Oleh : David Ardes Setiady
Hari itu kalender di smartphone menunjukkan tanggal 15 September 2017, ketika langit tampak cerah nan teduh, matahari memancarkan sinarnya sembari kawanan awan memberi kesejukan atas teriknya. Saya bersama dengan rombongan beranjak dari penginapan menuju pelabuhan Coron Harbour, sekitar 30 menit lamanya melintasi pemukiman padat yang pemandangannya seperti perkampungan di Indonesia. Setibanya di pelabuhan, sebuah perahu sudah menanti kehadiran kami karena memang sudah disiapkan oleh rekan-rekan Samdhana Institute Filipina dan kami pun segera memasukinya. Lalu, ada sedikit proses loading barang dan berbagai persiapan, di antaranya pemeriksaan oleh penjaga pantai memastikan jumlah penumpang yang berangkat agar sesuai dengan yang kembali nantinya, kemudian sang penjaga pantai juga memeriksa bahwa di dalam perahu tersedia rompi pelampung yang wajib dipakai para penumpang selama perjalanan. Tak lama, perahu pun segera mengarah menuju ke tujuan, Pulau Coron.
Perjalanan ini adalah bagian dari kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh Samdhana Institute dalam rangka menyusun program capacity building. Di sana telah menanti komunitas suku Tagbanwa yang telah mendiami Pulau Coron sejak lama. Nantinya kami akan berinteraksi dengan mereka untuk belajar tentang kehidupan mereka serta bagaimana sinergi dapat terjalin dengan Samdhana.
Perjalanan menyeberang pulau ini memakan waktu kurang lebih 45 menit, namun tak begitu terasa karena pemandangan yang tersedia di sekeliling perahu begitu indah. Rasanya ingin terus mengabadikan setiap bagian dari pemandangan yang tersaji dari perahu ini, namun saya harus menyimpan daya baterai ponsel ini karena masih ada berbagai kegiatan dan pemandangan lain yang bisa jadi tidak terabadikan ketika daya ponsel habis. Maka insting sajalah yang menentukan untuk mengambil pemandangan yang cocok di hati.
Waktu yang mengalir tidak terasa ketika akhirnya perahu merapat ke dermaga sederhana di Pulau Coron. Kesederhanaan yang begitu serasi dengan keindahan alam yang terpahat di pulau ini, rasanya teknologi yang wah kurang pantas bersanding karena akan merusak kesahajaan yang terpancar. Rombongan pun segera mengarah ke lokasi pertemuan dimana telah menanti para tetua masyarakat Tagbanwa, yang komunitasnya bernama Tagbanwa Tribe of Coron Island Association (disingkat TTCIA). Ruangan itu tampak sudah melalui perjalanan panjang dan mencoba bertahan dengan kesederhanaannya dengan beberapa cat yang tampak sudah terkelupas. Ada beberapa bangku panjang yang tersedia, mungkin memang menjadi tempat nongkrong penduduk setempat yang bertugas mengelola kegiatan pariwisata. Tidak ada wifi di sini, pun sinyal internet dari provider lokal tidak mudah tertangkap, seolah kita dipaksa merendahkan hati menghayati kesederhanaan yang hidup di tempat ini. Listrik pun sepertinya tidak ada, hanya disediakan oleh sebuah generator yang tujuan penggunaannya tidak saya tanyakan pada saat itu.
Pertemuan tersebut berlangsung guyub, para tetua dan rombongan saling berkenalan dengan bahasa Inggris seadanya. Toh, tidak ada yang perlu merasa malu dengan bahasa yang memang bukan bahasa sehari-hari. Yang penting, ada usaha saling berkomunikasi dan memahami. Adalah sang mantan kepala desa bernama Rudolfo “Kudol” Aguilar yang menjadi narasumber dalam pertemuan ini yang akhirnya berlangsung selayaknya sebuah konferensi pers. Bapak kepala desa mendapatkan pertanyaan lalu bercerita sebagai jawabannya. Secara garis besar, pembelajaran yang didapatkan oleh rombongan adalah :
1. Perjuangan masyarakat Tagbanwa dalam mendapatkan kedaulatan wilayah adat mereka, lalu komitmen masyarakat untuk menjaga serta melestarikan adat beserta gaya hidup yang harmonis dengan alam. Perjuangan itu dimulai pada tahun 1985, ketika mereka membentuk Tagbanua Foundation of Coron Island (TFCI) dengan tujuan mengubah status lahan hutan seluas 7.748 ha sebagai wilayah adat mereka , sesuai dengan kebijakan Kementerian Kehutanan saat itu yang memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengklaim hak ulayat mereka. Selanjutnya perjuangan tersebut adalah mengembalikan kesadaran budaya dan identitas sebagai suku Tagbanua kepada seluruh anggota suku, terutama generasi muda, yang pada saat itu sudah mulai lupa kebiasaan adat istiadatnya. Para tetua merasa akan percuma nantinya, bila wilayah adat ini berhasil diklaim kembali, tetapi generasi mudanya tidak memahami pentingnya mengelola wilayah adat tersebut. Maka mereka pun membagi tugas dan peran, dimana sebagian mengorganisir masyarakat Tagbanua di sekitar pulau untuk menghidupkan lagi adat istiadat dan budaya suku. Sebagian lagi, melanjutkan perjuangan administratif ke pemerintah Filipina atas wilayah adat yang juga mencakup perairan di sekitar pulau. Dengan demikian, masyarakat Tagbanua juga berhak mengelola wilayah perairan sekitar pulau sesuai dengan kebijaksanaan nenek moyang yang harmonis dengan alam. Tahun 1998, setelah perjuangan panjang yang diinisasi oleh Rudolfo Aguilar, Certificate of Ancestral Domain Claim (CADC) akhirnya diberikan atas wilayah adat masyarakat Tagbanua yang akhirnya mencapai puas 24.520 ha, tidak hanya daratan namun juga perairan. CADC adalah semacam dokumen resmi berkekuatan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah Filipina yang menjamin hak atas sebuah wilayah adat kepada masyarakat setempat. Ref : http://pcsd.gov.ph/protected_areas/coron.htm
2. Pengelolaan pariwisata, dimana para pengunjung harus menaati peraturan yang dibuat oleh masyarakat setempat. Peraturan tersebut dirumuskan oleh semacam dewan adat yang diisi oleh para tetua suku dengan pertimbangan kebiasaan adat istiadat yang mereka hidupi. Jadi secara tidak langsung, tamu diajak untuk menghargai tempat hidup masyarakat setempat.
Wilayah adat TTCIA mencakup keseluruhan pulau Coron ini dan beberapa kepulauan kecil yang berada di sekitarnya, yang kebanyakan adalah daratan kecil yang tidak dapat ditinggali oleh manusia. Cerita perjuangan masyarakat Tagbanwa untuk mendapatkan kembali hak adat mereka, tertuang dalam sebuah spanduk yang sengaja dicetak dalam 3 bahasa (bahasa Inggris, Tagalog, Tagbanwa) agar dapat diketahui oleh para pengunjung. Cerita tersebut tidak hanya dibagikan kepada para pengunjung, namun terutama diteruskan kepada generasi muda mereka agar memahami bahwa perjuangan ini tidak akan pernah berakhir karena merekalah yang akan mempertahankan kelestarian wilayah adat ini.
Bapak Rudolfo Aguilar (Dokumentasi Pribadi) |
Sejarah perjuangan TTCIA (Dokumentasi Pribadi) |
Walaupun dikatakan sebagai masyarakat adat, tidak berarti mereka terbelakang karena juga mengenal teknologi yang berkembang di dunia saat ini namun memilih untuk tidak bergantung kepadanya. Sekilas hampir tidak ada yang ber-hape (handphone-red) ria saat kami berkeliling. Yang menggunakan hape juga kebanyakan adalah para pengoperasi perahu yang kebanyakan berasal dari luar pulau.
Dalam hal pengelolaan pariwisata, masyarakat Tagbanwa bersikap cukup terbuka terhadap kehadiran turis, namun menerapkan aturan yang cukup ketat dan disiplin. Setiap rombongan akan didampingi oleh penduduk setempat saat berkeliling pulau. Adapun area yang dapat dieksplorasi sangatlah terbatas dan mereka yang menetapkannya demikian. O iya, pulau ini pun memiliki waktu berkunjung yang telah ditetapkan, yakni dari pukul 08.00 sampai dengan 17.00 waktu setempat. Di tempat ini juga tidak ada penginapan sehingga para pengunjung betul-betul hanya berkunjung. Pada saat itu kami hanya berkunjung ke 3 titik, yaitu : Danau Kayangan, Pantai Attuangan, dan Twin Lagoon. Dari salah seorang rekan Samdhana Filipina yang memang mendampingi komunitas ini, para tetua adat Tagbanwa sebenarnya ingin membatasi jumlah pengunjung sehari menjadi 100 orang, namun negosiasi dari pemerintah daerah membuat hal itu urung terjadi.
Ada beberapa ketentuan yang harus ditaati oleh para pengunjung di pulau ini, yakni :
- Wajib membawa rompi pelampung
- Dilarang berenang menggunakan sunblock kimiawi (hanya boleh pakai yang sunblock dengan bahan alami)
- Dilarang berenang tanpa rompi pelampung
- Wajib didampingi oleh pemandu setempat
Di sana mereka juga mencoba hidup tanpa menggunakan plastik, sehingga kita akan mendapati warung (satu-satunya) yang menjual kelapa muda tanpa ada sedotan. Jadi, kita harus minum dengan seolah kelapa itu adalah gelas, kemudian setelah airnya habis dan kita ingin makan dagingnya, kita tinggal bilang sama si tukang untuk membelah kelapanya. Si tukang akan membuatkan sendok dari kulit kelapa untuk membantu kita memakan daging kelapa yang lembut.
Dari sana, kami bertolak menuju pantai Attuangan untuk melanjutkan sesi refleksi. Pantai ini relatif tidak banyak pengunjung, waktu itu hanya ada 3 perahu lain dan ombaknya juga termasuk kecil. Pun tidak ada hiburan buatan manusia seperti banana boat, speedboat, parasailing, dan kawan-kawannya. Jadi, tempat ini benar-benar diperuntukkan bagi mereka, para penikmat alam. Tidak pula ada rumah makan yang menyajikan ala restoran barat, hanya ada warung sederhana, yang waktu itu kami hanya “meminta” air panas untuk membuat kopi yang dibawa oleh salah seorang rekan rombongan.
Setelah sesi refleksi tuntas, kami bertolak ke Twin Lagoon yang terdiri dari batu-batu besar yang membuat perairan di sana sangat tenang. Lokasi ini relatif ramai dikunjungi, tampak ada sekitar 6 perahu lain yang ditambatkan di sekitar perahu kami. Penariknya adalah perairan yang tenang sehingga relatif nyaman untuk berenang, pun dari pemandu wisata menawarkan atraksi melakukan formasi manusia-kelabang, dimana para pengunjung diminta mengambang saling berkait, kemudian pemandu akan menarik rantai manusia ini menyeberangi teluk kembar ini. Selebihnya, kita boleh bereksplorasi sendiri di sekitar area tersebut.
Hal lain yang mungkin perlu diketahui adalah di setiap perahu terdapat sebuah bilik yang bagi orang Indonesia dikenal sebagai kamar mandi, namun awak perahu menyebutnya sebagai CR, yakni comfort room. Di dalamnya air tidak selalu tersedia dan apabila habis, awak perahu akan mengambil air laut untuk kegiatan “bersih-bersih” (tentunya persepsi bersih akan menjadi sangat subjektif).
Puas berkegiatan di Twin Lagoon, kami pun kembali ke Coron-Palawan, tempat dimana kami berdiam selama di Filipina. Perjalanan kembali, walau jalurnya sama dengan berangkat, menyajikan pemandangan yang tak kalah indah dan selalu menggugah hasrat berfoto yang tak henti-hentinya pula. Komposisi awan dan matahari senja mungkin menjadi santapan juru foto pemandangan, ditambah gerak air laut yang tenang. Tentu saja, kita boleh hanya duduk menikmati terpaan angin yang “ditabrak” oleh perahu dan melihat pemandangan yang mengiringi perjalanan.
Pemandangan saat perjalanan pulang dari Pulau Coron |
Perjalanan yang cukup singkat ini, meninggalkan kenangan dan pembelajaran bagi saya, bahwa Pulau Coron adalah model pariwisata dimana pengunjung bukanlah raja yang dilayani sesuai gaya mereka. Melainkan, pengunjung adalah saudara dari jauh yang datang dan berkenan untuk memahami serta mengikuti adat setempat dalam menikmati alam.
Kapan ya bisa kembali lagi?
Penulis di Pulau Coron, Filipina |
Catatan :
Perjalanan ini dalam rangka Workshop Capacity Development yang diselenggarakan oleh Samdhana Institute dengan tujuan mengembangkan program kerja organisasi untuk dapat membantu penguatan masyarakat dampingan mereka. Samdhana Institute adalah sebuah organisasi non-profit yang memiliki visi mewujudkan sebuah keadaan dimana keanekaragaman hayati, budaya, dan spiritualitas dihargai dan mengatasi konflik berbasis lingkungan dengan adil dan setara untuk semua pihak. Lebih detail tentang Samdhana Institute dapat mengunjungi http://www.samdhana.org/
No comments:
Post a Comment