[MASALAH KITA] BERDIRI IDEALIS, BERJALAN REALISTIS




“Akh", begitu suara keluhan yang terdengar dari belakang meja kerja, tempat seorang anak  manusia dengan segudang cita akan kehidupan yang ideal. Hampir satu minggu belakangan ini, kata-kata penuh keluhan lazim keluar dari mulutnya disertai dengan hembusan nafas yang berat serta rebahan tubuh pada kursi seakan-akan mengisyaratkan dia sangat lelah.

Akar, begitu dia biasa disapa oleh orang-orang yang mengenalinya dari media sosial. Tentu nama itu bukanlah nama yang tertulis di akta kelahiran yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Nama itu dia dapatkan ketika mengikuti pendidikan pecinta alam saat dia masih terikat dengan sumpah tri dharma perguruan tinggi. Namun entah mengapa nama itu sangat berarti baginya. Akar pernah bercerita bahwa nama itu memang sengaja Tuhan berikan padanya agar dia sadar dari mana dia berasal, selain itu, sepertinya, nama itu mengisyaratkan bahwa setiap episode hidupnya akan selalu berhubungan dengan lingkungan.

Baginya hidup selaras dengan alam bukanlah lagi sebuah pilihan. Melainkan kewajiban yang harus dijalankan setiap manusia yang ada di muka bumi ini tanpa terkecuali. Akar kerap kali mengatakan “HablumminAllah, Hablumminannas, Hablumminalalam”, yang artinya, berhubungan baik dengan Allah, berhubungan baik dengan sesama manusia, dan berhubungan baik dengan alam. Kalimat terakhir sesungguhnya tidak menyertai dua kalimat awal, yakni Allah dan Manusia, namun para pendahulunya di organisasi pecinta alam menambahkan kalimat terakhir, dengan harapan agar tertanam pada diri setiap anggotanya.

Aku pernah bertanya pada nya, “Kar, sejak kapan kau sangat tertarik dengan dunia lingkungan ini?”, “entahlah”, jawabannya singkat seraya berpikir. “mungkin, dari kecil, Ka”, tambahnya namun tak yakin. Akar sendiri tidak tahu secara pasti kapan dia mulai tertarik, semua mengalir begitu saja. Namun seingat dia, masa kecilnya selalu saja ada interaksi dengan alam. Seperti ketika pertama kali belajar berenang. Jika anak-anak lain belajar berenang di kolam renang dengan instruktur dan kedalaman kolam yang bisa diatur, tidak demikian dengan akar.  Akar belajar berenang di lautan lepas. Hal ini terjadi ketika perjalanan menuju Kepulauan Seribu. Hanya dibantu oleh sang Ibu yang memegangi kedua tangannya, Akar kecil membiasakan tubuhnya bersahabat dengan air laut. Selain itu waktu kecil, acap kali akar ikut ayahnya memancing di danau, jika bosan, dia suka berjalan sendirian, memasuki hutan di belakang danau, dan dia sangat senang berada di antara pephonan tinggi, yang seakan-akan menyelimutinya.

Kami berdua sudah bersahabat sejak dari SMA. Hanya saja kami tidak ditakdirkan satu kelas. Akar memilih untuk masuk kelas sosial, sedang aku masuk kelas eksakta. Alasan dia masuk kelas sosial karena dia sangat tertarik dengan manusia dan lingkungannya. Bagi Akar, manusialah penentu segala hal yang ada saat ini, manusia pula yang menjadi penentu masa depan akan seperti apa. Kepekaan sosial Akar semakin diasah ketika dia mengikuti komunitas baca dan teater. Di sanalah dia mulai berinteraksi dengan buku-buku tentang kapitalis, sosialis, komunis, ecofasis, ecopopulis. Dan pada saat itu dia mulai tertarik menyuarakan aspirasi dengan turun ke jalan, dari mulai isu kenaikan upah buruh, sampai isu korupsi. Di saat remaja lain termasuk aku sendiri, menikmati masa remaja dengan bermain basket, nongkrong di tempat-tempat gaul, pacaran, tidak dengan Akar.

Setelah lulus SMA kami melanjutkan, pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda, namun kami tetap berkomunikasi, untuk saling tahu keadaan masing-masing. Akar memilih melanjukan pendidikan di bidang seni, sedang aku di psikologi. Di tempat dia melanjutkan pendidikan, dia mengikuti organisasi pecinta alam, karena sesuai dengan kesenangan dia dari kecil. Di sanalah dia mendapatakan kalimat “HablumminAllah, Hablumminannas, Hablumminalalam”, yang kerap kali dia ucapkan setiap dia berdiskusi tentang lingkungan. Akar semakin gila akan dunia lingkungan ini, tidak cukup dia mengaktifkan dirinya di organisasi pecinta alam di kampus tercinta. Akar mengikuti organisasi lingkungan di luar kampus, mulai dari yang fokus di konservasi, fokus di isu sampah dengan semangat zero waste, sampai yang fokus pada kebijakan-kebijakan.

Pada akhirnya kami ditakdirkan bekerja di tempat yang sama. Di salah satu organisasi lingkungan terbesar dan tertua di Indonesia. Aku masuk ke sini ditawari oleh Akar yang sudah terlebih dulu aktif di sini. Aku masuk di bagian peningkatan sumber daya manusia sedang Akar berada di divisi kebencanaan, tepatnya bencana ekologis.  Selama berada di satu organisasi ini, Akar banyak mengajarkanku agar hidup selaras dengan alam. Aku yang sebelumnya tidak pernah mengikuti pelatihan atau pun doktrin-doktrin tentang lingkungan, agak kesulitan menerima semuanya, seperti masalah zero waste. Akar mengatakan kepada ku, jika sampah yang selama ini kita hasilkan, sekali pun kita membuang pada tempatnya, namun sesungguhnya itu tidak menyelesaikan masalah, hanya memindahkan masalah. Karena ada masalah baru yang timbul, di tempat-tempat penampungan sampah sementara sampai sampah akhir. Akar bercerita tentang tragedi Leuwi Gajah dan Bandung lautan sampah, yang diakibatkan dari penolakan-penolakan beberapa tempat yang akan dijadikan tempat penampungan sampah akhir. Akibatnya, sampah-sampah tidak cepat diangkut, sehingga Bandung yang terkenal sebagai kota kembang justru bau oleh sampah-sampah.

“Zero waste lah solusinya”, celoteh Akar meyakinkan. Akar selalu bersemangat setiap kali mengkampanyekan stop kantong kresek, stop air minum dalam kemasan, selain persoalan sampahnya, juga persoalan privatisasi air yang dilakukan oleh pihak swasta. Dan Akar membuktikannya dengan tidak pernah sekali pun, dia masuk ke mini market karena akan menimbulkan sampah jika dia masuk ke mini market, dan itu tidak sesuai dengan kampanyenya jika dia melakukan itu.

Sampai akhirnya tiba pada waktu itu, dimana kata “akh” kerap kali keluar dari mulutnya, serta terlihat lelah tidak seperti biasanya. Seperti ada hal yang mengganjal dalam dirnya, yang dia sendiri tidak tahu jalan keluarnya. Nampak di wajahnya raut kekecewaan yang amat dalam, namun entah ditujukan pada siapa kekecewaan itu.  Semakin jauh dia mencari semakin dalam dia menggali, dia semakin bertanya-tanya tentang apa tujuan dari semua ini. Tanpa sempat aku bertanya tentang keresahan yang dia alami, Akar memutuskan mundur dari dunia yang selama ini membentuk dirinya.  Dia memilih untuk tidak terlibat lagi dengan isu-isu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dia mengatakan dia lelah dan dia ingin beristirahat, dan aku tidak berani bertanya apa alasannya.
Setelah lima menit menunggu akhirnya secangkir kopi tubruk sampai juga di meja ku, dengan aromanya yang begitu menggoda, single origin dari Jawa Barat ini siap aku cicipi dengan penuh kesadaran. Di tengah lidah ini menikmati rasa yang dihasilkan, aku melihat sosok berjalan ke arahku sejauh mata memandang, sepertinya tidak asing bagiku. Betapa terkejutnya bahwa sosok itu adalah sosok idealis yang sangat aku kenal, yang menghilang tanpa ada tanya. Akar. Setelah dua tahun tidak bertemu akhirnya kami bertemu di sebuah kedai kopi yang baru enam bulan melayani para penikmat kopi.

Kami pun langsung saling bertanya kabar, dan kesibukan masing-masing selama dua tahun tidak jumpa, dan tentunya aku masih menyimpan rasa penasaran mengapa Akar memutuskan keluar pada waktu itu. Akhirnya dia bercerita, mengapa dia memutuskan untuk istirahat. Ada hal yang membuatnya ragu untuk melanjutkan hidup di jalan ini. Dia melihat, entah dia yang teramat lebay atau dia tidak mampu memahami realita yang terjadi. Berawal dari ketidaksetujuan dia akan beberapa hal yang dilakukan oleh para pendahulunya di organisasi lingkungan yang cenderung berkompromi terkait beberapa persoalan lingkungan. Padahal, dulu merekalah yang menanamkan idealisme pada dirinya. Jika mereka mengatakan pemerintah jangan tebang pilih dalam hal penegakan hukum, seharusnya mereka pun tidak. Nyatanya banyak dari mereka yang melakukan hal tersebut. Contohnya salah satu kasus di sebuah gunung di Jawa Barat. Sebuah petak di dalam kawasan konservasi yang pada kenyataannya di lapangan, petak itu digunakan untuk pertanian atau diolah untuk tanaman industri. Lalu mengapa tidak diusut? Mungkin karena organisasi yang melakukan pendampingan adalah organisasi anggota, seakan-akan tidak mau ribut dengan internal sendiri. Sehingga pembiaran dilakukan. Padahal jelas-jelas melanggar hukum. Mereka berdalih bahwa pemerintah tidak pernah melibatkan mereka dalam penentuan status suatu kawasan, sehingga mereka menganggap hal yang mereka lakukan (mungkin) adalah pengecualian.
Contoh yang lain adalah penggunaan dana CSR. Mereka berkata jika setiap program yang dilakukan pemerintah itu selalu jangka pendek. Padahal mereka sendiri melakukan hal tersebut. Penanaman untuk lahan kritis, revitalisasi lahan hanya terikat pada kontrak saja. Setelah kontrak program selesai, mereka seakan tidak peduli apakah program yang mereka lakukan itu berdampak atau tidak.

Contoh lain pengaksessan dana-dana dari lembaga bermasalah. Secara kelembagaan menolak, namun personal atau pun lembaga anggota boleh mengaksesnya, karena ada pendapat diambil atau tidak toh lingkungan kita tetap dirusak, padahal dulu mereka mengajarkan bahwa harus selalu tegas menolak program-program yang secara jelas bersinggungan dengan lingkungan. Ada lagi beberapa senior-senior yang sudah purna jabatan yang dulunya mendemo perusahaan A sekarang malah menjadi bagian dari perusahaan tersebut, dengan dalih, dia tidak lagi di organisasi, dia punya anak istri, yang harus dinafkahi, toh kamu tidak akan mau menanggung hidupnya kan? Adalagi senior-senior mereka yang dulunya lantang menjadi oposisi pemerintah dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah, menjelang pilkada mereka justru menjadi juru bicara tidak resmi akan kebijakan-kebijakan pemerintah, karena mereka dilibatkan dalam tim pemenangan salah satu calon, yang secara kebetulan masih menjabat di pemerintahan.

Ada lagi senior-senior yang dulunya menanamkan zero waste pada dirinya, namun dia sendiri tidak mengamalkan itu. Dia pernah bertanya mengapa demikian?. Jawabannya ini hanya peroalan peran. Ketika saya mengkampanyekan tentang zero waste karena saya bagian dari organisasi tersebut, sedangkan saat ini saya sedang tidak menjadi bagian dari organisasi tersebut, saya individu yang merdeka.

Akar sempat tidak heran jika organisasi-organisasi besar itu melakukan hal tersebut, karena banyak kepentingan politik pula orang yang terlibat di dalamnya. Namun kekecewaan bertambah ketika garda depan dari kelestarian lingkungan yakni kelompok pecinta alam pun sudah keluar dari jalur. Melihat banyak para pecinta alam yang hanya gagah-gagahan, mereka sudah jauh melenceng dari tujuan awal mereka dilahirkan. Gerakan-gerakan untuk tetap menjaga kelestaraian alam seakan-akan hilang dari diri mereka, mereka lebih mementingkan olahraganya bukan esensi dari kegiatannya Panja, naik gunung, arung jeram, susur gua, tidak lagi mereka melihat sisi konservasinya. Ditambah ketika ada suatu kejadian, dimana salah satu organisasi pecinta alam memakan korban (lagi) pada saat diklatsar. Pecinta alam se-Indonesia berkumpul atas nama solidaritas, dengan slogan panjang umur mapala. Tapi kemana mereka ketika alam ini dirusak oleh para penguasa, yang seharusnya merekalah menjadi yang berteriak paling lantang. 

Aku paham dengan yang Akar rasakan, sebagai manusia yang idealismenya dibangun dari kecil, tentulah tidak mudah menjadi manusia idealis di tengah kumpulan manusia munafik. Menjadi manusia jujur mengatakan apa adanya dianggap membuat ricuh. Akar pun bercerita, dari dua tahun ini, selama satu tahun dia sulit mencari kerja, bukan karena tidak mampu, namun karena takut dia melanggar idealisme yang dia bangun sendiri. 

Setelah Akar bercerita panjang lebar tentang alasan dia waktu itu mundur, aku pun  bertanya, tentang pekerjaan dia saat ini. “Lalu bekerja dimana kau saat ini, Kar?” Tanya ku penasaran. “Di sini, Ka”, sambil melihat sekeliling.  Ternyata tempat dimana aku menikmati kopi ini adalah usaha baru dia bersama temannya. Lalu Akar pun melanjutkan bahwa dia sama saja dengan orang-orang yang diceritakannya tadi. Aku sempat heran dengan perkataannya tentang “aku sama saja dengan mereka”. Akar langsung mengajakku memasuki dapur kedainya, dia memperlihatkan sampah-sampah dari makanan yang memang dijajakan di kedai kopinya ini. Bahwa dulu dia pernah mengkampanyekan, zero waste. Sekarang justru sebaliknya, semua hal yang Akar benci dan Akar selalu propagandakan ada dan Akar ikut mengkampanyekan dengan cara menjualnya. Lalu Akar bertanya “Raka, masih ingatkah kau tahun 2013 aku pernah mengkampanyekan apa?” aku hanya menjawab dengan tersenyum. Ya bahwa pada tahun itu Akar pernah mengkampanyekan bahwa kota ini tidak butuh lagi kedai atau pun café, kota ini butuh ruang terbuka hijau. Namun saat ini Akar mencari nafkah dari apa yang dulu dia tentang. Akar pernah bilang terkadang memang lebh baik tidak dilahirkan seperti kata Soe Hok Gie, kalau pun dilahirkan...ya mati muda. Namun andai kata Soe Hok Gie pun masih hidup hingga saat ini, dia tidak yakin Soe Hok Gie masih bisa seidealis masa mudanya. 

Idealisme yang telah dihidupi Akar untuk menyelamatkan alam lingkungan hidup ini mungkin belum selaras dengan lingkungan aktivismenya. Realita kehidupan telah menariknya dari idealisme itu, mungkin agar kelak ia lebih mampu mendorong alam ini seperti idealisme yang pernah ditanamkan kepadanya. Hal ini memberi dirinya kesadaran bahwa dia tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan lingkungan, seorang diri, atau pun pada generasinya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...