampung itu punya slogan: “Waduk Sepat, harga diri warga”
Kisah pelucutan makna ini adalah modus utama pembangunan konvensional sekarang. Ada yang kasar, seperti kisah Warga Samin di Rembang dan berbagai kisah penggusuran warga kampung di ibukota. Ada yang lemah lembut tak terasa seperti Waduk Sepat dan peminggiran Suku Betawi keluar dari ibukota. Di tempat lain, bentuknya bisa dengan dalih pariwisata, transmigrasi, pacuan kuda, dan konservasi, yang dengan kasar mencekik ruang hidup penduduk aslinya, seperti kisah suku asli di pedalaman Arso, Papua, yang tempat berburu-meramunya diambil alih untuk lahan transmigrasi.
“Waduk Sepat harga diri warga” tak dikenal dalam kosakata pembangunan konvensional. Semuanya bisa di-mekanisasi. Takut banjir? Normalisasi aliran sungai jawabannya. Siapa yang menolak? Iming-imingi kerja di proyek perumahan mewah, jadi tenaga sekuriti, jadi tenaga kebersihan. Pekerjaan yang tak ada hubungannya lagi dengan Waduk Sepat, seperti mengganti pembagian ikan dari waduk yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Dengan harapan mendapat rupiah yang (mungkin) jauh lebih besar, warga terpecah. Sebagian warga yang memandang masa depan ada di proyek-proyek pembuatan perumahan, berbalik memusuhi sesamanya. Mengorbankan relasi-relasi sosial di antara warga.
-----
Memutus semua hubungan sosial yang kaya antara sesama manusia, dan memutus hubungan manusia dengan alam yang menopang hidupnya, dan mengganti semua hubungan itu dengan hubungan transaksional, adalah logika dasar pembangunan konvensional. Dalam bahasa seorang kawan, ia menyebutnya dengan logika krisis. Untuk melawan logika krisis ini, kita perlu berangkat dari mengenali tujuan dan cara mencapainya. Logika-logika ini perlu dibalik sehingga cara-caranya jadi sama sekali tak masuk akal. Ini akan mempermudah kerja-kerja advokasi di lapangan, dan mencegah permasalahan sebelum ia mengemuka.
Bagi saya, membalik logika krisis dicapai dengan memperkuat hubungan-hubungan sosial alih-alih menggerusnya dengan transaksi (uang) yang mensyaratkan keterpisahan antara satu sama lain. Memperkuat kebergantungan dengan alam alih-alih melepaskan diri darinya. Petani-petani yang berhadapan dengan perusahaan penguasa lahan, mereka melawan dengan menanam. Saya sendiri melihat, ini bukan sekedar menanam, namun mempererat jalinan hubungan dengan alam. Di Kali Surabaya, contohnya, warga stren kali mengadakan ritual sedekah sungai dan membalik rumahnya. Mereka membangun kembali hubungan mereka dengan sungai.
Tembok-tembok pembatas dan plang nama hanya bangunan imajiner yang bertutur tentang pemutusan hubungan. Penuturan tembok-tembok dan plang itu hanya jadi punya makna bila ia kita gugu dan turuti. Selama alamnya masih utuh, selama itu pula kita bisa melawan krisis dan membangun relasi kembali dengan alam. Sambil berjuang mencegah kehancuran ruang-ruang hidup warga dengan satu-satunya bahasa yang sama-sama dipahami: Kami Menolak!
No comments:
Post a Comment