[MASALAH KITA] KRISIS EKOLOGIS : SEBUAH TANTANGAN PERADABAN




Perkembangan peradaban


Manusia adalah bagian dari alam. Manusia mencari dan mengolah bahan pangan, sandang dan papan dari alam untuk bertahan hidup. Melalui interaksinya dengan alam, manusia telah mengembangkan keterampilan, pengetahuan dan wawasan yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas hidupnya. Krisis dan kreativitas telah mengembangkan kemampuan manusia dalam penyediaan, pengolahan dan pengawetan  makanan. Kemampuan ini mengubah cara pemenuhan kebutuhan manusia, dari berburu dan meramu menjadi bertani dan beternak; dari berpindah-pindah menjadi menetap. Mereka mulai membuka hutan dan mengubahnya menjadi tempat hunian dan kawasan produksi. 

Hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam ritual. Hilangnya alam menyebabkan hilangnya ritual dan hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta (dok. pribadi, Festival Kelimutu, 0817, TN Kelimutu)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan pembukaan hutan dan pengambilan sumberdaya makin meluas sampai melampaui batas-batas negara dan benua. Penemuan suatu wilayah baru dengan sumber daya alam yang kaya ditindaklanjuti dengan eksploitasi di wilayah itu. Proses eksploitasi alam terjadi dengan lebih cepat dan masif. Ditambah dengan motivasi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari perdagangan sumber daya alam, menyebabkan pembukaan lahan makin luas terjadi di wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya alam tersebut. Benua Afrika dengan kekayaan bahan tambangnya menjadi sasaran eksploitasi perusahaan tambang sekaligus menjadi sumber tenaga kerja murah. Eksploitasi alam di Benua Amerika dan Australia membuat Suku Indian dan Aborigin tersingkir dari tanah leluhur mereka. Di Asia, Indonesia pun menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan. Hal ini ditandai dengan sejarah Indonesia mengalami masa-masa penjajahan berbagai bangsa mulai dari Belanda, Inggris dan akhirnya Jepang.

Proses eksploitasi tersebut terus berlanjut sampai saat ini dan dilegalkan melalui kesepakatan perdagangan  internasional yang memungkinkan perusahaan transnasional mengekspoitasi alam lintas batas negara. Hal tersebut bahkan didukung oleh kebijakan-kebijakan nasional yang mempermudah investasi untuk mengekspoitasi alam dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi.

Manfaat dan Dampak

Tidak dipungkiri bahwa perkembangan di atas telah memberikan sumbangan besar bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Intensifikasi pertanian memungkinkan peningkatan produksi pangan secara cepat dan masif. Perdagangan antar negara memungkinkan kita menikmati makanan yang berasal dari tempat-tempat yang jauh yang sebelumnya tidak dapat kita santap kecuali di tempat asalnya. Perkembangan teknologi memungkinkan kita membuat barang-barang dalam skala besar dengan harga yang lebih murah. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan kita terhubung satu sama lain dengan mudah dan cepat.
Sayangnya, di samping berbagai manfaat yang diperoleh, terdapat dampak-dampak yang harus ditanggung oleh seisi bumi. Kerusakan alam terjadi di mana-mana pada skala yang semakin besar dan memprihatinkan. Masalahnya, kerusakan alam pada akhirnya akan berdampak pada hidup manusia juga. Setidaknya, kerusakan-kerusakan itu akan (telah) mengurangi kualitas hidup manusia melalui beberapa cara.

Pertama-tama adalah berkurangnya ketersediaan sumberdaya atau terjadi kelangkaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelangkaan sumberdaya seringkali menyebabkan hilangnya budaya yang telah berkembang terkait sumberdaya tersebut. Banyak kearifan lokal yang dibangun dari pengembangan budaya selama berabad-abad lenyap bersama hilangnya sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi pada tenun dengan pewarna alam di berbagai daerah di Indonesia. Hilangnya hutan telah menyebabkan hilangnya spesies-spesies pewarna alam yang semula tumbuh di hutan itu. Tanpa bahan baku pewarna alam, maka seluruh kebudayaan terkait proses menenun dengan pewarna alam di daerah itu pun ikut hilang. Contoh lain yang mungkin lebih dekat dengan kehidupan kita di kota adalah budaya penggunaan rumah kayu. Kelangkaan kayu menyebabkan penggunaan kayu sebagai bahan baku rumah semakin berkurang. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya kebutuhan akan tukang kayu yang berujung pada berkurangnya jumlah orang yang (mau/bisa) berprofesi sebagai tukang kayu. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka profesi tukang kayu akan semakin menghilang. Akibatnya hilanglah ketrampilan bertukang kayu yang semula diwariskan secara turun-temurun. Di kampung kami, Cigarugak, tukang kayu ahli yang tersisa adalah orang-orang tua, yang sekarang tinggal satu orang.

Pak Nas, tukang kayu yang tersisa di Kampung Cigarugak
Dampak lain dari kecenderungan di atas adalah munculnya ketergantungan masyarakat pemilik budaya tersebut pada sumberdaya dan budaya baru yang tidak mereka hasilkan di tempat asal mereka. Dalam kasus tenun, menghilangnya pewarna alam menyebabkan digunakannya pewarna sintetis buatan pabrik maupun benang-benang pabrik yang sudah diberi pewarna sintetis yang tidak dihasilkan di daerah-daerah tenun. Sementara dalam kasus kayu, sebagai bahan bangunan pengganti, digunakanlah bahan-bahan tambang seperti cor beton untuk tiang, batu bata, pasir dan semen untuk dinding, dan baja ringan untuk rangka atap dan kusen. Seringkali bahan-bahan tambang ini berasal dari daerah yang jauh tempat eksploitasi penambangan, misalnya pada kasus semen dan baja, sebelum kemudian diproses di pabrik sampai akhirnya dapat digunakan sebagai bahan bangunan.


Tenun, pada awalnya menggunakan pewarna alam

Yang lebih memprihatinkan, apabila kecenderungan tersebut berlanjut, maka akan potensial menjadi sumber konflik antar kelompok kepentingan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, lenyapnya hutan menyebabkan masyarakat yang semula mengambil makanan, kayu bakar dan bahan bangunan dari hutan kehilangan akses terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut kemudian dipenuhi dengan cara lain, misalnya dengan bekerja di kota. Di kota terjadilah persaingan antara masyarakat lokal yang kehilangan akses terhadap hutan dengan para pendatang yang sudah lebih lama menetap di kota. Terjadilah konflik perebutan ruang hidup di antara semakin banyak kelompok kepentingan. Pada akhirnya, konflik ini seringkali dianggap sebagai konflik horizontal, antar etnis, suku, agama dan sebagainya. Padahal esensi konflik yang sebetulnya adalah perebutan ruang hidup akibat sistem sosial ekonomi yang meminggirkan masyarakat lokal dan alam. Jika konflik tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat berujung pada perselisihan dan bahkan perang antar kelompok masyarakat.

Dampak lain dari kerusakan alam adalah hilangnya manfaat langsung yang diperoleh manusia secara gratis dari alam. Manfaat ini disebut sebagai jasa lingkungan. Salah satu bentuk jasa lingkungan adalah ketersediaan air. Daerah bantaran sungai dengan kondisi alam yang masih bagus memungkinkan resapan air di wilayah itu terjadi dengan baik. Dalam kondisi ini, masyarakat bisa mendapatkan air sepanjang tahun, termasuk di musim kemarau. Jika alam di hulu rusak, maka kerusakan itu akan mempengaruhi stok air di hilir. Selain ketersediaan air, masih banyak lagi jasa lingkungan yang secara cuma-cuma telah disediakan alam untuk menopang kehidupan kita. Beberapa di antaranya adalah udara bersih, kestabilan cuaca dan iklim dan kesuburan tanah.
Selain itu, kerusakan alam juga terjadi karena pertambahan produksi limbah yang melampaui batas daya urai alam. Saat ini pertambahan jumlah produksi limbah berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi sumberdaya. Limbah-limbah yang tidak dapat terurai tersebut kemudian menumpuk dan mencemari alam, menimbulkan penurunan kualitas alam, bau tak sedap dan menjadi sumber penyakit yang menurunkan tingkat kesehatan masyarakat.

Teknologi proses telah memungkinkan pencampuran berbagai bahan untuk menghasilkan efek rasa, warna dan tekstur yang diinginkan. Sayangnya, tidak semua bahan yang digunakan tersebut aman untuk digunakan dan apalagi untuk dikonsumsi. Banyak bahan yang digunakan, baik pada saat proses produksi, penggunaan maupun ketika diolah saat menjadi limbah, merupakan racun-racun yang berbahaya bagi tubuh kita. Selanjutnya racun-racun ini akan menumpuk di alam, dan membahayakan semua makhluk hidup yang mengonsumsinya.

Dengan masifnya pola konsumsi dan produksi terjadilah kerusakan dalam skala global yang menghasilkan dampak dalam skala global pula. Penggunaan bahan bakar fosil dan pembukaan lahan hutan yang sangat masif telah menyebabkan emisi karbon dan gas-gas rumah kaca lainnya. Berubahnya komposisi gas di atmosfir menyebabkan perubahan kemampuan bumi untuk mengatur suhu. Rentang antara suhu terendah dan  tertinggi bumi makin besar. Perubahan ini menimbulkan perubahan pola angin, hujan dan musim di bumi. Sebaliknya perubahan pola angin, hujan dan musim juga menyebabkan perubahan rentang antara suhu terendah dan tertinggi tersebut. Akibatnya, bencana mulai lebih sering terjadi, antara lain dalam bentuk badai, hujan es, banjir dan kekeringan. Beberapa akibat turunannya adalah gagal panen serta munculnya berbagai hama dan penyakit terkait dengan cuaca.

Tantangan upaya pemulihan krisis

Saat ini, berbagai solusi telah diupayakan untuk menyelesaikan krisis tersebut. Berbagai teknologi yang selaras alam mulai banyak dikembangkan. Hanya saja teknologi tersebut terletak di dalam sistem ekonomi dan politik yang seringkali tidak membawa kita ke arah pilihan-pilihan hidup yang lebih selaras alam. Berbagai sistem insentif dan disinsentive melalui berbagai kebijakan ekonomi , keuangan dan industri yang berjalan saat ini, membuat barang-barang yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih murah daripada barang-barang yang diproduksi dengan selaras alam. Hal yang sama berlaku juga untuk sektor energi dan transportasi. Kebijakan industri dan perbankan saat ini mendorong kita untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang boros penggunaan sumberdaya daripada kendaraan publik yang lebih efisien dan hemat energi. Di sektor energi, lebih murah membeli energi dari bahan bakar fosil daripada memasang panel surya di atap rumah kita. Di sektor pangan, seringkali kita menemukan bahwa pangan impor dengan jejak ekologis yang besar harganya lebih murah daripada pangan lokal yang jejak ekologisnya lebih kecil. Lebih dari itu, secara umum, budaya yang berkembang di masyarakat global saat ini adalah gaya hidup boros yang mendorong lebih banyak konsumsi sumberdaya alam. Hal ini mencerminkan seolah eksistensi manusia dibangun oleh daya belinya. Semakin banyak membeli berarti semakin eksis. 

Hutan penopang hidup kita akan habis bila tidak dijaga (dokumentasi pribadi - Taman Nasional Kelimutu)

Hal-hal di atas tidak terlepas dari konflik berbagai kepentingan yang selama ini diuntungkan dari sistem yang selama ini berjalan. Perubahan ke pola hidup baru yang lebih selaras alam akan membutuhkan kreativitas dan kecerdasan dalam menghasilkan inovasi-inovasi sistem baru yang lebih menjamin keselamatan bumi dan seluruh ciptaan yang hidup di dalamnya. Implikasi dari inovasi tersebut adalah kita seringkali perlu menjalani hidup dengan cara yang sangat berbeda dari cara hidup kita sebelumnya. Semua itu akan membutuhkan kesadaran, kemauan dan kerja keras.  Sayangnya, tidak semua dari kita memilikinya.

Saat ini, krisis ekologis telah sampai pada kondisi yang sangat mengkuatirkan. Akankah kita melanjutkan pola hidup pribadi dan kolektif yang berujung pada kerusakan sumber-sumber kehidupan tersebut? Ataukah kita mulai memikirkan dan menerapkan pola-pola kehidupan baru, yang secara cerdas mampu meningkatkan kehidupan manusia tetapi sekaligus pula meningkatkan kualitas alam, yang menjadi sumber utama kehidupan kita? Bersediakah kita menerima tantangan untuk bergabung dalam barisan pembawa perubahan ke arah peradaban baru yang memulihkan kondisi bumi? Jawabannya akan berpulang pada kita, sebagai individu, sebagai warga masyarakat, warga negara dan penduduk bumi.
***

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...