[MASALAH KITA] SUKA DUKA MENJADI AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP




Menjadi seseorang yang bergerak di isu lingkungan memang tidak mudah. Awal masuk dunia perkuliahan belum terpikirkan nantinya akan menjadi apa. Sejalan dengan aktivitas perkuliahan,  muncul keinginan untuk bisa menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Terinspirasi ketika melihat  iklan di TV tentang dedikasi seorang wanita untuk mengajar di pedalaman hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Semenjak saat itu selalu tertarik untuk melihat hal-hal yang berbau  edukasi untuk anak-anak di pedalaman, sampai akhirnya terbuka peluang untuk melakukan  studi akhir melengkapi tuntutan agar bisa menyelesaikan kuliah. Saya memilih untuk mengambil penelitian mengenai pendidikan konservasi untuk masyarakat di sekitar TNBD.

Banyak hal baru yang bisa saya dapatkan, termasuk berkesempatan untuk mengenal lebih tentang masyarakat rimba atau suku Anak Dalam (begitu pemerintah kita menyebutnya). Selesai  kuliah dengan idealisme yang masih tinggi, saya lebih memilih untuk  bergabung dengan lembaga-lembaga  yang bergerak untuk edukasi dan masyarakat. Saya tertarik mempelajari kearifan tradisional yang ada dan telah berakar lama di masyarakat. 

Sampai pada akhirnya,memilih bergabung dengan sebuah lembaga  yang bergerak untuk perlindungan hutan dan satwaliar. Bergabung menjadi tim edukasi dan sosialisasi ke masyarakat termasuk untuk anak-anak sekolah. Pengalaman berkeliling desa untuk sosialisasi program telah mengguratkan berbagai pengalaman suka dan duka, beserta tantangannya, namun hal itu justru terkadang menerbitkan rindu untuk kembali ke perkampungan di pedalaman Sumatera. 

Foto bersama anak-anak suku Talang Mamak (Dokumen pribadi)

Berhadapan dengan warga yang tidak semua menerima dengan baik apa yang kita kerjakan, bahkan ada yang menolak dengan mendatangi saya dan tim begitu tiba di desa. Tentu saja ada juga yang meminta untuk meninggalkan desa. Rasa panik, takut yang muncul sampai akhirnya proses komunikasi dan negosiasi dilakukan dengan warga dan dibantu Bapak Kepala Desa. Sebenarnya warga sangat terbuka dengan hal-hal yang berbau edukasi terutama untuk anak-anak, saya dan tim memang menitik beratkan pada edukasi anak. Warga sudah bosan dan jenuh dengan janji-janji yang tidak jelas, begitu ungkap Bapak Kepala Desa. Lokasi desa itu berada di titik terujung dari Taman Nasional yang waktu itu hanya bisa dilalui dengan mobil double gardan. Entah apa alasan dimasukkannya desa Melayu Tua ke dalam kawasan Taman Nasional, padahal mereka telah lama ada jauh sebelum penetapan kawasan Taman Nasional itu sendiri. Di desa ini terdapat kecemburuan yang sangat tinggi dengan desa tetangga terdekat yang berjarak sekitar 23 km karena desa tetangga memiliki kesempatan untuk memiliki aktivitas produksi yang bernilai ekonomi, sedangkan mereka sendiri hanya bisa bertani secara alami dengan tanaman karet. Ternyata dari apa yang kita bawa menjadi penentu bisa diterima di masyarakat, dan yang terpenting jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tidak jelas ke masyarakat.

Bergerak untuk isu lingkungan, terutama yang berkaitan dengan konservasi hutan, banyak konflik kepentingan yang sering saya temukan di lapangan. Gesekan antara masyarakat dengan pemerintah atau sesama masyarakat. Pemicunya jelas peningkatan ekonomi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, kecemburuan dengan perusahaan-perusahaan yang ‘sepertinya mendapatkan ijin pengelolaan hutan lebih mudah’. Tingkat kebutuhan yang tinggi itu yang menjadikan masyarakat berani untuk membuka hutan, memanfaatkan lahan negara bahkan hutan lindung untuk menjadi area produksi. Tetapi tidak semua masyarakat membuka hutan baru itu untuk memenuhi kebutuhan utama, terkadang itu hanya sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dan punya keinginan memilki lebih banyak dalam segala hal.

Upaya konservasi yang banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga baik lokal maupun internasional adalah upaya untuk mencegah kerusakan hutan yang hebat. Saya sadar secara pribadi tidak punya kuasa dan kewenangan untuk bisa berbuat lebih untuk kelestarian hutan, tetapi yakin apa yang saya lakukan ada manfaatnya.

Foto bersama anak-anak suku Talang Mamak (Dokumen pribadi)

Sampai suatu saat  saya memutuskan untuk berhijrah ke bandung, sekitar 2,5 tahun yang lalu dan masih bertahan untuk bekerja mengangkat isu lingkungan. Semua yang kita lakukan mempunyai tantangan dan kendala tersendiri, tidak bisa kita bandingkan dengan tempat lain, semua lokasi mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda. Saat ini berhadapan dengan masyarakat perkotaan, tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial yang berbeda. Ini pengalaman baru, karena selama ini selalu berhadapan dengan masyarakat desa pinggiran hutan. Tingkat pendidikan dan ekonomi tinggi pun tidak menjadi jaminan kita mudah diterima masyarakat kalau apa yang kita kerjakan tidak bermanfaat.

Pernah merasakan bergerak untuk masyarakat pedalaman, pinggiran hutan, dan perkotaan menjadikan pengalaman hidup ini sangat berharga. Mungkin saya sendiri belum bisa membawa pengaruh besar dengan apa yang telah saya lakukan.

Begitu banyak pengalaman hidup saya dapatkan, bertemu orang baru yang ternyata tidak seseram yang saya bayangkan, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak sama untuk setiap lokasi yang saya datangi , menjadikan kendala dan tantangan sebagai motivasi untuk terus maju dan bergerak.

Saya percaya dengan menyenangi pekerjaan dan menjadi bermanfaat bagi orang lain, pekerjaan yang berat pun akan terasa menjadi ringan,  dan  saya terus berusaha untuk melakukan itu.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...