[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 18/DESEMBER 2017



Pembaca yang budiman,

Kalender 2017 telah sampai di lembaran terakhirnya untuk segera berganti dengan lembaran baru. Telah banyak peristiwa yang terjadi di tahun ini, baik di tingkat global maupun lokal, berbagai isu yang mungkin pernah hinggap di antaranya ada yang masih tetap teringat hingga saat ini. Salah satu isu yang masih menjadi perbincangan adalah isu lingkungan yang terasa berkejaran dengan waktu. Pembicaraan di antara negara-negara seolah berjalan di tempat, perdebatan soal pemanasan global malah seperti berjalan mundur ketika Presiden Amerika Serikat menyatakan tidak percaya akan fenomena tersebut. Di tingkat lokal, secara umum, untuk negara Republik Indonesia, isu lingkungan masih gencar disuarakan banyak pihak terutama menyikapi pola pembangunan yang digalakkan pemerintah saat ini. Pembangunan yang di satu sisi mendapatkan dukungan dari banyak pihak serta pujian dunia internasional, namun di sisi lain justru merampas hak masyarakat tradisional atas nama pembangunan itu sendiri. Perdebatan demikian, sekiranya kita tinggalkan sejenak untuk melihat kembali bagaimana hidup kita sendiri, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga alam ini agar tidak semakin menurun kualitasnya?

Untuk itulah, sebagai pengantar menyambut tahun yang akan datang, Proaktif Online edisi Desember 2017 mengangkat tema Hidup Selaras dengan Alam.

Berbagai tulisan yang sudah kami kumpulkan berupaya untuk mengangkat kembali konteks isu alam dan lingkungan dengan perspektif yang sedikit berbeda. Ada yang mengkritisi pola hidup dan pola pembangunan yang terjadi, namun juga sekaligus menawarkan sebuah jalan lain yang bisa diambil agar hidup kita bisa bermanfaat bagi peningkatan kualitas alam.

Untuk rubrik MASALAH KITA kali ini, kami menyajikan 3 tulisan yang menggugah kesadaran tentang krisis alam dan lingkungan yang kian hari (sebenarnya) kian mendesak. Tulisan pertama adalah tulisan kolaboratif dari Any Sulistyowati dan Navita Astuti yang memperlihatkan hubungan perkembangan peradaban yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi   dengan kerusakan alam di Indonesia. Perkembangan tersebut walau telah membuat kualitas hidup manusia menjadi lebih baik, namun di sisi lain, telah menghancurkan hidup sekelompok masyarakat di belahan dunia yang berbeda. Tantangan pemulihan lingkungan hidup masa kini yang makin mendesak adalah mengkampanyekan gaya hidup yang selaras dengan alam.

Upaya untuk mengkampanyekan gaya hidup yang selaras dengan alam, beserta edukasi tentang dampak negatif dari gaya hidup konsumtif saat ini, sesungguhnya tidak sedikit. Aktivis-aktivis yang peduli akan isu lingkungan hidup mencoba berbagi kepedulian dengan masyarakat awam. Namun tantangan untuk bertahan dengan idealisme dan menghadapi realita kehidupan, menjadi sisi lain dari krisis ekologis itu sendiri. Cerita dari Jenal Mustofa (tulisan kedua) bisa disebut sebagai salah satu contoh yang jamak terjadi dalam perjalanan hidup seorang aktivis lingkungan hidup, yang awalnya berjuang mati-matian menghidupi prinsip selaras alam dan menyuarakan kepedulian, bisa mendadak banting setir ke arah yang berlawanan ketika berhadapan dengan realita.

Berlanjut kepada kisah hidup dari pengalaman Ratna Ayu Wulandari (tulisan ketiga) sebagai seorang aktivis yang masih bertahan di bidang lingkungan hidup. Kisahnya saat beraktivitas di Taman Nasional Bukit Duabelas, mendampingi salah satu komunitas Suku Anak Dalam, menggambarkan suka duka sebagai seorang aktivis lingkungan. Berbagai tantangan yang muncul, baik dari masyarakat dampingan maupun dari pemerintah, menunjukkan betapa terjal perjuangan terhadap isu lingkungan hidup ini. Perlu sikap yang positif agar isu lingkungan hidup dapat terus berkumandang dan semakin meluas menjangkau banyak orang.

Rubrik PIKIR kali ini, kami juga sajikan 3 tulisan yang mengundang pertanyaan terhadap paradigma kita tentang pembangunan dan alam tempat kita hidup ini. Fictor Ferdinand, salah satu penulis, mengangkat kisah Waduk Sepat di Jawa Timur yang hari-hari ini harus berjuang mempertahankan diri dari pemerintah kota Surabaya. Penulis menunjukkan kepada kita bagaimana proses penghancuran waduk terjadi secara perlahan-lahan karena sikap manusia yang justru menjauhkan dirinya dari alam. Partisipasi pemerintah melalui regulasi yang mengubah fungsi peruntukan lahan waduk itu menjadi pemukiman kompleks perumahanlah yang memicu terjadinya kepanikan masyarakat, yang seolah baru tersadar, bahwa mereka akan kehilangan tempat hidupnya.

Bergerak sedikit ke timur, di daerah Atambua-NTT, terdapat masyarakat Uma Kalisuk yang masih menjalankan adat nenek moyangnya yang memasukkan alam dalam konteks spiritual kepercayaannya. Penggambaran relasi alam dengan manusia sebagai tubuh, menjaga perilaku anggota masyarakat dari tindakan pengrusakan. Cara hidup masyarakat Uma Kalisuk dipotret oleh Eventus Ombri Kaho sebagai upaya merenungkan kembali relasi manusia dengan alam, bahwa praktek spiritualitas memiliki fungsi sebagai penjaga moral masyarakat dalam merawat alam lingkungan hidupnya.

Umbu Justin, penulis lainnya, mengisi rubrik PIKIR dengan renungan filosofis tentang salah satu sisi kemanusiaan kita yang memang tidak dapat dilepaskan dari alam. Umbu menyoroti peran agama dan sains yang kurang berhasil mendekatkan manusia dengan alam, malah semakin menjauhkannya. Yang turut menjadi persoalan adalah peran agama dan sains yang justru memperkuat paradigma kita bahwa alam hanya sekedar tempat hidup manusia; bahwa manusia bukanlah bagian dari alam itu sendiri. Akibatnya manusia cenderung merasa berhak untuk mengatur alam, termasuk menghancurkannya demi kehidupan yang lebih baik (yang belum tentu benar menjadi baik).

Any Sulistyowati kemudian memberikan TIPS bagaimana menerapkan prinsip hidup selaras dengan alam melalui cara-cara yang mudah dan murah. Kita perlu memperhatikan dan mengamati hal-hal yang sudah ada di sekeliling kita yang mungkin belum dimanfaatkan dengan maksimal. Memahami prinsip pembangunan berkelanjutan, mencari alternatif atas gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, penggunaan barang, turut serta memproduksi bahan pangan, adalah beberapa tips yang dipaparkan dalam artikel ini. Tips yang paling penting adalah menikmatinya.

Selanjutnya, masih dari penulis yang sama, kita akan berkenalan dengan seorang mama dari Flores bernama Veronika Lamahoda. Dari sosok beliau kita akan belajar tentang bagaimana perjuangan untuk “mencari” air kemudian berkembang menjadi sebuah pemberdayaan masyarakat. Pengalaman perjuangan itu membawa sosok Veronika Lamahoda menyadari bahwa banyak persoalan di negeri ini yang penyelesaiannya disederhanakan menjadi persoalan membuat undang-undang semata. Padahal untuk menjawab persoalan yang kompleks di masyarakat, justru lebih diharapkan inovasi di tingkat teknis dan sosial ekonomi.
JALAN-JALAN kali ini akan dipandu oleh Ayu “Kuke” Wulandari dan saya sendiri, masing-masing ke tempat yang berbeda. Ayu akan membawa kita menjelajahi daerah Kawah Putih, Bandung bersama komunitas Matabumi sambil belajar tentang alam. Penjelajahan itu berakhir di Pinisi Resto yang sedang tren di masyarakat Bandung karena bentuknya adalah kapal pinisi yang dulu dipakai oleh nenek moyang pelaut kita.
Sedangkan saya akan mengajak para pembaca mengunjungi Pulau Coron-Palawan di Filipina serta berkenalan sedikit dengan masyarakat adat Tagbanua yang mendiami pulau tersebut. Perjalanan ini membuka mata kita bahwa pemerintah dapat mengambil peran sebagai fasilitator untuk merawat sebuah tradisi dapat tetap hidup dan memberikan kedaulatan kepada masyarakat itu sendiri untuk mengelola alam tempat hidup mereka. Pulau Coron ini adalah wujud kedaulatan dari sebuah masyarakat adat untuk melestarikan budaya mereka yang tetap terbuka dengan dunia luar.

Rubrik MEDIA diisi oleh Asra Wijaya yang memberikan pelajaran tentang jenis film yang memiliki fungsi sosial sesuai dengan dinamika yang berkembang di masyarakat. Secara khusus, tulisan ini menyoroti isi film dokumenter tentang para pejuang perempuan di dalam konflik agraria di Indonesia. Umumnya, konflik itu sendiri sangat bernuansa maskulin karena dalam masyarakat tersebut, perempuan tidak memiliki suara dalam pengelolaan lahan pertanian. Pentingnya keberadaan perempuan dalam konflik agraria ini turut mencegah beralihnya kepemilikan lahan kepada pihak swasta yang didukung oleh pemerintah.

Rubrik RUMAH KAIL akan memperlihatkan bagaimana prinsip hidup selaras dengan alam dapat diterapkan dalam praktek sehari-hari melalui pengalaman KAIL. Any Sulistyowati memaparkan cukup runut apa saja yang telah dilakukan oleh KAIL di dalam RUMAH KAIL, mulai dari proses pembangunan rumah hingga penyelenggaraan kegiatan, menerapkan prinsip tersebut. Bahkan kita akan terpapar dengan pemilihan bahan bangunan dan permakultur sebagai salah satu bentuk penerapannya.

Akhir kata, tema Proaktif Online kali ini kiranya dapat menjadi perenungan kita bersama sekaligus mempersiapkan kita menyambut tahun yang akan datang dengan semangat yang semakin membara. Isu lingkungan akan selalu relevan selama manusia masih hidup di dalam bumi.
Mari hidup selaras dengan alam.

David Ardes Setiady
(Editor)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...