[PIKIR] ALAM : ANTARA SAINS DAN AGAMA

Oleh : Umbu Justin

Kita Memang Tak Mempedulikan Alam

Ketika kita diminta menggambarkan Alam, biasanya kita akan memilih obyek representatif seperti burung, pohon, hutan, samudra, bumi, rembulan,matahari, dan sebagainya. Bagi kita sekarang ini, Alam adalah lingkungan hidup, seluruh bentangan keberadaan benda-benda yang melingkupi kita, yang menopang kehidupan kita. Alam merupakan suatu semesta sistemik, sebuah dunia jejaring benda-benda yang menopang kehidupan kita.

Kita sendiri, manusia, senantiasa menganggap Alam berada di luar kita sebagai tempat kita hidup. Gagasan bahwa kita manusia bukan bagian dari Alam, bisa dilihat pada akar gagasan ajaran agama-agama terwahyukan bahwa Alam Semesta hanyalah sebagai wadah perilaku hidup manusia yang pada saatnya akan dilenyapkan dan manusia akan diadili.

Alam yang nilainya diletakkan pada tataran kesementaraan, dianggap tidak sebanding dengan hakekat rohani manusia yang berada pada tataran keabadian. Benak manusia pasti terganggu oleh kenyataan perubahan yang dialami tubuhnya, betapa mudah melenyap.

Agama-agama bergantung pada kegelisahan manusia atas tubuhnya dan menghibur manusia dengan janji kehidupan di surga. Tubuh yang mudah berubah disejajarkan dengan Alam yang mengalami dinamika yang sama. Tubuh akan hancur dan pasti Alam pun akan menerima nasib kehancurannya, dalam doktrin hari kiamat. Roh, di lain pihak, sebagai sebuah konsep yang kontras terhadap tubuh, yang bersifat abadi, sama sekali terlepas dari proses dinamika dalam Alam. Roh inilah yang kemudian mendefinisikan hakekat kemanusiaan kita dalam perspektif
agama-agama terwahyukan. Tuntunan bagi manusia sebagai mahluk rohani lantas dijabarkan ke dalam berbagai dogma agama dan teologi. Alam semesta, dunia kehidupan ragawi, hanyalah sebuah bingkai sekunder yang mewadahi pelaksanaan tata kehidupan manusia yang dituntun oleh dogma dan teologi.

Sains memiliki disiplinnya sendiri, jauh dari teologi-teologi. Sains memandang ke dalam Alam, memperhatikan fakta ragawi manusia dan membuktikan bahwa manusia berada dalam Alam. Sains berusaha menerjemahkan dinamika alam ke dalam rumusan-rumusan sistemik, dan
memprediksi perilaku Alam secara akurat. Namun sekalipun Sains menjadikan Alam sebagai lahannya, Alam Semesta tidak pernah menjadi subyek dalam dirinya sendiri. Semesta
bagi Sains adalah pelaksanaan formulasi sistematik, boneka yang dikendalikan oleh rumus - rumus matematis murni. Semesta maha luas ini tak lain adalah repetisi tak berhingga dari perilaku sistemik. Kehidupan tidak memiliki keistimewaan apapun, 'hanyalah' suatu kompleksitas
pelaksanaan fungsi-fungsi matematis yang menggerakkan gejala-gejala fisik dan kimiawi.

Hubungan antara manusia dengan Alam kemudian sangat bergantung dari kombinasi kontradiktoris antara gagasan sains dan agama, yakni peranan teknologi dalam rangka
eksploitasi atas Alam demi kesejahteraan hidup manusia. Sains memang pembangun utama teknologi, namun gagasan dari agama-agama terwahyukan bahwa Alam ini hanyalah wadah bagi kesementaraan manusia, wadah yang pada akhirnya pun akan dihancurkan untuk mengantar manusia pada pengadilan akhir, adalah perangsang utama tata laksana kehidupan yang hanya menjunjung moral kerohanian, hanya mengatur hubungan antar yang rohani, sebuah etika yang tidak memberi tempat pada Alam Semesta yang bersifat, 'fisik semata'.

Dengan teknologi sebagai alat dalam tangannya, manusia menguasai alam, pergi melampaui daya-daya gravitasi, melawan siklus gelap dan terang serta mengakali musim-musim. Teknologi memungkinkan manusia merelatifkan jarak, melunakkan kerasnya bebatuan serta membendung lautan dan sungai.

Alam lantas hanya menjadi sekadar properti, milik manusia untuk dikuasai dan objek yang dimanfaatkan. Manusia membuat garis-garis batas dan titik-titik eksploratif di muka bumi, politis dan saintifik. Politik membuat manusia mengklaim bentangan-bentangan geografis. Semua itu berdasarkan keinginan pragmatis untuk mengelola, mengeruk dan memakai alam milik sendiri sebebas-bebasnya tanpa diganggu. Alam dilihat sebagai fasilitas yang sudah tersedia, dipakai dan
dimanipulasi sejauh mungkin untuk keleluasaan hidup manusia.

Sosietas Semesta , Alam sebagai masyarakat kehidupan

Jika hati dan benak manusia mampu melihat kehidupan sebagai daya yang universal, maka segala sesuatu yang hadir di dunia bisa terlihat sebagai jejaring fungsional yang sangat kompleks.
Pengertian fungsional di sini bukan dalam rangka kegunaan pragmatis yang berakhir bagi kepentingan manusia, tetapi juga bukan suatu sistem saintifik di mana semesta bergerak berdasarkan formulasi matematis. Jika manusia melihat alam hanya sebagai objek fungsional bagi kesejahteraannya, maka manusia dengan teknologi pada tangannya adalah jalan buntu bagi alam.

Manusia hanya pemakai, pelahap, bukan pemelihara yang sejati, apalagi pencipta dalam suatu konsep yang transenden dan abstrak. Jika alam hanya berupa deskripsi saintifik, sebagai suatu sistem fisik-kimiawi yang bergerak sendiri berdasarkan formulasi matematis maka alam hanyalah figur tak berwajah, juga tanpa esensi, hanyalah repetisi yang bisa ditebak, impuls-impuls yang sama yang berulang, baik dalam skala yang amat kecil, kuantum, atau yang tercermati oleh manusia seperti pembelahan sel, kelahiran, kebernyawaan, kematian, letusan gunung atau pun pergerakan galaksi, atau skala-skala maha besar dan tak terkontemplasikan seperti denyut ada dan tiadanya alam semesta. 

Benak pragmatis dan tangan teknologi manusia selamanya hanya bersifat narsistik sekaligus sebuah penjara repetisional, yang selalu berlangsung di dalam hidup manusia. Kita hidup hanya memikirkan diri sendiri, berulangkali mematut-matut wajah fisik dan keagamaan kita di depan cermin eksistensi kita. Dan betapa kita tak mau lepas dari kegiatan berdandan itu, melayani 'hidup' dengan terus memantaskan kehadiran kita di depan cermin tersebut.

Karena kita hidup dalam lingkaran setan tersebut, perulangan yang terus menerus itu, kita pasti tidak sadar kalau keyakinan kita, filsafat kita, keber-agama-an kita sesungguhnya sudah kadaluwarsa dan beracun. Tetapi karena kita melayani repetisi itu maka kita tetap 'survive' dan tidak menyadari kalau kita hadir sebagai virus, kanker di muka bumi. Martin Heidegger, filsuf, berbicara tentang keberadaan manusia sebagai 'Dasein', di mana manusia bisa berada sejauh ia melaksanakan relasinya dengan semua yang lain, bukan sebagai subjek terhadap objek, tetapi sebagai sebuah kehadiran yang sekaligus menghadirkan semua yang lain. 

Kesadaran akan keberadaan yang berelasi, yang majemuk, plural karena berkaitan dengan semuanya sekaligus. Jika kita memanfaatkan pemikiran sederhana dari filsuf tersebut pada cara pandang terhadap alam, mungkin kita bisa keluar dari lingkaran setan narsistik di atas. Melihat kehidupan sebagai suatu fakta yang lebih luas dari sekadar kebernyawaan, melihat semuanya : atom, plankton, bakteri, ikan, banteng, pohon, sungai, samudra, rembulan, matahari, bunyi seruling, suara truk di kejauhan, dentuman quasar yang tak terdengar, suara ibu yang memanggil anaknya untuk makan, uap yang naik perlahan di atas aspal sehabis hujan, genangan air di dedaunan bromeliad, bau buku-buku tua di perpustakaan, keheningan biji-biji kopi dalam toples yang menanti untuk digiling, kelebat kucing di balik pintu, denting notifikasi di smartphone, semuanya lah dan denyut jantung kita serta seliweran pikiran yang bergantian...

Kehidupan itu adalah kehadiran semuanya. Hanya dengan menyadari semua itu sekaligus, kita bisa bahagia melihat kehidupan, berjalan lebih perlahan, menyadari musim-musim dan mampu berteduh dengan damai tatkala hujan atau melangkah terus dan menyadari sentuhan dari langit yang basah dan dingin. 

Pada gilirannya Alam akan berada di depan kita dengan kisahnya yang menakjubkan, kehadiran total dari yang tersembunyi. Sains dan semua pengetahuan eksploratif tak dapat menjangkau pengalaman 'Dasein' tersebut. Agama, apalagi itu, juga tak mampu atau mungkin tak melihat ke sana. Immanuel Kant, yang memetakan dasar filsafat sains menunjukkan pada kita bahwa metodologi berpengetahuan kita hanya mampu melihat apa yang tampil mewakili ojyek pengetahuan itu; bukan objek itu sendiri.

Kita melihat hanya apa yang terlihat, menjangkau hanya sampai pada fenomena keterlihatan, bukan keberadaan. Albert Einstein, fisikawan, mengumpamakan alam semesta sebagai sebuah jam dinding berbandul; sains berusaha mencermati ayunan bandul dan lintasan jarum penunjuk waktu, kemudian merumuskan teori yang paling logis tentang mekanisme kerja jam dinding tersebut, tanpa membuka dan membongkar jam tersebut.

Agama mungkin akan berkata ada Immanuel Kant bahwa terlihat atau tidak terlihat, objek pengetahuan itu sia-sia sebab apa pun yang benar sudah termaktub dalam kitab suci. Atau kepada Einstein, bahwa jam dinding itu beserta waktu yang ditunjukkannya akan berlalu dan dibuang ke dalam api. 

Sains dan agama tidak menghadirkan etika bereksistensi yang sungguh berkesadaran semesta.
Berkesadaran semesta, hadir sebagai anggota dalam masyarakat jagat raya, menjalankan etika kehidupan tanpa tujuan pragmatis, tanpa janji surga, hanya demi kehidupan yang total itu sendiri (Immanuel Kant: berbuat baik karena perbuatan itu baik). Menjadi manusia hanya bisa dipahami lewat hadirnya lelautan, binatang lain, angin, gunung, matahari. Tak ada keberadaan
tunggal yang bisa diisolasi dan dibakukan. Kehadiran kita beresonansi dengan semuanya. Lantas apa yang perlu dilakukan dalam rangka beretika 'Dasein'?

Heidegger menganalogikan keberadaan manusia sebagai gembala. Menjaga dan memelihara, bukan Tuan atas properti atau pemilik. Gembala hadir bersama yang dirawat, memperhatikan dan bertindak seperlunya saja, dan menghabiskan waktunya dengan merenung atau meniup suling. Kita tak perlu berlebihan menangisi pohon yang ditebang, atau bersukacita karena sains menemukan sebuah planet yang bisa dihuni manusia. Kita hanya perlu berhenti sejenak dan menyadari 'Dasein' kita. Alam pasti tetap tumbuh, jauh lebih kuat dari apa pun, melampaui
semua hari kiamat.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...