Aksi RUU Masyarakat Adat (Dok : Antara News) |
Kasus sengketa lahan dan diskriminasi terhadap masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, beberapa bulan lalu (BBC Indonesia, 24/08/17) mewarnai serangkaian catatan hitam pemerintah atas ketidakmampuannya melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun pihak swasta seringkali bergulir di isu seputar kepemilikan lahan dan batas-batas kawasan adat. Seiring dengan pembukaan lahan-lahan untuk permukiman, perkebunan, dan industri, lahan masyarakat adat semakin terdesak, yang berujung pada terancamnya integritas masyarakat adat yang digempur oleh budaya modern. Hal ini mendasari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah lembaga advokasi masyarakat adat, untuk mendesak pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana dilansir Kantor Berita ANTARA, September 2017 lalu.
Sejatinya, pemerintah telah berupaya untuk melindungi eksistensi masyarakat adat melalui berbagai perangkat perundang-undangan. Secara mendasar, hak tanah ulayat, misalnya, merupakan bagian penting di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan hutan adat di tengah konstelasi kawasan hutan di Indonesia melalui Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagai turunan peraturannya. Pemerintah daerah, melalui perangkat Peraturan Daerahnya, berwenang menetapkan keberadaan dan batas-batas kawasan kampung adat, serta menguatkan kelembagaan masyarakat hukum adat. Perda ini menjadi dasar bagi penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sisi lain, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di berbagai daerah telah berupaya melindungi kantung-kantung masyarakat adat dan tradisi yang ada di dalamnya melalui penetapan kawasan cagar budaya. Baru-baru saja, KLHK merilis peraturan baru tentang Perlindungan atas Kearifan Lokal (PermenLHK tahun 2017) sebagai ratifikasi terhadap pengakuan masyarakat tradisional di dalam Conventions on Biological Diversity (CBD) yang disepakati bersama di tingkat internasional tiga dasawarsa silam. Pertanyaannya, apabila pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, mengapa berbagai ancaman terhadap kelompok masyarakat ini terus saja terjadi?
Agaknya, pernyataan Chief Seattle, seorang kepala suku Indian di Amerika Serikat, yang dikutip di atas, menggambarkan salah satu permasalahan mendasar atas inkompatibilitas tata nilai di dalam banyak masyarakat adat dengan norma-norma di dalam sistem masyarakat modern. Bagaimana bisa, katanya, manusia memperjualbelikan apa yang tidak dimilikinya? Ini, tentu saja, tidak hanya berlaku untuk tanah, air dan udara, tapi juga untuk pengetahuan dan kearifan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di saat masyarakat modern disibukkan oleh permasalahan seputar hak atas kekayaan intelektual (HAKI), paten dan hak cipta, berbagai bentuk pengetahuan lokal ‘dicuri’ untuk dikomersialisasikan oleh pihak lain, hanya karena para ‘pemilik pengetahuan lokal’ ini tidak mempunyai bukti dan pengakuan atas pengetahuannya, atau sebatas karena mereka tidak merasa memiliki pengetahuan tersebut – bukankah pengetahuan yang dibangun secara kolektif menjadi milik bersama?
Tentunya, pemerintah telah menunjukkan itikad baik dalam melindungi keberadaan masyarakat adat melalui perangkat-perangkat perundang-undangan, penetapan pengakuan dan program-program pendukung. Kita pun, dalam banyak kasus, mengiyakan bahwa kehidupan masyarakat adat yang harmoni dengan alam mampu menjawab banyak masalah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai romantisme masa lalu, orangtua-orangtua kita seringkali mengingat masa-masa kecilnya bermain di tengah sawah dan mandi di sungai (laiknya lagu ‘Libur di Desa’ yang dipopulerkan Tasya). Hanya saja, kita sepertinya tidak mampu berbuat lebih dari itu. Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah, kita melihat masyarakat adat sebagai sesuatu di luar kita -- sesuatu yang patut diisolasi dan dipreservasi agar nilai-nilainya tidak punah, itu saja. Menurut penulis, kita bisa berbuat lebih dari itu, dan ini dimulai dengan lebih dulu menyadari seberapa dalam inkompatibilitas antara masyarakat adat dan kehidupan modern telah terbangun, serta ancaman apa yang muncul sebagai akibat darinya.
Gejala atas inkompatibilitas ini ditunjukkan dengan adanya komodifikasi budaya. Sejak tahun 2000-an, pemerintah daerah telah mendorong pelestarian budaya masyarakat adat melalui pencanangan cagar budaya, yang dikombinasikan dengan wisata budaya kampung adat. Rumah-rumah adat dan upacara-upacara tradisional menyita perhatian wisatawan lokal dan mancanegara. Orang-orang berdatangan untuk mendokumentasikan keunikan-keunikan ini. Tidak jarang, para wisatawan juga mendapat perlakuan sebagai tamu istimewa di dalam upacara-upacara adat yang digelar. Ini, oleh para antropolog sosial, disebut sebagai komodifikasi budaya – upaya menjadikan artefak budaya sebagai komoditas ekonomi. Di satu studi yang penulis lakukan di tahun 2005, penulis mendokumentasikan bagaimana di tengah euforia kampung adat, pengetahuan lokal tentang manfaat tumbuhan-tumbuhan secara tradisional justru semakin hilang di kalangan generasi muda di satu kampung adat di Jawa Barat. Salah satu alasannya, masuknya wisatawan ke kampung adat menyebabkan aliran uang dan produk-produk kota ke dalam kampung, warung-warung dibangun, menggeser produk-produk pangan dan obat-obatan lokal. Seiring dengan masuknya produk budaya kota adalah masuknya pengetahuan modern tentang penyakit dan kesehatan. Sebagai contoh, masyarakat dahulu percaya bahwa sakit perut disebabkan oleh udara buruk yang masuk ke dalam tubuh. Atas dasar itu, tumbuh-tumbuhan seperti jambe dan kuciat dibalurkan pada perut untuk mengusir udara buruk tersebut – sejalan dengan kandungan senyawa volatile pada tumbuhan tersebut yang berperan dalam memperlancar peredaran darah di tubuh. Di kalangan anak muda, obat modern dan jamu instan, sesuatu dari luar yang asing bagi mereka, kini menjadi solusi praktis bagi sakit perut. Tidak ada yang salah dengan itu tentunya, tapi sesuatu yang eksternal ini menyebabkan keterputusan antara masyarakat dan alam. Pengetahuan lokal tersebut praktis memudar dari tata nilai masyarakat.
Satu contoh lain dari inkompatibilitas budaya adalah apa yang diperlihatkan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi Selatan. Kelompok masyarakat yang tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini hidup melalui pola pertanian padi tradisional yang khas. Pola pertanian yang mengangkat ratusan varietas padi lokal javanica ini telah diterapkan selama ratusan tahun dan mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi sekitar 10.000 warganya. Pertanian padi, menurut mereka, adalah bagian dari filosofi hidup mereka. Padi sendiri merupakan sesuatu yang sakral – masyarakat tidak boleh menjual atau membuang padi dalam bentuk apapun. Pola pertanian padi tradisional yang dijalankan oleh masyarakat Ciptagelar dicirikan dengan padi javanica yang tumbuh lebih tinggi, memiliki batang lebih kokoh, gabah yang tidak rontok dari malainya, serta dengan periode tumbuh lebih lama. Berdasarkan karakteristik ini, pola tanam dan budaya pertanian masyarakat dibangun. Masyarakat Ciptagelar bercocok tanam padi hanya satu kali dalam setahun sesuai waktu yang diinstruksikan oleh kepala adat, menggunakan etem atau ani-ani untuk memotong tangkai batang padi (yang melalui itu membantu masyarakat ‘merasakan’ setiap individu padi yang mereka panen untuk menemukan varietas baru yang mungkin tercipta), serta menyimpan ikatan gabah (pocong) di dalam lumbung padi mereka yang disebut leuit. Beras yang masih tersimpan di dalam pocong dapat bertahan hingga 10 tahun. Gabah ini lalu ditumbuk secara manual menggunakan lesung dan dimasak secara tradisional.
Di tahun 1970-an, pemerintah, atas dorongan Revolusi Hijau, memperkenalkan padi varietas unggul kepada masyarakat Ciptagelar. Varietas ini tidak kompatibel dengan pola budaya tani masyarakat di dalam berbagai aspek. Batang tanaman padi yang pendek tidak bisa lagi dipanen dengan etem karena memaksa pemanen untuk membungkuk – sesuatu yang jadi sangat melelahkan. Gabah varietas unggul sangat mudah rontok, sehingga tidak bisa lagi disimpan dalam leuit. Varietas unggul juga tumbuh dengan cepat dan membutuhkan asupan pupuk siap serap yang tinggi – jelas bertentangan dengan cara masyarakat Kasepuhan menjalankan pertaniannya. Upaya introduksi padi varietas unggul praktis gagal, karena menerapkan satu teknologi seperti varietas unggul berarti merubah secara menyeluruh cara masyarakat bertani, dan pada akhirnya pola budaya yang ada di masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat Ciptagelar hingga saat ini masih mentaati tata nilai yang dipegang secara turun temurun, sebagian kecil masyarakat di tepian kawasan mulai menerapkan pola pertanian modern karena desakan ekonomi (padi modern bisa ditanam dalam pola 2-3 kali setahun, sehingga dapat dijual lebih banyak keluar), dan berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, kini menjadi lebih rentan terhadap hama padi.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memberikan contoh yang baik tentang bagaimana kita bisa membangun hubungan yang terbuka antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan tanpa mengancam keberadaan dan nilai-nilai luhur masyarakat. Kepala Adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Anom, yang digantikan oleh anaknya Abah Ugi, tidak tertutup oleh kemajuan teknologi. Dengan bantuan beberapa seniman dan pemerhati budaya dari luar, mereka mengadopsi teknologi dengan mendirikan radio komunitas di dalam kampung, membuka akses terhadap internet (seluruh aula kampung memiliki akses wifi) dan bahkan memiliki televisi lokalnya sendiri. Semua dilakukan juga untuk membangun keseimbangan antara budaya lokal dan budaya modern. Anak-anak SD belajar tentang budayanya melalui internet, televisi dan radio. Tapi di sisi lain, masyarakat Kasepuhan juga memelihara pola-pola budaya (seperti pola taninya) dari nilai-nilai baru yang berpotensi mentransformasi akar budaya masyarakat.
Di akhir tulisan ini, penulis beropini bahwa masyarakat adat di Indonesia dan kearifan lokalnya memang secara nyata terancam. Akan tetapi, solusi yang bisa kita berikan bukanlah dengan mengisolasi budaya mereka di dalam kantung-kantung yang tersisa. Dengan menyadari apa yang kompatibel dan tidak di antara nilai budaya masyarakat adat dan nilai budaya modern (konsep kepemilikan, produktivitas, modernitas, dsb.), kita bisa membangun platform hubungan yang lebih selaras antara masyarakat adat dan masyarakat perkotaan. Di satu sisi, kita perlu belajar untuk lebih terbuka dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal. Di sisi lain, kita bisa membantu masyarakat adat untuk memperoleh hak-haknya dan mengawal dari ancaman nilai-nilai modern yang tidak terkendali.
Pustaka:
BBC Indonesia (24 Agustus, 2017). Masyarakat Sunda Wiwitan tolak eksekusi lahan adat. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41033495
ANTARA News (27 September, 2017). AMAN: RUU Masyarakat Adat Harapan Penyelesaian Konflik. https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik
Referensi foto:
Gambar 1. Kutipan surat Chief Seattle, kepala suku Suquamish, Amerika kepada Presiden AS, 1852 (Sumber: http://www.azquotes.com/quote/808968)
Gambar 2. Aksi AMAN menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat (Sumber: https://www.antaranews.com/berita/654954/aman-ruu-masyarakat-adat-harapan-penyelesaian-konflik)
Gambar 3. Leuit (lumbung padi) sebagai komponen penting kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi (Sumber: http://www.republika.co.id/berita/inpicture/nasional-inpicture/15/05/24/notw11-kilas-perjalanan-budaya-kasepuhan-ciptagelar)
No comments:
Post a Comment