Oleh : Eventus Ombri Kaho
Di zaman sekarang yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat rupanya cenderung membuat manusia makin sulit mengendalikan hasrat membeli barang-barang yang hanya sedap dipandang mata.. Zaman berkembang maju luar biasa oleh karena perkembangan akal manusia yang semakin prioritas. Sehingga hati nurani tertinggal oleh akal budi yang saat ini seakan sulit untuk dikejar. Hasrat manusia yang tidak pernah terpuaskan menjadi pusat untuk segala sesuatu, sehingga paham antroposentrisme yang berpusat pada hasrat dan pemuasan diri seakan tak terkendali dan menyebabkan semua hal selain itu adalah objek dan cenderung dipahami sebagai hamba untuk melayani hasrat.
Degradasi ekologi dan kehilangan makna akan “Roh” alam dengan hasrat manusia adalah dua wajah yang pada masa ini menjadi paradoks. Manusia modern nampak tidak manusiawi ketika ia dikontrol oleh hasratnya, sementara alam tetap meminta sebuah penghargaan. Hilangnya penghargaan terhadap lingkungan telah menyebabkan kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan. Ini artinya bahwa aspek relasional sangat nampak dalam proses kehidupan manusia, ketika alam dirusak demi hasrat sebagian orang, maka akibatnya bukan hanya pada alam itu sendri, melainkan juga bagi manusia lainya dan bahkan generasi berikutnya (Dr. Leo Samosir, Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Obor, 2009, Hal. 135).
Sesungguhnya ada apa di balik ini semua? Manusia seakan-akan hanya menjadi hamba dari hasrat yang destruktif yang menunjukkan bahwa manusia itu telah kehilangan martabatnya. Begitu pula dalam relasinya dengan alam semesta. Saat ini kecenderungan yang paling tampak adalah bahwa alam semesta seolah-olah hanya menjadi objek dari hasrat manusia yang harus dipuaskan dan dipenuhi. Kemajuan teknologi, menawarkan kehidupan nikmat yang instan membuat manusia akhirnya kehilangan pengetahuan, kehilangan perasaan akan “Roh” alam semesta, “Roh” ibu semesta yang telah memberi hidup, merawat dan menjaga ribuan generasi yang hidup di dalam alam semesta. Persoalan lingkungan hidup seperti tidak menemukan solusi yang tepat. Persoalan mengenai lingkungan hidup ini seolah menjadi masalah sepanjang segala masa. Banyak riset yang mencoba meneliti dan memberikan solusi namun, nyatanya tidak juga selesai (finish).
Bahkan salah satu institusi religius, sebut saja Gereja Katolik yang melalui Bapa Paus Fransiskus mencoba memberi perhatian yang luar biasa akan lingkungan hidup melalui Ensiklik “Laudato Si”. Di dalam Ensiklik tersebut terdapat banyak nilai yang fundamental mengenai identitas dan “Roh” dari alam semesta ini. Walaupun Sri Paus telah mengeluarkan Ensiklik itu, toh juga tidak spontan dapat menyelesaikan persoalan dunia saat ini. Berbeda dengan Donald John Trump, yang mengatakan bahwa polusi, efek rumah kaca dan lain sebagainya yang berkaitan dengan lingkungan hidup adalah suatu “hoax”. Permasalahannya di sini ialah siapakah yang dibenarkan di sini, apakah Sri Paus atau Donald Trump? Masing-masing pribadi maupun institusi mengklaim diri “bukan” aktor permasalahan alam semesta ini. Lantas siapakah yang membuat alam ini tampak seperti ‘lumpuh’? Pola pikir yang rasional khas modern menjadi senjata pembelaan diri yang ampuh.
Identitas dari alam semesta ini mungkin perlu diperjelas dan dipahami dalam konteks dan sudut pandang yang berbeda namun tetap dalam tujuan yang sama. Salah satu contohnya ialah bahwa alam semesta itu “ibu” dalam konteks budaya atau kultur tertentu, juga dapat dipahami sebagai “Wujud Tertinggi” dalam sudut pandang spiritual. Tujuannya ialah mengarahkan setiap pribadi kepada kesatuan di dalam berelasi. Relasi yang perlu dipahami ialah relasi antar subjek, bukan relasi subjek-objek. Jika yang dipahami ialah relasi subjek-objek, maka yang terjadi ialah eksploitasi yang besar-besaran.
Selama ini, alam dipandang sebagai objek semata sedangkan manusia memandang diri mereka sebagai subjek yang perlu dipenuhi dan dipuaskan kebutuhannya. Mestinya ada relasi timbal balik antar subjek balik itu antara manusia dan alam. Lalu bagaimana membangun relasi itu sehingga bukan lagi sebagai “aku” dan “dia”, melainkan “kami”?
Untuk sampai ke relasi yang intim itu, mungkin kita perlu belajar dari salah satu suku di daerah Atambua, Nusa Tenggara Timur, lebih tepatnya di Besikama. Orang Besikama terutama Uma Kalisuk (salah satu kampung yang juga merupakan bagian dari Besikama) sungguh masih percaya akan kekuatan yang ada di alam semesta ini. Mereka menghayati hukum keseimbangan hidup dengan mencoba melandasi kehidupan untuk memelihara keseimbangan hubungan dengan Supranatural, manusia, dan alam. (Florens Maxi Un Bria, The Way To Happiness Of Belu People:Jalan Menuju Kebahagiaan Perspektif Orang Belu, Jakarta :Caritas Publishing House Indonesia, 2004, hal.76).
Walaupun perkembangan zaman telah begitu maju dan canggih, tidak mempengaruhi cara hidup mereka. Mereka tetap percaya bahwa alam semesta ini memiliki suatu kekuatan. Mereka meyakini alam semesta ini digerakkan oleh “Wujud Tertinggi” yang dalam bahasa mereka ialah Maromak yang kemudian lebih dikenal sebagai Tuhan. Kepercayaan mereka didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya selalu tidak pasti, misalnya: “darimana munculnya bumi? Siapakah yang mampu menciptakan bumi? Untuk apa ada bumi? Mengapa harus hidup di bumi? Dan mengapa disebut sebagai bumi?" Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat mereka terus-menerus percaya bahwa tidak ada kepastian selain dari “Wujud Tertinggi” itu. Sebab “Wujud Tertinggi/Maromak” tidak dapat dipahami oleh siapapun, kecuali dialami atau dihayati di dalam hidup.
Bahkan mereka meyakini para leluhur yang telah meninggal tidak semuanya telah masuk surga sebelum empat puluh hari kematiannya. Untuk itulah mereka percaya bahwa arwah para leluhur itu masih berdiam di alam semesta. Mereka mengidentikkan alam semesta sebagai dunia baka. Dunia yang baka itu digambarkan sebagai sebuah tempat peristirahatan abadi yang suci, tenang dan damai. Arwah para leluhur itu masih menempati pohon atau daerah tertentu (Herman Yoseph Seran, Ema Tetun, Kupang, Timor:Gita Kasih, 2007, hal.57). Pohon-pohon itu dipercaya sebagai tempat peristirahatan arwah dan pohon-pohon itu tidak boleh ditebang atau dipetik daunnya. Persoalan yang dihadapi ialah anggapan bahwa semua itu hanyalah mitos untuk menakut-nakuti, bahkan dianggap tidak rasional atau dalam bahasa sekarang ‘lebay’. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa itu semua tidak rasional. Sebab dari pertanyaan dari manakah asal-muasal bumi, dari situ tampak sangat jelas sikap kritis dari orang-orang Uma Kalisuk.
Alam semesta ini hanya dapat dipahami secara total dalam “kacamata” spiritual. Jika hanya dipahami secara rasional, alam akhirnya hanya dapat dipahami sebagai objek yang perlu eskploitasi. Orang-orang dari suku itu melihat alam sebagai suatu kesakralan. Alam itu sakral, karena alam itu adalah Allah dan tempat berdiamnya para leluhur. Nilai kesakralan ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi untuk maju atau melangkah ke arah moralitas. Bukan untuk menakut-nakuti kebebasan setiap individu. Jika setiap individu sudah percaya bahwa alam itu memiliki nilai kesakralan, maka orang tidak akan merusak alam itu. Bahkan jauh lebih mendalam lagi nilai kesakralan itu turut mempengaruhi moralitas dan pelestarian alam. Maka, ajakan yang tepat ialah “datanglah dan hiduplah bersama Maromak”.
Pemahaman yang jauh lebih reflektif ialah pemahaman akan persoalan identitas dari alam semesta ini. Alam tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang fisikal semata, melainkan sesuatu yang mengandung nilai spiritualitas. Bila perlu harus sampai pada tingkat kesatuan atau keintiman dengan alam. Tentu saja tidak hanya melalui suatu proses pembelajaran atau perkuliahan, melainkan perenungan siapakah diri “saya” di hadapan alam semesta ini. Dalam istilah yang dipakai di dalam dunia filsafat mengenai kesatuan (unitas) itu ialah suatu relasi yang sama-sama “bermain”. Di sana kedua belah pihak sama-sama aktif dan sangat berpartisipasi. Seharusnya sikap “unitas” di dalam alam menjadi spirit baru yang semakin merasuki bahkan menggerakkan setiap pribadi. Pada akhirnya masing-masing pribadi sadar bahwa betapa pentingnya memelihara semesta ini. Heidegger sendiri mengatakan bahwa memelihara merupakan dasar dari eksistensi (keberadaan manusia). Manusia memelihara karena ia mahkluk yg bermartabat sekaligus memiliki kebebasan. (David Ray Gryffin. Tuhan, Dan Agama Dalam Dunia Post Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal.34).
Maka kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang dipercayai oleh Suku di Uma Kalisuk itu ialah alam sebagai Allah dan tempat peristirahatan para leluhur. Dengan demikian siapapun tidak boleh mengeksploitasi atau merusakan alam, karena merusak alam berarti mencoba melawan Allah dan mau mengusir para leluhur. Mereka tidak lagi berpikir tentang siapakah ‘aktor’ dari masalah yang dianggap tidak pernah selesai itu. Hubungan yang begitu dekat dengan alam itu membuat orang-orang Uma Kalisuk menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta ini. Inilah yang meyakini mereka, bahkan membuat mereka selalu berupaya untuk tetap menjaga alam.
No comments:
Post a Comment